Namanya Mbah Juminten atau biasa dipanggil Minten.
Mantan kembang desa yang gemar memikat laki-laki. Kini usianya sudah enam puluh lima tahun dengan lima cucu dari dua anak angkat. Beliau tetanggaku, setiap menikah, suaminya pasti mati sebelum melalui malam pertama. Sesepuh desa menjulukinya nenek perawan. Wanita berstatus janda, tapi belum terjamah dosa.
Semasa muda, Mbah Juminten punya wajah khas wanita jawa. Hidungnya bangir, alis tebal dengan bibir merah ranum. Saat senyumnya merekah, deretan gigi putihnya akan terlihat begitu rapi dan bersih. Belum lagi tubuh rampingnya yang tinggi semampai bak model. Dulu saat keluar, puluhan pasang mata lelaki tidak akan mampu berpaling darinya. Tapi dari semua itu, menurutku yang paling menawan adalah matanya. Mbah Juminten tidak perlu melakukan apa pun untuk menunjukkan betapa memesonanya dia. Hanya perlu memandang, hati lawan bicaranya akan bergetar.
Di balik rahasia awet mudanya yang misterius, banyak desas-desus yang mengatakan kalau Mbah Juminten adalah wanita pencari tumbal. Ia menukar nyawa para suaminya agar bisa mempertahankan aura kegadisan. Entahlah, aku sendiri tidak tahu kebenarannya. Lagi pula, sudah lama sekali Mbah Juminten tidak berulah. Sosoknya nyaris tidak pernah keluar dari sekadar berdiri di balik jendela berpalang besi. Entah berjemur, melihat pagi, atau hal lain, aku tidak yakin. Tapi aku merasa tatapan kosongnya tengah mengawasi sesuatu. Mbah Juminten sering mematung lama di bagian jendela yang sama. Dengan rambut berubannya yang tergerai panjang dan daster renda khas noni Belanda. Sosoknya terpaku seperti manekin.
Di desa seperti Sumber Sari, urusan klenik, sesembahan, juga bau dupa sajen masih sangat kental di lingkungan masyarakat yang jumlahnya tidak seberapa. Kejanggalan hidup Mbah Juminten dianggap hal biasa. Maklum, desa Sumber Sari sudah lama ditinggalkan oleh orang muda. Sebagian merantau, sebagian lagi tidak menikah. Alhasil, dua puluh tahun berselang, hanya ada lansia juga para manusia paruh baya. Sekalipun lahir generasi baru, itu hanya sebagian kecil. Tanah pertanian yang gersang, juga penghidupan sulit membuat lingkungan kami jarang diminati pendatang. Jadi sebagai wanita di awal usia tiga puluh, aku nyaris tidak punya teman.
Dari sekian ratus hunian sederhana, tiga puluh rumah di pinggiran jalan dibiarkan kosong begitu saja. Mereka memilih pindah ketimbang bertahan tanpa penghasilan cukup. Menurut data kelurahan, total jumlah orang yang bermukim tidak sampai seribu. Tidak heran baik siang maupun malam, jarang ada orang lewat. Bahkan belakangan, pohon-pohon semakin tinggi tidak terkendali. Di sebagian rumah kosong, semak kian lebat dan memakan nyaris seluruh temboknya. Namun, tidak ada yang peduli dengan suramnya desa ini. Jadi, jangankan mengurusi tentang Mbah Juminten, para warga di perkumpulan desa lebih suka diam dan mengangguk-angguk saja. Seolah mereka sudah lelah menjalani kehidupan yang monoton. Pergi menanam palawija juga kacang lalu pulang untuk ke surau tua di ujung desa. Kegiatan itu terlihat begitu damai dan teratur, tapi bagiku malah terlalu datar. Kalau terus seperti ini, bukan tidak mungkin tinggal menunggu waktu saja desa Sumber Sari berubah menjadi lingkungan mati.
Suatu siang di hari yang panas menyengat, Sarita mantan adik iparku tiba-tiba datang ke rumah. Ia masih memakai caping dengan arit tergenggam di tangan kanan.
Kulit langsatnya memerah dan peluhnya membasahi rambut. Tampilan berantakan Sarita adalah bukti kalau ia baru pulang dari ladang. Waktu itu aku yang tengah menyisir rambut panjangku di teras rumah, sontak terkejut.
Dari mulutnya yang gemetar, aku mendengar kabar tidak terduga mengenai Burhan, adikku sekaligus mantan suami Sarita. Apa lagi kalau bukan soal perempuan? Sarita cukup emosional hingga melempar arit kotornya ke ubin teras. Wajar kalau ia marah. Perceraian mereka belum lama. Bahkan ada si Ata, putri kecil yang belum tahu apa-apa.
“Ah, kamu itu pasti salah dengar. Mana ada yang mau sama Burhan? Adikku itu pengangguran. Rokok saja masih minta sama aku,” kilahku sembari menggelung rambutku setinggi telinga. Meski terlihat berusaha menenangkan, tapi tetap saja aku ikut waswas juga. Bagaimanapun Burhan memang doyan perempuan. Ia dikenal sebagai sosok perayu berwajah tampan. Tubuhnya tinggi menjulang bak abdi negara. Sayang, otak Burhan hanya diisi hal-hal tidak berguna. Mencari wanita lalu saat bosan, ditinggal begitu saja. Tidak terhitung mantannya dari desa sebelah. Andai desa Sumber Sari tidak sedang mati suri, aku yakin daftar mantan kekasih Burhan akan lebih panjang. Sarita hanyalah kembang desa yang sedang sial. Entah bagaimana ia bisa terjerat dan akhirnya memutuskan menjadi janda di usia muda.
“Mbak, dengar. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri,” bantah Sarita mengacak rambut ikalnya dengan gerakan gusar. Alis wanita cantik itu menyatu lalu menunjuk rumah besar gaya Belanda di ujung hutan.
Aku mengernyit bingung, mencoba mengusir firasat burukku jauh-jauh.
“Semua orang tahu kalau Mas Burhan berniat melamar Mbah Juminten,” bisik Sarita melotot kesal. Matanya memerah dan mulai berair.
“Apa! Jangan bicara ngawur kamu!” sergahku dengan nada suara tinggi.
Aku marah sekaligus tak percaya. Kesibukanku sebagai lurah di kantor desa membuat waktu bersosialisasiku kurang. Begitu pula dengan suamiku yang berprofesi sebagai polisi. Kami sama-sama menghabiskan waktu untuk pekerjaan.
Seakan tak ada lagi yang ingin ia katakan, Sarita pergi, membawa tangisan juga ucapan kekecewaannya padaku. Benar, aku sendiri yang pernah berjanji untuk menjaga Burhan agar tidak segera menikah lagi. Ia benci dijadikan bahan gunjingan. Apalagi di desa kecil seperti ini, gosip aneh lebih cepat menyebar dari mulut ibu-ibu.
Habis sudah martabat, juga harga diri keluarga kalau si berengsek Burhan menikah dengan nenek-nenek. Selain pada Sarita, janjiku pada almarhum ibu tidak boleh dilanggar.
Keesokan malamnya tanpa sepengetahuan siapa pun, aku yang baru pulang dari kantor desa mampir ke rumah Mbah Juminten. Lampu jalanan sudah lama mati, jadi aku menyalakan ponsel untuk menemukan bel di pintu pagar rumahnya. Akan tetapi, nyaris sepuluh menit menunggu, tidak ada tanda-tanda orang keluar untuk menyambut tamu. Apa rusak? Batinku menghela napas berat.
Rumah Mbah Juminten adalah hunian paling besar di desa. Punya taman dengan dua ayunan berkarat di sisinya. Akan tetapi, semua itu lebih terlihat seperti kumpulan semak belukar liar yang tumbuh di pekarangan. Tidak ada bunga atau tumbuhan bagus. Kemegahan desain interiornya sudah lama musnah karena tidak pernah dipugar atau dirawat dengan baik. Desain gaya Belanda-nya bisa dibilang sudah terlampau tua. Temboknya dibiarkan menghitam karena jamur. Bahkan kalau dilihat, cukup banyak rekahan di dinding.
Sebenarnya ada banyak rumah seperti itu di desa Sumber Sari, tapi kesan suram yang terpancar dari rumah Mbah Juminten berbeda. Entah karena pengaruh udara dingin atau letaknya yang berada tepat di ujung Hutan Akasia?
Selama menjabat sebagai lurah, tidak sekali pun aku pernah masuk atau berkunjung. Jika ada keperluan mendesak seperti pemeriksaan kesehatan lansia oleh petugas, mereka hanya diterima di balai tua samping rumah utama. Itu pun hanya sebentar, tanpa berbincang lama.
Dari banyaknya desas-desus yang berkembang, ada secuil cerita tentang Mbah Juminten dari mulut ibuku sendiri. Tentang asal-usul yang tidak jelas lalu kematian keluarga angkat Mbah Juminten yang dipenuhi kejanggalan.
Tiba-tiba aku merinding. Rambut sepanjang punggung yang aku gelung rapi serasa ada yang meniupi.
“Eh, Bu Lurah. Ada apa malam-malam begini?” “Astagfirullah!” teriakku saat tiba-tiba melihat Darsih, anak angkat nomor dua Mbah Juminten. Ia tengah berdiri sembari menatapku dengan seringai kecil. Sungguh aneh, perempuan itu bisa datang tanpa suara. Memang dia muncul dari mana? Kulit juga pakaiannya yang putih membuat pikiranku mendadak dipenuhi hal mistis.
“Maaf, kalau mengagetkan. Habis sholat isya saya, Bu.” Ia tersenyum datar, memperlihatkan mukena yang ternyata setelah dilihat lagi—sedikit kotor, seperti ada noda-noda tanah. Darsih rupanya punya sedikit luka kehitaman di mulut dan kening. Semua itu sungguh kontras dengan kulitnya yang putih bersih.
Ah, mukena toh, batinku menatap Darsih dari atas hingga bawah. Aku tidak melihat ujung kakinya, mungkin karena bagian bawah mukenanya menutupi tanah. Aku menghela napas panjang. Kuelus dadaku yang sempat gelisah tanpa alasan. Haruskah aku kembali besok? Tapi sudah kepalang tanggung.
“Sebenarnya saya datang bukan sebagai lurah, melainkan tetangga. Ada sesuatu yang ingin saya tanyakan langsung pada Mbah Juminten.
Lagi-lagi ia meringis aneh. “Sebentar kalau begitu, tak tanyakan dulu. Ibu sepertinya belum tidur tadi.”
Ia kemudian membuka pagar lalu memberi isyarat agar aku ikut masuk. Suara deritan panjang seketika memecah hening dan membuat ngilu gigi. Di langkah pertama, tubuhku bak ditelan gelap. Lampu menuju rumah itu pasti akan segera mati. Cahaya usangnya berkedip, sekarat dan minta diganti.
Darsih menyuruhku menunggu di teras rumah utama, bukan balai kecil yang biasa mereka pakai untuk menerima tamu. Aku duduk di salah satu barisan kursi ukiran kayu yang terlihat tua. Perabotan seperti ini susah ditemui lagi sekarang, atau memang tidak ada?
Tidak lama kemudian, Darsih yang masih memakai mukena muncul lagi. Membawa nampan berisi secangkir teh wangi melati yang masih panas mengepul serta cangkir blirik hijau bertutup dari besi, mungkin untuk nyonya rumah. Aroma melatinya sangat kuat, aku lebih suka kalau ada tambahan gula batu. Tapi namanya juga tamu, tidak pantas rasanya meminta macam-macam. Kusesap sedikit teh panas itu dengan perlahan, namun tetap saja panasnya masih membakar mulut. Membuat lidahku otomatis terjulur.
“Parni? Sudah lama sekali, Nduk, kamu tidak mengunjungi simbah.”
Suara melengking kecil itu milik Mbah Juminten. Sosok tinggi semampainya keluar dari pintu utama rumah tepat ketika aku hendak menyesap kembali tehku.
Aku terkejut bukan main. Sosok wanita 65 tahun tidak ada di dalam diri Mbah Juminten. Beliau sangat segar dan kulitnya hanya ada sedikit kerutan. Saat berjabat tangan pun, aku heran karena begitu halus dan mulus. Bukannya makin takjub, aku mendadak takut. Terakhir saat melihatnya berdiri dekat jendela, aku yakin dia sudah cukup renta. Ditambah aku tidak yakin ada skincare yang seampuh ini menahan laju usia. Aku saja yang masuk tiga puluhan tahun kesulitan menyamarkan kerutan halus di sekitar mata.
Mbah Juminten lalu duduk di kursi kayu berlengan dengan dudukan empuk di depanku. “Piye, Nduk. Katanya ada yang mau dibicarakan.” Ia melempar senyumnya ke arah pintu, seakan memberi isyarat pada seseorang di balik jendela. Namun, saat aku menoleh, tidak ada siapa pun. Hanya sehelai tirai putih berenda yang melambai tertiup angin. Aneh, padahal udara serasa begitu kering, tidak ada pergerakan sedikitpun.
“Begini, Mbah. Ini mengenai Burhan,” ucapku sedikit tak nyaman. Suasana rumah itu benar-benar sunyi. Suara detak jarum jam tua di dalam rumah bahkan terdengar dari sini. Ke mana anak-anak? Kenapa tidak ada satu pun yang terlihat? Kalau diingat-ingat kelima cucu Mbah Juminten menjalani program home schooling. Tambah aneh lagi karena tidak lazim sistem belajar seperti itu diterapkan di desa kecil yang nyaris mati.
Mbah Juminten tiba-tiba terbatuk, ia lalu meraih cangkirnya sendiri yang tadi diletakkan Darsih. Aku penasaran apa isi cangkirnya, apakah teh melati sama sepertiku, atau ramuan rahasia yang dibikin khusus untuknya. Harusnya aku mencuri lihat ke dalam cangkir itu tadi waktu masih sendirian.
“Bicaralah dengan Burhan dulu. Kamu sudah menemuinya belum?” gumamnya tenang. Rambutnya yang separuh memutih sama sekali tidak mengurangi daya pikatnya sebagai seorang perawan. Aura renta seolah lenyap. Aneh. Hanya kata itu yang terus aku bisikkan pada diriku sendiri.
“Mbah, sebagai kakaknya saya tidak setuju. Rasanya tidak sopan kalau Burhan menikah dengan Simbah. Dia playboy dan suka berjudi,” ucapku memberi alasan terlogis. “Tidak sopan atau tidak pantas? Apa pun itu, Burhan sudah dewasa. Kalau kamu tidak suka, adabnya salah. Kamu harusnya datang ke Burhan. Bukan ke simbah.” Ia sedikit menaikkan suaranya, menahan harga diri seorang wanita.
Belum sempat aku menyahut lagi, tiba-tiba saja terdengar suara kekehan. Aku terkesiap lalu menoleh ke belakang. Sesosok kecil anak perempuan yang entah datang dari mana, berlari sekencang angin, menghambur ke pangkuan Mbah Juminten. Bulu kudukku seketika meremang, menatap kaki sepucat susu di balik gaun warna merah anak kecil itu. Rambutnya tipis, bahkan terlalu tipis hingga kulit kepalanya terlihat menonjol. Tak pelak, aku membandingkannya dengan warna kulitku yang kecoklatan. Apa di rumah ini tidak ada yang punya warna kulit normal?
“Sudah waktunya untuk menidurkan cucuku, pulanglah. Temui simbah kalau kamu sudah bicara dengan adikmu.” Mbah Juminten berdiri, merapikan lipatan rok rendanya untuk menggendong sang cucu yang tak kunjung berhenti mengekeh.
“I-iya, mbah. Saya pamit dulu,” ucapku buru-buru berdiri. Segera aku berbalik, berjalan secepat mungkin untuk mencapai pagar depan. Suara tawa cucu Mbah Juminten seperti mengikutiku. Entah karena ketakutan atau apa, jalan setapak itu jadi serasa begitu panjang dan menguras tenaga. Setibanya di pintu keluar aku menoleh ke belakang. Dari jauh, terlihat empat sosok anak kecil lain tengah berdiri di bagian tengah rumah. Mereka menatapku, menempelkan tangan-tangan mungilnya di kaca jendela. Pemandangan janggal itu membuatku terpaku sebentar karena ketakutan. Untungnya, tak berselang lama cahaya samar di atas kepala anak-anak kecil itu berkedip lalu benar-benar mati. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengambil langkah seribu. Kupaksakan kakiku untuk berlari kencang menyusuri jalanan remang penuh pepohonan. Padahal rumahku tidak seberapa jauh, kenapa tidak kunjung sampai? Batinku di antara napas yang tersengal.
Sesaat setelah berhasil mencapai pintu rumah, aku langsung bergumam dalam hati. Ya Allah, apa yang barusan aku lihat? Burhan pasti tidak tahu kalau kali ini ia salah memilih perempuan. Mana mungkin pria normal mau menikahi wanita tua? Kecuali kalau memang ada sesuatu yang mampu mengaburkan akal sehat Burhan.