Nostalgia

Nostalgia

Ade Ana

0

ku hisap dalam2 sepuntung rokok yang sedari tadi ku nikmati. dari pagi baru rokok ini yang ku gerayangi, kantongku mendadak kritis ketika semalam aku menghabiskan waktu di club. Aku harus menunggu minggu depan untuk menstabilkan kantongku. Yah, ketika aku kehabisan uang seperti inilah aku baru menyesal. Sekarang sudah jam 1 siang. Aku masih baru bangun, maklum saja aku tidur larut setelah semalaman aku berfoya2 di club. ketika bangun aku hanya minum segelas air putih dan itupun juga air terakhir yang berada di rumah ini. Persediaan air, makanan, dan rokokku sudah benar2 habis. Aku tak begitu memikirkan makanan dan minumanku yang habis. Yang aku cemaskaskan adalah aku tak lagi punya rokok, aku lebih memilih tak makan daripada tak menghisap rokok sebatangpun. Kuhisap kembali rokok yang masih berada ditanganku itu, tiba2 aku merasa kaget karena api nya sudah sampai ke busa rokok, terasa panas membakar kedua belah bibirku. Ku padamkan api rokok itu kedalam asbak bulat kristal yang biasa menampung puluhan rokokku setiap harinya. Kemudian memperhatikannya. menela’ah satu persatu puntung rokok yang ada disana. Dan memunguti puntung rokok yang belum sempat sampai ke busa. Kemudian membakarnya kembali sekedar untuk memenuhi hasratku. 

 Ku pandangi foto2 yang berada di depanku. Terlintas beberapa pertanyaan ketika aku memandanginya. Pertanyaan yang bertahun2 lamanya menyergapku. Foto itu di ambil beberapa tahun lalu ketika kami jalan2 keluar kota saat menghabiskan liburan kenaikan kelas. di ambil oleh papa, orang yang sekarang berpengaruh dalam hidupku. Kurasakan butir2 hangat mengalir dari pelupuk mataku. Kerinduan yang mendalam menghujatku setiap saat. Aku rindu ketika hanya ada aku dan beberapa kepingan kenangan yang dulu adalah hidupku. Benar saja ada beberapa kisah yang mungkin tak akan ada yang mengerti mengapa semuanya tiba2 berbeda. Kami hanya menjalankan. Tetap yang berkuasa hanya dia. 

Masih sangat lekat dalam ingatan kecilku mama menceritakan ketika mama dan papa bersikeras menyuruhku mandi sendiri untuk pertama kalinya. Aku menghempaskan tempat sabun yang tertutup rapat. Bukan karena aku marah pada mama dan papa. Tapi aku melemparnya karena bingung bagaimana cara membukanya. mama dan papa memperhatikan aku dari sela2 kamar mandi. Mama bilang waktu itu umurku berusia 2 tahun, awalnya kuperhatikan setiap sela kotak sabun dan mengguncang2 nya dengan penuh amarah. Sejurus mama tertawa cekikikan dari balik pintu. Aku yang masih sibuk dengan kotak sabun itu tak terlalu menghiraukan bunyi cekikikan dari luar. Dan kemudian aku membantingnya. Sontak mama terkejut dan berhenti cekikikan. Papa memegang bahu mama dengan kuat. Mereka bilang aku banyak akal, aku yang akhirnya berhasil membuka kotak sabun itu tersenyum2 senang dan mengambilnya setengah berlari kesudut tepat pada kotak sabun yang ku lempar tadi. 

 Ketika beranjak anak2, aku selalu dikucilkan kakak dan abangku. Mereka selalu saja menghujatku. Mereka bilang aku anak mama, aku lemot, aku sok ambil muka, aku sok menarik perhatian orang. Seperti iri yang tak terungkapkan. Yah, begitulah aku dulu. Aku bukan sok seperti perkiraan mereka. Wajar saja mungkin aku yang lebih di perhatikan dan di manja oleh mama karena aku adalah anak bungsu, tidak dengan papa. Papa selalu mengatakan anak kesayangannya adalah kakak tertuaku. Aku tak apa dia mengatakan kakaklah yang paling dia sayang sedangkan kami hanyalah anak yang sebagai perantara di keluarga ini. tidak adil nya adalah abangku selalu di hukum dengan cambukan ikat pinggang dan tangan kasar papa. Aku pernah bertanya mengapa abang selalu di hukum. Papa hanya menjawab dengan singkat. “anak laki2 tidak boleh dimanjakan” waktu kecil aku tak pernah memikirkan maksud itu. hingga aku mulai beranjak ke sekolah dasar, aku berfikir kenapa papa berfikiran begitu. Karena abang tak pernah meminta dilahirkan menjadi anak laki2 bukan ??? 

Hm, Kami dibesarkan dengan kekerasan dan ketidak adilan. Tidak hanya itu, ketika pembagian uang jajan saja kakakku mendapatkan berapapun yang dia mau. Dan kami mendapatkan sesuai usia. Ketika kakak meminta apapun yang dia mau dia hanya tinggal menunjuk dan dapatlah apa yang dia mau. Sedangkan kami butuh proses. Bujuk mama dan kemudian mama yang bujuk papa barulah kami mendapatkannya. 

 Kami bertiga memiliki perbedaan yang signifikan. Mulai dari tingkah laku, keinginan, dan pandangan. Percaya atau tidak, aku adalah anak yang paling rajin belajar. Aku tak pernah berhenti memandangi buku. Kakak2ku lebih memilih bermain di luar bersama teman2 nya. Pulang sekolah aku langsung mengganti baju dan menganger bajuku rapi2. Kakak2 ku lebih memilih melemparnya dan membiarkan mama yang membereskan kembali. Kami selalu mendapatkan jatah mencuci sepatu dan kaus kaki setiap hari minggu. Dijemur di belakang dan kemudian papa dan mama akan berdiri di depan jemuran memperhatikan pekerjaan kami. Dan tentu saja, aku yang memiliki kaus kaki dan sepatu terbersih dari kakak2 ku. Aku tak pernah membantah apa yang dikatakan mama dan papa, aku tak pernah menyimpang dari apa yang di katakana mama. Ketika aku naik kelas 5 SD, mama memberitahu kami bahwa mama hamil. Sontak aku terkejut ada perasaan senang dalam benakku, tapi disisi lain aku takut jika perhatian dan kasih sayang mama malah akan terfokus kepada adikku. Pada malam mama melahirkan, papa sempat bertanya kepada kami satu persatu. 

“ kalian mau adik laki2 atau perempuan ?” Dan kedua kakakku memiliki jawaban yang sama.

”Laki2 pa” mata papa menatapku lekat. Tersirat jelas jika papa menagih jawaban dariku. 

“ Charol terserah aja pa, yang penting Charol punya adek” mendengar jawabanku papa mengusap lembut rambutku sambil terseyum memandangiku 

“ pintar” ucap papa lirih.

 Selang beberapa jam setelah itu papa menyuruhku masuk kedalam ruangan. Aku berlari dan menatap mama terbaring lesu, mata mama pucat namun tetap melempar senyum padaku. Di samping mama berdiri perawat yang sedang menggendong bayi. Aku tersenyum dan menghampiri mama. ku genggam tangan mama erat. kulihat tatapan bahagia dari mama. mama mengusap kepalaku dan menyuruhku melihat adik baruku. Perawat yang tadi menggendong bayinya meletakkan bayi itu hati2 ke tempat tidur bayi yang sudah disiapkan rapi2 di lantai. Mama bilang, adekku mirip denganku ketika aku masih bayi. Awalnya aku tak percaya. Tapi mama memiliki bukti yang akurat hingga aku tak punya alasan untuk menolak, fotoku ketika kecil. lagian dari beberapa kerabat mama yang datang mereka juga mengatakan jika adekku mirip denganku ketika aku masih bayi. Apa boleh buat aku harus menerima argumen orang2 jika memang begitu faktanya walaupun aku tak suka di sma2kan. Pelan kukecup kening adekku. Masih sangat menyengat bau air ketuban di tubuh adek. Perasaanku begitu senang, entah bagaimana perasaan ini ada. aku tak pernah merasa sebahagia ini sebelumnya, yang terbayang adalah betapa indahnya memiliki adik.

***

 Kudengar langkah kaki tergesa2 dari balik pintu kamar. Satu persatu terdengar pecahan piring, begitu lantang dan menakutkan. Ku genggam bagian bawah dari bajuku, aku benar2 tak biasa dengan kondisi ini. Memang ini bukan untuk pertama kali, namun tetap saja mentalku terlalu dini untuk berada pada kondisi ini. Kemudian di ikuti dengan suara ribut mama dan papa. Mereka akhir2 ini memang sering gaduh dan tak terkendali. Aku belum mengerti bagaimana orang dewasa itu melakukan hal sekriminal itu. aku pernah baca di Koran dan majalah2 di tambah lagi dengan berita televise tentang KDRT. Yah, aku selalu membaca apapun yang bisa kubaca.Awalnya aku tak begitu peduli dengan masalah KDRT yang di bahas2 dalam rumah tangga orang lain. Tapi sekarang aku tertarik untuk membaca berbagai macam artikel mengenai ini. Kulihat kakakku mengasingkan diri dan bersikap lebih tenang dari kami. Memang, kakak selalu sadar jika dia adlah ank yang paling tua dan bagaimana mungkin dia akan ikut ketakutan ketika kami adik2 nya merasa ketakutan. Ia menggenggam beberapa pensil yang memang sebelumnya di gunakannya untuk menulis tugasnya yang masih tergeletak tak karuan di atas meja belajar. Sedangkan abangku hanya terdiam sambil memegang VSP kesayangannya. Raut wajahnya begitu datar dan terlihat sekali ketidak peduliannya dengan kejadian yang sedang berlangsung. Berkali2 kakakku memanggil abangku supaya ia segera menyelesaikan game nya agar kami sama2 besedih. Akan tetapi ketika ia di tegur kakak ia hanya menoleh sebentar dan melanjutkan kesibukannya. Adikku masih tertidur pulas setelah diberikan ASI oleh mamaku sesaat sebelum pertengkaran ini, kutatap lembut raut muka adikku. Terlintas sedikit penyesalan kepada adek yang tak pernah tersentuh dosa kini harus berada di suasana mencekam begini. Kenapa adek tak lahir ketika suasana masih sejahtera ? aku tak ingin dia terbangun dan mendengar perseteruan orang tuaku.

 Beberapa saat setelah itu, suasana begitu hening. Mungkin pertengkaran kedua orang tuaku sudah selesai dan kini kami bisa tenang dan hidup tentram kembali. Hm, tidak seperti yang aku duga. Beberapa menit berlalu kembali terdengar hempasan piring. Kali ini tampa ampun bunyi piring bertubi2 berteriak memekikkan kedua gendang telinga kami. Kakakku bergerak cepat meuju pintu kamar. Langkahnya penuh dengan emosi dan ketidaksabaran. Tiba2 suara ribut itu kembali hening dan digantikan dengan suara kaka yang begitu nyaring. 

“cukup, aku keluar” orang tuaku langsung melirik kakak dengan penuh kecemasan. Mereka sangat tau kakakku bernaluri sangat tempramen, melakukan hal yang ia mau adalah caranya menikmati hidup. Papa menghampiri kakak dan memeluk kakak erat. papa langsung meminta maaf kepada kakak dengan segera dan membimbing tangan mama penuh kasih sepeti semula. Entah hanya rekayasa untuk menghilangkan kecemasan dari diri kami atau memang benar adanya mereka sadar. hanya dengan beberapa kata kakakku bisa langsung menyulap keadaan menjadi normal kembali. Sempat terlintas di benakku betapa kakak di sayang oleh papa. Terasa beruntung namun tak akan ada artinya bagiku. Kenapa ?? karena aku bukanlah kakakku. Kemudian papa menjelaskan kepada kakakku apa sebenarnya yang mereka ributkan. Papa yang tidak terima ketika mama meminta izin untuk melanjutkan kuliah nya ke bali yang pada waktu itu ancaman kepada seluruh pegawai kesehatan untuk jabatan serendah2nya adalah DIII. Sementara pada zaman dulu hanya D1 kebidananlah yang ada di Sumatra barat, tanah kelahiranku itu. Mama yang kebetulan berprofesi seorang bidan merasa jabatannya terancam. Maklum saja, mama juga mencari penghasilan sampingan dari praktek di rumah yang telah ia tekuni selama bertahun2. Mama di tegur oleh anggota Dinas Kesehatan karena masih menyandang gelar D1 dan sempat di ancam akan di cabut prakteknya jika tidak di sambung. Kakakku yang mendengar keluhan papa sempat berkomentar dan mengaku jika dia juga ikut mengantarkan mama untuk ujian di STIKes tempat mama melanjutkan pendidikan. Awalnya papa sempat kecewa dan kesal, terlihat begitu jelas raut muka papa yang tidak terlalu menerima kenyataan. Berhubungan dengan pembelaan kakakku terhadap mama, papaku pun luluh dan menerima alasan2 yang di sampaikan oleh kakak dan mamaku. 

Waktu berganti, peristiwa pahit bertubi2 menghujat setiap polesan lembut hidupku, menghakimi batinku berkali2 ketika aku mencoba melawan. Hingga waktu itu tiba, semua terasa benar2 hampa dan permasalahan semakin memuncak. Awalnya kami tak percaya jika kami adalah bagian dari kisah pilu yang biasanya hanya bisa ku lihat di sinetron2. Papaku sibuk dengan pekerjaan2nya. Kemudian ia mencoba bermitra dengan orang dari Malaysia tentang pekerjaan2 di bengkelnya. Mitranya berasal dari Beijing. Ia menawarkan pekerjaan yang menggiurkan kepada papa, kemudian kami berkumpul untuk membuat keputusan. Kakakku merengek agar papa tidak pergi. Karena mengingat jarak kami yang kemudian akan di pisahkan oleh beberapa samudra. Mamaku pun hanya pasrah karena tidak bisa di pungkiri mamaku juga tidak bisa sepenuhnya berada di rumah dikarenakan study mama yang masih di bilang seumur jagung. Akhirnya papa memutuskan untuk tidak pergi dan memilih menolak penawaran dari mitranya tersebut. 

Papa melanjutkan pekerjaan yang sebeumnya. Menyelesaikan dan mengambil proyek2 baru di beberapa wilayah. Sejauh ini memang semuanya lancar2 saja, tidak ada yang bermasalah, rekan bisnis papa juga mempercayai investasi nya yang berjumlah besar kepada papa, penghasilan papa bertambah setiap bulannya. 

 Kakakku kemudian melanjutkan kuliahnya di jururan Kebidanan, mama memaksakan kakakku untuk mengikuti pilihnnya karena mama percaya menjadi seorang bidan adalah hal yang bagus untuk mencapai masa depan yang baik , mama tau pasti bagaimana rasanya menjadi seorang bidan. Kakakku pun mengiyakannya. Abangku di pindahkan sekolah dan tinggal bersama mama dan papa, sudah begitu banyak sekolah menengah pertama yang di lalui oleh abangku karena kelakuannya yang selalu tidak mengikuti pelajaran di sekolah. Tinggal kelas bukanlah hal yang mengejutkan untuknya. Sedangkan aku dipindahkan sekolah ke kampung tempat nenekku berasal. Waktu itu aku masih Sekolah Dasar. Belum ada yang aku tau kecuali hanya bisa mengingat kejadian. 

2th berlalu. Semuanya semakin terasa hambar. 

Siang itu, seperti biasanya papa memakai celana goyang berwarna coklat, di temani dengan baju kemeja putih yang sandingnya sangat terlihat jelas walau tidak terlalu diperhatikan. Kacamata hitam dengan gaya Michel Jackson itu nangkring gagah di kepala papa. Dan yang tidak ketinggalan adalah sepatu Delta berwarna coklat gelap. Yah, papaku mungkin adalah jacki chan yang tidak terekspos. Papa memang selalu memperhatikan penampilan. Tidak peduli kapan dan kemana saja, sepatu Delta dengan farian warna berbeda itu bagaikan perangko tampa kunci oleh papaku. Tapi kali ini aku merasa berbeda dengan tingkah laku papa yang berangkat tampa pamit, sempat aku berpapasan dengan senyum papa yang seperti memiliki khiasan khusus di setiap sudutnya. Aku memang merasa aneh dengan papa, tapi kusingkirkan fikiran itu agar tak ada kecemasan yang akan timbul dari diriku. Tapi, kecemasanku berubah menjadi kenyatan Yah, disinilah semua kehancuran itu di mulai.

Pernah aku memergoki mama sedang menangis merintih di atas tempat tidur kamarnya. aku hanya bisa berdiam diri dan bingung untuk melakukan apa2. Akhir2 ini mamaku memang sering pulang kampung dan menangis sendiri di kamar. Pernah aku bertanya mengapa mama menangis. Tapi jawaban yang aku terima hanya “tidak apa2”, umurku yang masih 13 tahun mungkin di anggap terlalu dini untuk memikirkan masalah ini. Padahal aku sudah benar2 mengerti situasi ini, hanya saja umurku berbicara lain. Dan darisanalah aku benci di sebut kecil, darisanalah aku bertingkah sok paling dewasa dari teman2ku. Tidak bisa di pungkiri jika mereka mengakui itu. di tahun yang sama aku mulai merasa kesendirian itu memang sulit. Mama yang sibuk dengan kuliahnya, papa yang sibuk dengan pekerjaannya, kakakku sibuk dengan hal2 gila yang menimpanya, dan abangku sibuk merajalela di sekolah dan kembali pindah2 sekolah. Kakakku yang berwatak tomboy itu bisa dibilang sebelas duabelas dengan abangku. Pindah sekolah dan skorsing bukanlah hal yang luar biasa dan mengejutkan untuknya. 

 Beberapa kali papa memenuhi panggilan dari sekolah, papaku tetap membela kakak. Kakakku mengalami kisah hidup yang berbelit. Sewaktu dia SMP dia berpacaran dengan seorang polisi yang jabatannya hanya seorang brigadier. Kakakku sering memperkenalkan pacar2 nya kepada papa dan mama. dan yang satu ini berhasil memikat hati papa dan mama. hingga 3 tahun berlalu ketika kakak memasuki SMA, papaku masuk penjara karena proyek yang gagal ia pertanggung jawabkan. Polisi yang bernama Ken itu memutuskan hubungannya dengan kakakku. Alasannya, ia tak bisa melanjutkan hubungan dengan anak seorang narapidana. Mengingat profesinya sebagai polisi dan papa seorang narapidana. Kakakku yang terpukul dengan dengan keadaan mencoba melarikan diri dengan seorang wanita yang dandanannya tidak ubahnya dengan laki2. inilah yang disebut dengan butchi di zaman modern seperti ini. Butchi2 itu merasa bangga memiliki pacar seorang wanita. Iiiih, menjijikkan bukan ??

“Dunia haram” begitulah aku menyebutnya, dimana 2 orang yang sejenis menghabiskan waktu bersama dalam kemesraan. Akupun mulai mengenal kebiasaan gila yang sering dilakukan kakak. Dan pelan2 aku masuk kedalamnya. 

***

“charol, kau tak merokok ??” sengit kakak dari sudut ruangan.

“aku ingin mencoba, tapi aku tak dapatkan hobinya” sahutku pendek

“kau mau coba lagi ?” kulihat kakak berjalan menghampiriku sambil membawa sebatang rokok yang sudah dibakarnya.

aku masih memiliki perasaan ingin tau tentang segala hal dan kemudian kuputuskan untuk menerima tawaran itu. semenjak itu aku selalu menyempatkan diriku untuk menghabiskan setiap batangan rokok. Seperti ada yang hilang ketika aku tak menghisap rokok sebatangpun. 

……..


Puntung rokok yang tadi ku bakar kini hanya tersisa abu. Hari ini hari kamis, aku kembali membolos kuliah. Jurusan kebidanan yang tidak dari hatiku itu terasa berat untuk ku lanjutkan. Aku tak ingin menjadi seorang bidan seperti mama. aku ingin kuliah di jurusan yang luar biasa dari ini. Namun aku tak mendapatkannya karena mungkin memang bukan jalanku. Kuputar kepalaku melihat sekeliling rumah, hm, rumah ini benar2 berantakan. Aku lupa kapan terakhir membersihkan rumah. 

Kulihat kakakku terhuyung2 keluar dari kamar, rambutnya yang keriting memberi kesan orang gila padanya, tapi tetap saja dia terlihat cantik meskipun rambutnya acak2an. 

“Charol, kau masih punya pil itu ?”

“masih, kenapa kak “ 

“beri aku 30” segera aku berdiri dan memberikannya kepada kakakku. Kami memang mengkonsumsi pil yang memberikan kesan negatif terhadap orang2. Pil ini adalah pil untuk obat batuk. Jika di konsumsi dalam jumlah yang banyak pil ini akan menimbulkan efek pusing, ngntuk, memberikan persaan yang menyedihkan, menyenangkan dan perasaan nyaman dari pengguna. Tergantung apa yang mereka pikirkan. Kebiasaan ini aku yang memulainya. Seorang temanku yang juga butchi, namanya Ela (bukan nama sebenarnya) ia adalah sahabatku dari SMA, kami kenal memang sudah sangat lama. Berhubung mamanya adalah teman seprofesi dengan mamaku. Dari kecil kami sering bermain bersama. Ialah yang memberi aku pil ini. Waktu itu aku masih SMA, teman2ku mencoba banyak hal gila di pergaulannya. Aku yang mau tidak mau harus mengikuti cara mereka bergaul. Aku pernah mengadakan pesta Lem, Pil bersama teman2ku. Tidak hanya sekali aku lakukan, tapi sangat sering. Pernah sekali temanku datang dengan tergesa2. Dia mengatakan jika seorang polisi mengetahui pesta kami dan ia sedang menuju kesini. Dalam keadaan setengah sadar kami berusaha bersembunyi di belakang perbukitan yang kebetulan tembus ke desa seberang. Jalanan begitu sulit kami lewati. Bagaimana tidak, semua pemandangan terasa bergoyang dan memusingkan.