Ndoro Jenar

Ndoro Jenar

Searth

0

"Saya terima nikahnya, Jenari Nafisha binti Prabu Ananta dengan mas kawin tersebut, dibayar Tunai!" Suara lantang dalam satu tarikan napas itu bergema di seluruh penjuru rumah, bahkan sampai ke tenda biru. 


Jantung Jen bertalu-talu saat itu juga, antara berpikir ulang atas apa yang tengah ia lakukan, juga rasa iba dan takut yang datang seiring sorak surai kata sah yang mengesahkan dirinya sebagai seorang istri.


Jen mengatur napas. Seorang pengantin, dengan keluar dari jendela kamarnya menuju tumpukan rotan di mana Bapaknya biasa bekerja membuat kerajinan. Ya, di depan memang ramai, tapi tidak di belakang. Sejak ijab kabul hendak dilangsungkan, semua orang berkumpul menyaksikan. Berdesak-desakan, meninggalkan Jen seorang diri di kamar pengantin.


Jen menunduk, mengeluarkan tas besar berisi pakaiannya yang sejak minggu lalu telah ia sembunyikan di dalam terpal yang menutupi tumpukan rotan. 


Dengan menghela, gadis berpakaian pengantin itu melangkah menuju hutan yang nantinya bisa menghubungkannya ke jalan besar di pusat desa. Tiket pesawat yang nekat ia beli melalui jasa travel minggu kemarin menunjukkan jadwal keberangkatannya ke ibu kota tepat pukul enam sore. Jadi, Jen punya banyak waktu di jalan dari desanya hingga tiba di bandara sebelum akhirnya mengudara di langit biru.


Jen manusia hidup dan punya hak untuk bahagia. Jadi, ketika kakak tirinya menolak dijodohkan dan berujung menumbalkan Jen sebagai pemeran utama, saat itulah Jen berpikir untuk lari.


"Pak, Jenar pamit," Jen berbisik, menatap rumahnya sekali lagi untuk memantapkan hati. Detik berikutnya, dengan pakaian kebaya yang membalutnya sedimikian rupa, berangkatlah Jen membawa nekat. Dengan harapan, hidupnya akan jauh lebih baik di ibu kota ketimbang menghabiskan sepanjang pernikahan dengan orang yang tidak ia cintai. Ia tidak ingin terus menerus menjadi tumbal kakak dan ibu tirinya, juga tak mau menikah dengan lelaki yang bukan pilihannya.


***

Jen duduk di kursi tunggu dengan gelisah. Tas yang ia bawa sudah kosong dengan barang-barang yang berserakan di atas kursi lainnya. Ya, ia tengah membongkar tas bawaannya, barangkali menemukan ponsel dan dompetnya di sana.


Jen ingat betul, ia memasukkan kedua benda penting itu dalam tas bawaannya. Jen juga sudah mengantisipasi bentuk kecolongan apapun dengan cara memposisikan tas punggungnya di samping.


Sekarang, Jen diserang panik. Ia benar-benar tak bisa kemana-mana tanpa ponsel dan dompet. Kalau hanya dompet yang hilang, mungkin Jen tak akan sepanik ini karena tumpukan uang di bawah kasurnya sudah dimasukkan ke dalam rekening tabungan yang dibuatkan Bulik Sumi beberapa waktu lalu. Namun yang terjadi adalah ponselnya juga ikut ludes. Sungguh, semua uang Jen ada di dalam rekening. Jen bahkan belum terlalu fasih mengoperasikan mobile banking ketika akhirnya ponsel itu hilang dari pandangan. Dan lagi, itu ponsel baru! Jen begitu bahagia ketika uang yang ia kumpulkan selama ini dari hasil berjualan kue ternyata cukup untuk membeli ponsel pintar yang layarnya bisa disentuh-sentuh, tidak lagi menggunakan ponsel tebal dengan tombol terbatas yang kalau dipakai untuk melempar anjing, Jen pastikan anjing itu bisa mati atau sekarat.


Kedua telapak tangan Jen saling meremas. Matanya berkaca-kaca. Dengan melipat bibir, perempuan dua puluh tahun itu merapikan barang bawaannya.


Ini Ibu Kota, Jen melupakan fakta besar bahwa kejahatan timbul karena ada kesempatan. Dan ia memberikan kesempatan itu. Ia tak berhati-hati sama sekali. Apalagi ini bandara, tempat ramai di mana setiap orang dengan berbagai motif berkumpul.


Jen setuju dengan perkataan Pamannya tempo hari bahwasanya di bandara besar ibu kota, kita akan menemukan banyak orang dari berbagai penjuru dunia dengan tujuan yang berbeda-beda. Termasuk pencopet.


Argh! Bagaimana ini?


Jen tak punya satu kontak pun yang bisa dihubungi. Dan lagi, memang ia bisa mengandalkan siapa? Di kota besar seperti ini, dengan bermodalkan kabur dari pernikahan sendiri, apa yang bisa Jen harapkan?


Jen menunduk, merutuki nasibnya sendiri. Ia pikir, ini akan semakin mudah. Dengan perginya ia dari rumah sesaat setelah ijab kabul dilangsungkan, seharusnya dunianya jauh lebih cerah. Namun kembali lagi, fakta di lapangan tidak mengindikasikan sesuatu yang baik. Baru menginjakkan kaki di kota saja ia sudah kehilangan ponsel dan dompetnya. Nanti apa lagi?


Gadis bergaun pengantin itu terisak pelan di tempatnya. Ia harus bagaimana? Kata sepupunya, tanpa uang ia bahkan tak bisa buang air kecil di kota. Semua serba dibayar, tidak seperti di desa di mana apa saja bisa dimanfaatkan. Mau memasak tak perlu membeli tabung gas, banyak kayu bakar yang bisa dipakai membuat api. Mau minum tak perlu membeli air isi ulang, tinggal merebus air saja. Mau makan sayur tak mesti membeli, memetik kangkung rawa, pakis, dan genjer di pinggir sawah atau kebun juga bisa.


"Ada apa?" Suara bariton seseorang tiba-tiba menghentikan kepiluan Jen. Perempuan itu mendongak dengan mata sembabnya, menatap sendu pada sesosok pria bertubuh besar dan kekar dengan rambut sebahu yang diikat, brewokan, juga jangan lupakan mata tajam dan alis yang tegas.


Kalau pria itu tak berpakaian formal, Jen sudah pasti menduga ia adalah preman.


Jen menghapus sisa-sisa air matanya. Ia tak punya siapapun di sini. Ia bahkan bingung mau meminta tolong kepada siapa dan harus bertindak seperti apa. Jadi, ketika pria itu berjongkok di depannya masih dengan raut sangar dan angkuh, Jen akhirnya memutuskan untuk bercerita. Meski itu kepada preman sekalipun, tak apalah. Jen tahu kok kalau Preman masih punya hati nurani, setidaknya sedikit.


Dia bukan preman, Jen! Teriak batin Jenar.


"Saya ... kecopetan Om, hiks," Jen terisak lagi. "Dompet dan ponsel saya hilang. Saya ndak tahu lagi mau bagaimana, saya ndak kenal siapa-siapa di sini ...."


Pria di depannya tidak menunjukkan ekspresi prihatin sama sekali. Jen sempat ragu pada akhirnya. Jangan-jangan ....


"Kamu mau ke mana dan dari mana?" Pria itu bertanya.


"Saya ... dari kampung, Om. Mau merantau ke sini," Jenar mencicit.


"Ini kota besar. Kamu mau kemana, biar saya antarkan," pria itu berujar lagi.


Itu dia masalahnya. Jen bahkan tak punya tempat tinggal. Satu-satunya yang ada di otaknya sekarang adalah masjid terdekat. Ia pernah menonton sinetron tentang seorang ibu yang diusir anak-anaknya, kemudian memilih tinggal di masjid dan mengurus rumah ibadah itu karena tak punya tempat tinggal.


"Sa-saya ... ndak tahu mau kemana, Om," Jen mengeluhkan nasibnya. Sungguh malang. Mungkin ini adalah karma karena ia sudah meninggalkan suami yang bahkan belum pernah bertemu dengannya setelah akad. Sebut saja Jen pendosa, karena ia telah berani kabur dari rumah. Tapi bukankah itu jauh lebih baik ketimbang menghabiskan waktu sepanjang hidupnya bersama orang yang tidak ia cintai?


Jen masih dua puluh tahun. Meski ia hanya tamatan SMP, ia ingin menjadi wanita karir dan menemukan pasangan yang benar-benar ia cintai dan dicintai. Karena menikah menjadi pengantin pengganti posisi kakak tirinya jelas bukan sesuatu yang menjanjikan kebahagiaan.


"Om, apa saya bisa pinjam uangnya? Saya mau menyewa kost untuk sebulan, saya janji akan mengganti segera setelah saya mendapat pekerjaan," Jen tidak tahu dari mana pikiran itu muncul dan keberanian itu menguak. Ini pertama kalinya ia berani meminta uang kepada orang tak dikenal. Pasti pria di depannya itu akan merasa jijik dalam sekejap, pikir Jen.


Ya mau bagaimana lagi, Jen tak punya pilihan. Kalau mempermalukan diri sendiri bisa membuatnya bertahan hidup, selagi itu masih dalam kadar yang bisa ditoleransi dan tidak melanggar nilai moral, kenapa tidak?


Dan apakah kabur dari pernikahan sendiri adalah tindakan bermoral, Jen? Suara hati Jen mengejek.


"Saya tidak mengenal kamu. Bisa saja kamu penipu yang mencoba mengambil simpati orang lain. Dengan motif seperti itu, kamu meminta belas kasih berupa materi," Pria di hadapannya tiba-tiba berdiri santai, menuduhnya dengan keji.


Jen lantas menggeleng, "Ndak, Om. Saya bukan penipu, tapi korban copet. Apa Om ndak lihat toh, saya dari tadi menangis?" Jen merasakan suaranya sendiri bergetar. Pria itu tak salah berpikir demikian. Mengingat ini ibu kota, setiap orang punya cara masing-masing untuk bertahan hidup, meski itu dengan menipu.


"Tolong, Om. Saya gak tahu mau minta tolong ke siapa lagi, hiks," Jen menghapus ingusnya yang luber kemana-mana. Wajahnya sangat berantakan. Dengan menangis seperti itu, riasan wajahnya mulai luntur. Bawah matanya hitam karena maskara yang tidak tahan air. Biasalah, perias pengantin yang disewa ibu tirinya sama sekali tidak profesional. 


"Kalau begitu kamu bisa menghubungi keluarga kamu, saya pinjamkan ponsel," pria itu menawarkan dengan sedikit iba.


Jen sontak menggeleng. Itu lebih bahaya lagi! Bisa-bisa keberadaannya dilacak saat ini juga. "Saya ... ndak hafal nomor keluarga saya. Tolong, saya butuh tempat tinggal, Om. Om bisa ikut memilihkan saya kost biar Om percaya dan tahu kalau saya tidak menipu. Jadi, kalau dalam sebulan saya ndak mengganti uang Om, Om bisa datengin saya di kost. Tapi saya janji kok Om bakalan segera cari kerja besok, biar bisa cicil utang saya," papar Jen panjang lebar.


Pria itu menatap Jen dari atas ke bawah, menilai. "Kamu tidak punya KTP untuk melamar kerja,"


"Saya bisa cari kerjaan ringan yang ndak pakai KTP, jadi tukang cuci piring juga ndak masalah, Om," Jen melempar tatapan penuh permohonan, entah kenapa mulai merasa bergantung pada pria itu.


"Gaji pekerjaan seperti itu tidak bisa membiayai makan kamu sehari-hari, apalagi untuk membayar kost. Bagaimana kamu bisa mengganti uang saya,"


Lama-lama Jen mulai kesal juga. Sebenarnya pria di depannya itu niat membantu tidak sih? Kalau tidak, kenapa tadi menghampirinya dan bertanya segala? Tahu begitu, Jen kan tidak usah merendahkan diri sebegitunya.


"Ya sudah kalau tidak mau membantu," Jen menunduk lesu, menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia bahkan belum sempat bertukar cincin dengan suaminya, padahal kalau saja Jen sedikit sabar, ia bisa menjual cincin itu sebagai modal hidup di kota besar dalam situasi genting begini.


Ah, jadi begini rasanya menjadi perantau?


"Kamu bisa bekerja dan tinggal di rumah saya kalau kamu mau, saya sedang membutuhkan seseorang untuk mengurus rumah tangga. Kalau kamu tidak bersedia ...."


Jen pikir pria angkuh itu sudah pergi. Ditawari seperti itu tentu saja Jen tak berpikir dua kali untuk mendongak. "Bener, Om? Saya mau Om, saya mau!"


Alih-alih menanggapi, lelaki itu malah berlalu pergi menyeret koper hitamnya. Dengan senyum lima jari, Jen membawa semua barangnya mengikuti lelaki itu.


Ah, akhirnya! Setidaknya ia aman malam ini.


***


Aman dari mana heh?!


Jen merapatkan tubuh ke dalam selimut. Ia sudah lelah menangis sepanjang malam. Sekarang, Jen bukan hanya sekedar kehilangan ponsel dan dompet, tapi juga pakaian luar, pakaian dalam, harga diri, dan juga keperawanan. Sesuatu yang harusnya ia persembahkan kepada suaminya, malah direnggut oleh pria brengsek yang dengan polosnya Jen percaya. Semestinya semalam adalah malam pertamanya dengan sang suami, tapi dengan otak udangnya Jen kabur dari pernikahan dan lihatlah betapa buruk kondisinya sekarang. 


Jen rugi banyak hanya dalam hitungan jam!


Pria itu! Dialah penipu ulung yang sebenarnya! Jen bahkan tak bisa berkutik lagi. Semalam ia dijebak, tak bisa menolak, pun bergerak. Sekarang ia tak tahu harus bagaimana. Pulang kampung membawa aib, ia juga tak punya uang. Kabur apa lagi.


Daun pintu bercat putih itu terbuka, menampilkan sosok yang ingin sekali Jen mutilasi, gigit, tampar, kemudian dimasukkan ke karung dan ditenggelamkan ke laut. Sayang sekali, perawakan kekar pria bernama Birawa Cakrawala itu jelas tak bisa diremehkan. Jen hanya akan menjadi semut di hadapan seekor singa jantan.


"Makan," tanpa basa-basi Birawa meletakkan nampan berisi sarapan untuk Jen, wanita yang berhasil ia gauli semalam.


Jen beringsut mundur, mengeratkan genggaman pada selimutnya. "Le-lepaskan saya, Om! Om jahat! Penipu! Saya jijik! Jauh-jauh dari saya!"


Kamu yang jauh-jauh, Jen. Ini kan rumah dia. Terserah dia lah! Batin Jen mengejek.


"Di luar sana ada banyak perampok, pemerkosa, pencopet, dan juga kamu tidak akan bertahan lama tanpa uang dan kartu identitasmu. Kalau kamu ingin pergi, silahkan. Saya sudah berbaik hati menolongmu," Birawa berujar tenang. Membuka lemari dan mengeluarkan sepasang pakaian wanita dari sana. Jelas pria itu terbiasa tidur dengan berbagai perempuan, Jen berasumsi demikian setelah ia tak menemukan seorang wanita sejak semalam di dalam rumah ini selain dirinya. Jadi, itu jelas bukan pakaian istri Birawa.


Dan apa katanya tadi? Menolong? Jen berdecih. "Om bukan menolong saya! Om merusak saya!" Dan bagaimana Jen bisa setenang itu ketika ia bahkan sudah kehilangan separuh dirinya.


"Sudah saya katakan nama saya Birawa, dan bisakah kamu berhenti memanggil saya Om? Saya bukan Om kamu," Birawa meletakkan set pakaian wanita dekat Jen. Mengisyaratkan bahwa Jen tak perlu mempersoalkan terkait pakaiannya yang robek.


Jen menunduk. Ia benar-benar buntu sekarang ini. Mau kemana dia? Di luar sana terlalu berbahaya, ia sudah sangat-sangat trauma. Tapi berdiam diri dan serumah dengan lelaki cabul jelas tidak ada bedanya.


Ada, Jen. Dia memberimu makan, pekerjaan, dan tempat tinggal. Tidak semua penjahat kelamin seperti itu. Suara hati Jen mulai mengoreksi.


Jen tiba-tiba menangis lagi. Ia tahu penjahat kelamin itu pasti sudah lelah mendengarnya menangis. "Saya sekarang ndak punya apa-apa. Kenapa Anda tega, hiks! Di mana belas kasih Anda?"


"Makanlah. Saya tahu kamu sangat lapar," Birawa tak suka berbasa-basi. Ia berasumsi kalau Jen sebenarnya lapar, hanya saja wanita itu sungkan karena belum ada sejarahnya korban luluh dengan pelaku pelecehan.


Ketika hendak berbalik, tiba-tiba Birawa diserang suara cempreng seseorang. "Papa udah pulang?! Yey!" Gadis kecil bertubuh gempal itu melompat dalam gendongan Birawa. Rambutnya yang dikuncir melambai kemana-mana mengikuti pergerakan kepalanya. 


"Anya kangen Papa," Wajah sangar pria itu kemudian luntur berganti senyum tipis setelah dihujani kecupan sayang dari sang putri.


"Papa juga rindu dengan Anya," Birawa berucap lembut.


Anya tertawa, gigi ompongnya tampak lucu. "Mama barunya Anya mana, dong?"


Jen menghapus bekas air mata buayanya, mengintip di balik bulu mata lentiknya siapa gerangan bocah cerewet itu. Apa anak itu tak melihat, di sini ada korban pelecehan yang tengah menangis pilu antara menahan lapar, amarah, dan juga kesenduan.


"Papa? Itu Mama barunya Anya, ya?" Mata Anya tiba-tiba berbinar menemukan sosok yang ia tunggu selama ini. Seorang wanita! Ya, Papanya membawa Mama baru ternyata!


"Halo Mama! Ini Anya,"


Oh, apa lagi ini?