“Non Putri, sudah mau gelap. Kita pulang saja, ya?” Lelaki paruh baya di balik kemudi memecah keheningan yang telah berlangsung sejak awal mereka berhenti di tempat itu.
Seolah tak mendengar suara sang sopir, cewek yang duduk di jok belakang itu bergeming. Pandangannya tetap fokus pada taman di seberang sana. Tepatnya, pada seorang wanita cantik yang tengah menemani putra kecilnya bermain.
Si kecil bermain dengan gembira. Berkejaran dengan sesama balita lain, naik ayunan, atau mengejar kupu-kupu. Sementara sang ibu mengawasi dengan tatapan penuh kasih sayang. Sesekali menanggapi celotehan lucu sang putra dengan nada lembut. Tawa ceria terus tersungging di wajah sepasang ibu dan anak itu. Mereka terlihat begitu bahagia. Berbanding terbalik dengan raut sendu di wajah cantik remaja berusia 16 tahun yang menatap mereka dari dalam mobil.
Senja merangkak turun. Matahari sudah sejak beberapa saat yang lalu tergelincir ke barat, nyaris terbenam.
“Non Putri, pulang sekarang, ya.” Kembali sang sopir membujuk. Sudah hampir gelap di luar sana dan nona muda itu bahkan belum pulang selepas sekolah.
“Sebentar.” Cewek itu akhirnya menyahut meski tanpa memalingkan wajah.
Sang sopir hanya bisa menghela napas berat dan kembali menghadap depan. Selalu seperti ini. Setiap sore, majikan mudanya itu akan meminta diantar ke sebuah kompleks perumahan, lalu memandangi seorang wanita yang menemani anaknya bermain di taman dari dalam mobil. Menolak pulang sebelum wanita dan anak kecil itu pergi.
Biasanya, sebelum hari beranjak gelap, wanita itu dan anaknya sudah meninggalkan taman dan sang sopir telah membawa mobil dalam perjalanan kembali ke rumah. Namun, tampaknya hari ini si kecil ingin bermain lebih lama, sehingga menolak ajakan ibunya untuk pulang.
Sang sopir tidak mengerti kenapa majikan mudanya selalu melakukan rutinitas ini. Padahal, dengan melihat interaksi ibu dan anak itu akan membuatnya merasa sedih. Mungkin karena rindu. Namun, jika hal yang dia lakukan untuk melepas rindu justru menambah luka hati, bukankah itu sama saja menyiksa diri sendiri?
“Kita pulang.” Setelah beberapa menit hening, akhirnya Putri bersuara.
Dua orang yang menjadi perhatian cewek itu telah beranjak meninggalkan taman. Si anak kecil masih terlihat rewel, namun sang ibu menggendongnya paksa sambil terus mengeluarkan kata-kata bujukan yang teramat lembut. Meski tidak bisa mendengar apa yang dikatakan wanita itu, Putri yakin dengan perkiraannya. Jelas terlihat dari gestur dan senyum memanjakan yang terus tersungging pada wajah wanita yang 20 persen agak seperti Putri itu.
Mendengar itu, sang sopir langsung menyalakan mesin dan segera melarikan mobil dari area taman, seolah takut majikan mudanya itu akan berubah pikiran.
“Pak Hadi,” panggil Putri saat mobil telah melaju di jalan raya menuju kediamannya.
“Ya, Non?” Yang dipanggil dengan cepat menanggapi.
“Pak Hadi sudah lama, kan, mengenal saya?”
“Iya,” sahut sang sopir, meski tak begitu paham kenapa remaja itu menanyakan hal yang sudah jelas diketahuinya. Pak Hadi memang sudah menjadi sopir pribadi di rumah Putri jauh sebelum anak itu lahir.
“Apa Pak Hadi menyayangi saya?” Kembali Putri menanyakan hal yang membingungkan bagi sang sopir.
“Tentu.” Meski begitu, Pak Hadi tetap menjawab. Lalu menambahkan, “Saya sudah menganggap Non Putri seperti anak sendiri.”
Pak Hadi tidak berbohong atau sekadar menyanjung. Nyatanya, dia memang menyayangi majikan mudanya itu. Dia melihat Putri tumbuh dan merupakan saksi hidup atas apa saja yang telah dialami si remaja cantik bahkan sejak sebelum dilahirkan.
“Kalau begitu,” Putri kembali bersuara, “bisa nggak Pak Hadi memanggil saya Putri saja tanpa embel-embel non?”
Pak Hadi diam, seolah berpikir. Dia memang menyayangi Putri seperti anaknya sendiri, tetapi … untuk memanggilnya tanpa embel-embel …. “Maaf Non Putri, saya nggak bisa.”
“Kenapa?”
“Non Putri adalah majikan saya. Jadi, kurang pantas kalau hanya memanggil nama.”
“Bukannya tadi Pak Hadi bilang sudah menganggap saya seperti anak sendiri?” tuntut Putri. “Kalau sama anak sendiri, kan, cukup manggil dengan nama saja.”
“I-iya, tapi ….” Pak Hadi merasa serbasalah, “tetap saja nggak enak kalau didengar orang lain.” Bagaimanapun, status mereka berbeda.
“Hn, saya mengerti.” Putri bergumam pelan, lalu memalingkan muka, menatap jalanan yang masih ramai meski matahari telah menyelesaikan tugasnya. Setelahnya, suasana di dalam mobil kembali hening.
Putri menyandarkan kepala pada kaca jendela. Sudut bibirnya sedikit terangkat, tersenyum miris. Bahkan Pak Hadi pun tidak mau menjadi keluarganya. Bagaimana mau menjadi keluarga jika cara mereka berbicara dan bersikap saja masih cukup formal.
Bukan hanya Pak Hadi, seluruh pekerja di rumahnya, mulai dari asisten rumah tangga sampai tukang kebun juga bersikap serupa. Tinggal di tempat yang sama selama bertahun-tahun tidak lantas membuat mereka memperlakukan Putri layaknya teman atau keluarga. Seberapa besar pun mereka menyayangi remaja cantik itu, tetap saja ada perbedaan status yang menjadi pemisah.
Mereka bisa mengobrol santai satu sama lain, bercanda hingga tertawa keras. Namun, mereka mendadak sopan saat berinteraksi dengan Putri. Meski Putri selalu berusaha memperlakukan mereka layaknya keluarga, tidak seperti nona muda pada umumnya, tetap tak bisa mengurangi sikap hormat mereka.
Putri mengesah. Mungkin memang dia tidak ditakdirkan memiliki keluarga seperti kebanyakan remaja seusianya. Sebagai seorang anak, mungkin memang dia terlalu buruk. Jika orangtua kandungnya saja tidak menginginkannya, rasanya terlalu berlebihan jika dia berharap orang lain yang bahkan tidak berhubungan darah, bersedia menjadi keluarganya.