Prolog
Jika tidak melihat langsung dengan kedua mata ini, aku tak akan percaya. Boy yang hilang sejak dua hari lalu, sekarang terkapar di sana dengan kepala terpenggal. Matanya yang melotot membuatku bergidik ngeri
Angin berembus. Bau sangit menyeruak. Aku kenal bau ini, pernah satu kali menciumnya saat salah satu tetangga di kampung tersetrum listrik. Bau daging manusia yang terbakar memang membuat perut terasa diaduk-aduk. Mual.
Sekelompok orang berpenutup kepala putih duduk dalam sebuah lingkaran. Di tengah-tengahnya kepala Boy dipajang. Tak jauh dari sana, badannya yang sudah terpisah, dibakar dalam sebuah wadah berbentuk segitiga.
Aku tak mengerti. Ritual apa yang sedang dilakukan orang-orang gila ini.
"Metuendas ... Dcemonis violentias ... daemonium ... exspiravit." Mereka terus bergumam. Gumaman yang tak kumengerti. "Adonai Yeshova, Matraton He Agla Adonai Mashon, verbut pushonikum." Namun, entah mengapa hatiku mengatakan kalimat itu mengundang sesuatu yang sangat besar untuk datang ke sini.
Suhu udara di ruangan turun seketika. Bulu kudukku meremang. Tiba-tiba terdengar suara ribut, menyerupai suara lebah berdengung memenuhi ruangan. Lalu sesosok bayangan hitam muncul di langit-langit ruangan. Tepat di atas kepala Boy.
Nguuung nguuung.
Suara dengungan itu semakin nyaring. Terasa memenuhi telinga, lalu menjalar ke otak. Aku tak tahan lagi. Aku berbalik dan langsung berlari dengan kaki bergetar meninggalkan ruangan itu. Namun tiba-tiba di kegelapan tubuhku menabrak seseorang berbadan besar.
Bruuk!
Sosok tinggi besar itu mencengkeram lenganku. Ingin berteriak, tapi ia lebih dulu membekap mulutku.
"Hmmmm." Hanya gumaman yang keluar dari mulutku.
Detik berikutnya gelap, akahkah riwayatku berakhir di sini?
***
Cuaca sejuk perkampungan mulai berganti panas. Lima jam perjalanan dengan bus, perbedaan suhu udara saat naik tadi begitu kentara. Aku tidak yakin saat ini sedang berada di mana. Yang kutahu, kata om Frans, perjalanan memakan waktu tujuh jam. Masih sekitar dua jam lagi, tapi gedung-gedung tinggi mulai terlihat. Pusat-pusat perbelanjaan yang megah. Rumah-rumah bertingkat. Berbeda sekali dengan pemandangan di kampungku.
Perjalanan yang membosankan. Bersampingan dengan seorang ibu-ibu tua, tidak ada yang bisa jadi bahan diskusi. Untung saja lagu Sheila on Seven yang diputar oleh sang sopir adalah lagu favoritku. Sedikit mengurangi kebosanan.
Hari ini, setelah perdebatan panjang dengan ibu, akhirnya aku berangkat ke kota X untuk mengadu nasib di sana. Wanita yang telah melahirkanku tersebut tidak pernah mau melepaskan anak semata wayangnya ini berangkat ke kota. Ya, aku paham, trauma masa lalu yang masih membekas hingga sekarang adalah penyebabnya.
Sepuluh tahun lalu, ayahku berangkat ke kota dalam keadaan segar-bugar, kemudian pulang tidak bernyawa. Kondisi yang begitu menggemaskan, sampai-sampai disarankan untuk tidak membuka kantung jenazah. Polisi bilang itu adalah kasus pembunuhan, tapi sampai sekarang masih belum jelas siapa pelakunya dan apa motifnya.
Ibu takut hal yang sama akan terjadi padaku juga. Tentu saja.
Semenjak menyelesaikan pendidikan SMK, lima tahun lalu, aku bekerja dengan pak Jo. Seorang pemilik bengkel kecil di kampung. Ia lebih suka menitipkan bengkelnya padaku, lalu mencari pekerjaan lain yang lebih menghasilkan.. Tentu saja, di kampung itu pengguna kendaraan bermotor masih jarang. Kadang seharian tak ada satu pun pelanggan. Kalaupun ada, paling-paling hanya minta tambal ban yang bocor.
Memahami kenyataan bahwa kehidupan tak akan pernah berubah jika aku terus menetap di kampung, ditambah kebetulan ada sahabat mendiang ayahku yang menawarkan pekerjaan di kota, akhirnya ibu dengan berat hati memberikan izin. Ya, walau harus ada drama berurai air mata berjilid-jilid sejak H-7 keberangkatan.
Saat asyik melamun sambil mendengarkan suara merdu Duta sang vokalis, tiba-tiba HP di kantong celanaku bergetar. Seseorang menelepon.
"Hallo. Om Frans!" seruku mencoba mengalahkan suara musik.
"Akbar ...." Suara berat terdengar di ujung HP.
Om Frans mengarahkan di mana nanti aku harus turun dan ke mana harus pergi setelahnya.
Aku mendengarkan dengan seksama. Pertama kali ke kota besar, tak boleh sampai kesasar.
***
Aku berdiri di depan sebuah rumah bercat putih. Bangunannya memanjang ke belakang dengan halaman sempit, tapi masih terlihat bersih dan rapi. Tak terlihat sampah berserakan seperti di tempat yang kudatangi sebelumnya. Jarak antara pintu masuk dengan pagar depan hanya sekitar dua meter. Ada bekas bakaran rumput kering di halaman, juga beberapa bunga menguning tak terawat. Tulisan "Terima Kos Laki-laki" pada selembar karton digantung begitu saja di pagar.
"Permisiii!" Aku setengah berteriak.
Namun, rasanya ada yang aneh. Di siang bolong begini, kos-kosan ini terlalu sepi. Hening, seperti tanpa kehidupan.