Sazana tampak bahagia, dalam hitungan jam, ia akan duduk di hadapan penghulu dan menyaksikan mempelai pria yang mengucap ikrar janji setia, sehidup semati dengannya.
Ia terlalu gugup hingga beberapa kali mondar-mandir di ruangannya dan sesekali tampak meremas tangannya sendiri.
Ia tak sabar ingin melihat penampilan calon suaminya. Pastilah akan tampak gagah dengan balutan jas dan dengan lantang mengucap ijab kabul di depan penghulu.
Sazana tak bisa menahan lagi. Ia tak peduli kata orang-orang tentang pamali saat akan menikah, tetapi ia rindu pada sang kekasih hati.
Sazana menyelinap keluar dari kamarnya, dengan jaket hoodie yang menutupi kepala, ia ingin bertemu sebentar saja dengan Rajata dan berbicara mengenai pernikahan mereka yang kurang beberapa jam lagi akan dilaksanakan.
Ia tahu, dirinya dan Rajata dikelilingi banyak orang beberapa waktu terakhir ini, dan mumpung malam telah larut dan suasana begitu sunyi di hotel tempat mereka menginap, tak ada salahnya untuk bertemu sebentar saja.
Sazana mengetuk pintu kamar Rajata berulang kali, tetapi tak ada jawaban dari dalam. Ia nekat memutar knop pintu dan melangkahkan kaki memasuki ruangan di mana calon suaminya tidur. Pintu tidak terkunci.
Namun, sampai di dalam, ia mendengar suara gemercik air dari kamar mandi. Senyum Sazana tersungging. Rajata memang laki-laki yang bersihan. Meski malam larut, lelaki itu pasti akan membersihkan diri sebelum naik ke atas kasur untuk tidur.
Sazana memutuskan untuk menunggu.
Akan tetapi, niatnya berubah kala ia mendengar suara dari kamar mandi dan jelas bukan suara Rajata saja. Ada lenguhan aneh yang terdengar cukup jelas dari dalam kamar mandi sampai ke tempat Sazana berada.
Degup jantungnya mulai tak karuan. Apakah ia salah masuk kamar? Mengapa ada suara perempuan di dalam sana?
Sazana nekat, bangkit dan melangkah ragu menuju sumber suara yang tak lain adalah dari kamar mandi. Dan mendorong pintu kaca itu bukanlah ide bagus, rupanya. Karena apa yang ada di hadapannya membuat Sazana nyaris pingsan.
***
Suara langkah kaki tergesa terdengar mendekat dan berhenti di belakang Sazana, seorang gadis yang hari ini tampak bak putri dari negeri dongeng.
Ia memang seperti seorang putri, cantik dan menawan. Begitu pula kisah cintanya yang sebentar lagi akan berakhir ‘happily ever after’ seperti dalam kisah Cinderella—rakyat jelata yang kemudian menikah dengan seorang pangeran.
Sayangnya, tidak. Tidak seperti itu akhir kisah cintanya. Anggap saja ia sedang bermimpi, tetapi kemudian dipaksa untuk bangun dan menghadapi realita bahwa pernikahan mereka batal dikarenakan hal yang tak pernah ia duga.
Sazana seharusnya menjadi yang beruntung di antara lainnya. Menikah dengan pria mapan, seorang pemilik bisnis hotel ternama di Bali, sementara dirinya hanyalah pegawai biasa yang bekerja di tempat berbeda.
Ini jelas bukan kisah cinta antara pegawai dan atasan, karena pertemuan antara dirinya dan Rajata adalah suatu ketidak sengajaan.
“Tuan Rajata tidak ada di kamarnya, Non!” salah seorang pelayan Rajata—yang sudah akrab dengan Sazana saking lamanya hubungan mereka, dengan napas masih terengah memberikan kabar padanya saat itu juga.
Wajah muram gadis itu bukan karena kabar yang baru ia dengar dari Elia beberapa detik lalu melainkan sejak semalam.
Ia bahkan sudah rela dengan apa yang telah dilakukan Rajata terhadapnya, dan berjanji akan melupakan semua asalkan Rajata tidak membatalkan pernikahan mereka. Namun, tampaknya apa yang Sazana inginkan tak sejalan dengan keinginan Rajata.
Pria itu membuktikan perkataannya bahwa ia tidak lagi menginginkan Sazana.
Bukan karena Sazana buruk rupa, bukan juga karena gadis itu tidak pintar, karena meski hanya lulusan SMA nyatanya Sazana diterima bekerja di sebuah hotel ternama karena kepandaian dan kecerdasannya berbahasa asing dan kemampuan public service-nya.
Sayang sekali, bagi Rajata gadis itu kurang dalam service terhadap pasangan.
“Kamu selalu bilang, kamu akan berikan keperawananmu pada suamimu nanti, dan aku bosan dengan kata-katamu itu, Saz. Aku ini laki-laki normal dan harus menahan diri setiap lihat kamu, kamu pikir itu enak?” rutuk Rajata malam tadi saat Sazana memergokinya tengah bercinta dengan perempuan lain di kamar mandi.
Sazana merasa sesak saat itu. Namun, ini adalah pernikahan impiannya, kehidupan yang ia dambakan. Hingga pada akhirnya ia rela korbankan harga diri demi terwujudnya semua ini.
“Kamu mau tidur sama aku, kan? Ayo ... aku bakal kasih tubuhku untuk kamu, silakan nikmati sampai kamu puas. Tapi, please, Rajata ... jangan ambil keputusan yang akan menyakiti kita berdua,” mohonnya sembari melepaskan satu per satu pakaian yang ia kenakan.
Rajata yang tengah duduk di atas ranjangnya, memandangi Sazana dengan saliva yang ia telan sekuat tenaga. Mana mungkin ia tak tergoda? Namun, mengingat bagaimana Sazana sangat anti dengan seks di luar nikah, dan begitu menjaga keperawanannya, Rajata jadi kehilangan minat terhadap gadis itu.
Apa istimewanya seorang gadis yang masih perawan? Apakah hanya untuk kebanggaan tetapi tidak bisa ia nikmati dengan bebas?
Hanya pernikahan yang bisa membuat Rajata bisa menyentuh Sazana, padahal hasratnya sebagai lelaki sudah ada sejak semula ia melihat gadis itu.
Namun, tidakkah Rajata berpikir, sangat disayangkan jika melepaskan Sazana begitu saja padahal sebentar lagi ia bebas mereguk kenikmatan itu? Ia bebas melakukan apa saja dengan tubuh Sazana, sebentar lagi.
Itu tadi, Rajata sudah kehilangan minat.
“Pakai pakaian kamu, Saz, dan kembali ke kamarmu!” titahnya, tegas.
Tentu saja Rajata sudah tidak berselera. Ia sudah kenyang menikmati santapannya sejak tadi. Bahkan Sazana tak tahu kalau ia kerap melakukan itu selama menjalin cinta dengan Sazana.
Bukan, bukan! Rajata tak terima jika dikatakan tak setia. Ia tidak berselingkuh, hanya bermain dengan beberapa wanita dan itu pun hanya untuk sebuah kepuasan.
“Rajata, please ... kamu bebas lakuin apa aja, tapi aku mohon, jangan batalkan pernikahan ini. Bapak sama ibuku pasti bakal sedih kalau tahu aku—“
“Sazana, sayang ... kembali ke kamar kamu. Jangan cemaskan apa pun,” ucap Rajata sembari menangkupkan kedua telapak tangan di pipi Sazana.
Suaranya terdengar lembut, seperti Rajata yang Sazana kenal. Benar, laki-laki itu tidak berubah dan itu membuat Sazana tenang.
Namun, itu semua hanya manipulasi saat yang terjadi hari ini justru sebaliknya.
“Ke mana dia pergi?” tanya Sazana, ketika angannya sudah kembali setelah berkelana pada kejadian malam tadi.
“Saya tidak tahu, Non. T-tapi tuan meninggalkan ini di meja.”
Gadis itu menyerahkan sepucuk surat untuk Sazana yang jelas tertulis namanya di sana. Sazana menarik napas dalam-dalam sebelum membuka dan membaca isinya yang pasti akan lebih menyesakkan.
Dear, Sazana, cintaku ...
Kalau kamu sudah baca surat ini, artinya aku sudah tidak lagi berada di samping kamu. Maafkan aku. Ada banyak hal yang tampaknya tidak sempat kusampaikan padamu.
Kamu terlalu tergesa dan bahagia akan pernikahan ini, hingga lupa bertanya, apakah aku bahagia atau tidak. Siap atau tidak. Kamu tidak pedulikan diriku sebagai laki-laki dan selalu mempermasalahkan waktu, padahal pada akhirnya kita juga akan menikah.
Aku yang salah karena tidak kuasa menunggu.
Dan melalui surat ini, kusampaikan apa yang harusnya sejak lama kusampaikan. Mungkin saat ini kita tidak lagi berjodoh, mungkin nanti, atau di kehidupan mendatang.
Berbahagialah, meski tanpa aku.
Salam sayang
Rajata.