Not a Mistake

Not a Mistake

Bantal Guling

0

Prangg! 


"Apa-apaan ini, Ray?!" Teriakan amarah itu menggelegar ke seisi apartement. 


Pria yang di panggil 'Ray' itu, berjengit kaget. Sontak segera mendorong kasar gadis yang saat ini sedang merayap manja di atas tubuhnya. Gadis itu—ralat—wanita berbaju merah itu jatuh terjerembab dari atas kasur. Jatuh ke lantai dengan tak elitnya. Mata wanita itu menatap Ray garang. Ingin memaki namun urung ketika melihat pria itu sudah ditampar dengan begitu keras. 


Plakkh! 


"Kurang ajar! Kau menghianati ku, Ray?!" pekik gadis itu geram. 


"Sayang, dengarkan aku. Aku bisa jelaskan semuanya. Aku—"


Plakh!


"Menjijikkan! Aku membencimu! Hubungan kita, BERAKHIR! Silahkan kau urus perempuan jalangmu itu!" cerca gadis itu tajam. Tak ingin berlama-lama di tempat mantan kekasih brengseknya, gadis itu pun melenggang pergi dengan amarah yang menggebu. Tapi sebelum benar-benar pergi .... 


Dukhh! 


"AAKH! Heyy!! Ini sakit, tahu! Dasar gadis gila!" jerit wanita berbaju merah. Kepalanya terasa berdenyut setelah dilempar heels milik gadis itu. 


"Ya! Aku memang gadis gila! Tidak seperti dirimu, seorang wanita jalang!" jawab gadis itu keras. 


Blamm! 


Gadis itu menutup pintu kamar sang mantan dengan keras, kemudian pergi dari apartement itu dengan kaki yang sebelahnya telanjang. Tidak sudi rasanya ia mengambil heels yang telah dilemparnya tadi. Harga heels itu tak sebanding dengan harga dirinya. Baginya haram untuk kembali menginjakkan kaki di apartement pria itu lagi. 


"Menjijikkan!" decihnya kesal. Gadis itu berjalan dengan hentakan kuat di kakinya. Tiba di belokan menuju lift, dirinya tak sengaja bertabrakan dengan seorang pria. 


Brukh! 


"Maaf, aku tak sengaja," ujar gadis itu singkat. Kemudian berlalu begitu saja, masuk ke dalam lift tanpa mendengar jawaban dari pria itu. 


"Setidaknya ucapkan dengan tulus," lirih pria itu. 


Gadis tadi bernama Arsyila Avisa, anak tunggal dari seorang pengusaha kaya. Usianya masih muda, 25 tahun. Arsyila digilai karena parasnya yang ayu dan manis. Gingsul dan alis tebal adalah ciri khas gadis blasteran prancis-indo itu. 


Selain karena paras dan fisiknya yang sempurna, ia juga dikenal sebagai gadis yang pekerja keras. Meski anak seorang pengusaha kaya, tak sedikitpun dia memanfaatkan hal itu untuk mendapatkan jabatan. Ia meniti karirnya dari nol, sampai akhirnya bisa sukses meraih mimpinya, menjadi seorang pengacara termuda. 


***


"Hay, Girl? Kau sudah pulang. Kemarilah, ayo kita makan malam bersama." Sapaan lembut dari seorang wanita paruh baya itulah yang pertama kali Arsyila dengar saat sampai di rumah. 


Niat hati ingin pergi ke kamar untuk melampiaskan rasa sakitnya, menjadi urung karena ajakan sang mama. Ia lebih memilih duduk dan makan bersama dengan keluarganya. Mungkin dengan bersama mereka, aku bisa melupakan rasa sakitku. Seperti itulah pikir gadis manis itu. 


Selesai makan malam, Arsyila sengaja duduk lebih lama bersama mama dan papanya. Niatnya, ia ingin membagi sakitnya pada kedua orang yang berarti dalam hidupnya. 


"Bagaimana harimu, Sayang?" tanya sang mama, membuka obrolan antara anak dan orang tua. 


"Seperti biasa, Ma," jawab Arsyila pelan. 


"Kapan kau akan melepas pekerjaanmu itu?" tanya sang papa tiba-tiba. Mama mencubit pelan pinggang sang papa, membuat pria paruh baya itu meringis. 


"Jangan bahas itu, Pa," bisik mama pelan, namun Arsyila masih dapat mendengarnya. Arsyila berdehem pelan, berusaha sabar. Memang, sang papa tidak setuju dengan profesinya, ia ingin sang anak meneruskan perusahaannya. Tapi, Arsyila menolaknya mentah-mentah. Sebab dia punya mimpi lain, yang sangat ia dambakan. 


"Pa, aku tidak ingin melepas pekerjaanku sebagai pengacara. Bisakah tidak membahas hal itu?"


"Tidak bisa!" jawab sang papa ngegas. 


"Kamu harus segera meneruskan perusahaan papa, dan berusaha mendapatkan warisan dari kakek. Kamu tidak boleh kalah dari sepupu-sepupumu!" lanjut papa penuh penekanan. 


Wajah Arsyila semakin masam, padahal dia ingin mengobrol santai. Tapi kenapa malah membahas hal ini lagi dan lagi? 


"Aku tidak tertarik dengan harta milik kakek, Pa."


"Arsyila!" wajah papa merah padam karena marah. Mama mengelus lengan papa pelan, berbisik pelan pada sang suami agar sabar dan jangan memaksakan keinginannya. 


"Kenapa yang Papa pikirkan hanya warisan-warisan-warisan. Bukankah kita sudah kaya? Papa sudah mempunyai banyak properti di mana-mana. Kenapa Papa sangat serakah ingin mendapatkan warisan dari kakek juga?!" cerca Arsyila marah. 


"Jaga ucapan kamu, Arsyila!" bentak sang mama. 


"Apa? Itu benar, 'kan? Papa sangat serakah, ingin mendapatkan semuanya! Sangat-sangat serakah!!" Gadis itu berteriak menggila, mengeluarkan semua perkataan yang menyakiti pria paruh baya itu. 


Plakh! 


Tak tahan sang suami dihina oleh anaknya sendiri, mama menampar Arsyila dengan kuat. Matanya menatap Arsyila nyalang. 


"Jaga, ucapanmu, Arsyila! Anak tidak tau diuntung, susah-susah kami berpikir bagaimana cara agar kau tidak kesulitan, tapi ini balasanmu?! Jangan menyesal karena telah mengatakan hal itu!" Mama menarik tangan papa pergi. Pria tua itu nampak terdiam. Entah apa yang dipikirkannya, Arsyila pun tak tau.


Mengusap wajahnya kasar, Arsyila memukul meja kaca di depannya kuat. Tak puas, ia kembali menendang meja itu sampai terjengkang dan kemudian pecah. 


Dari kamar atas, mama dan papa dapat mendengar suara pecahan itu. Namun, sepasang suami istri itu memilih diam. 


"ARGHH!! SETIDAKNYA BERI AKU ALASAN, MENGAPA PAPA SANGAT MENGINGINKAN HARTA WARISAN ITU! JANGAN MEMBUATKU SEPERTI ORANG BODOH!" teriak Arsyila keras. 


"Aku bukan anak kecil lagi, aku sudah dewasa, Ma, Pa. Tak bisakah jujur padaku? Agar aku mengerti," bisik gadis itu lemah. Sungguh, perasaan bersalah kian bercokol di hatinya. Apalagi saat ia teringat dengan kalimat yang ia lontarkan pada sang ayah. 


"Maaf ...."


Ting! 


Arsyila mengusap rambutnya kebelakang, sebelum akhirnya merogoh saku bajunya. Diambilnya benda pipih itu. Ternyata ada pesan dari Lina, teman dekatnya. 


Message :


Lina : Ayo bersenang-senang, aku, Raisa, Jack, juga Dave akan pergi berkumpul bersama di apartement Dave. 


Arsyila segera pergi setelah menyuruh ART di rumahnya untuk membersihkan kekacauan yang dia buat. 


Sesekali tak apa. Lebih baik aku melupakan masalah hari ini sejenak, batin Arsyila. 


Tanpa gadis itu ketahui, akan ada masalah lebih besar yang akan menimpanya.