“Cukup, Rena! Kalau lo nemuin gue cuma untuk ngomong jelek tentang Naira, gue pergi!” Satria mengeram marah seraya bangkit dari kursi yang dia duduki.
Berlalu begitu saja. Tidak memedulikan raut kacau dari si lawan bicara barusan–seorang perempuan cantik yang memakai dress selutut dan high heels runcing–di sana, di meja yang menjadi tempat mereka mengobrol. Gah! Siapa yang terima bila pasangan hidupmu di hina atau di jelek-jelekkan? Satria masih memberi toleransi pada gadis bernama Renata itu karena mereka berteman. Tapi ..., jika Rena tidak berhenti, maka dia tak sungkan lagi menghapus ikatan pertemanan mereka!
Cih!
Lelaki tinggi bertubuh atletik ini berdecih keras sembari berjalan keluar dari kafe tempat pertemuannya dengan Rena. Tadinya, dia kira gadis itu hanya ingin bercengkerama, bertukar cerita atau sekedar bernostalgia karena cukup lama tidak bertemu. Kira-kira dua tahun. Namun, ternyata yang dia dengar adalah kalimat-kalimat busuk mengenai pasangan hidupnya; Naira Ananda. Perempuan yang dia nikahi satu tahun lalu.
Naira adalah perempuan jalang yang mempermainkan Satria. Naira adalah seorang yang dulu suka menjual tubuhnya. Naira bukan pendamping yang baik. Naira pasti punya rencana buruk dengan menikahi Satria. Tsk! Mana percaya dia! Satria dan Naira sudah memperlihatkan jika mereka saling mencintai. Pun yang katanya menjual tubuh, dia telah membuktikan jika perkataan itu cuma bualan semata. Perempuan lembut yang mampu mencairkan es dalam hatinya itu berhasil membuatnya jatuh cinta.
Ah, sudahlah. Dia tak mau terlalu memikirkan Renata. Waktu jam makan siang telah habis dan dia mesti cepat kembali ke kantor. Ya, Satria masih di jam kerja ketika Rena mengundangnya bertemu di kafe tak jauh dari gedung perusahaan di mana lelaki tampan ini bekerja.
Sedang si gadis bernama lengkap Renata Hermilia mendengus setelah ditinggal oleh Satria. Namun hanya sebentar karena setelahnya muncul seringai tipis di bibir berpoles lipstik merah itu. “Gue nggak bakal menyerah. Si jalang itu nggak pantas buat mendampingi lo, Satria.”
Sudah bisa menerka alasan mengapa gadis ini menggunjing pendamping hidup lelaki tampan yang menjadi tokoh utama kita?
**
“Ya ampun, ya ampun. Aku baru tahu kalau Satria Adhitama itu ganteng banget,” ujar seorang perempuan sambil bersedekap–melipat kedua tangan di dada–dan mengamati seseorang lelaki berpakaian rapi yang baru keluar dari kamar. “Hm ..., ke mana aja aku selama ini ya?”
Satria memutar mata mendengar ucapan perempuan itu. Tak merespon atau menyahut balik, dia malah menyodorkan sebuah dasi berwarna dongker dengan aksen merah-biru bergaris di ujung pada perempuan tadi–Naira–kekasihnya–pasangan hidupnya yang dia resmikan satu tahun lalu.
“Aku ada meeting hari ini. Untuk membahas strategi supaya memenangkan proyek yang di adakan N Group,” katanya mengutarakan alasan dia berpenampilan sangat rapi pagi ini dan mungkin saja nanti akan pulang terlambat.
Naira memasangkan dasi di kerah kemeja Satria. Dia mengangguk saja, sok paham. Tapi ..., “N Group ... perusahaan yang gedhe banget itu, kan? Yang punya julukan King Of Corporation?!”
Si lelaki tampan mengangguk. “Mereka lagi adain proyek yang terbilang cukup besar. Meskipun nggak yakin, kami mau coba memenangkan proyek itu.”
“Kamu pasti bisa, Sayang! Aku tahu!” seru Naira dengan wajah serius.
Satria menyungging senyum tipis. Inilah salah satu alasan mengapa hatinya berlabuh pada gadis berambut panjang dan punya tiga garis di wajah kalau tersenyum–kumis kucing kata orang–dengan iris coklat bening yang sedang merapikan dasinya.
Naira itu ... adalah sosok pemberi semangat. Sifat cerianya menular. Bisa meluluhkan gunung es yang bersarang di hati Satria dengan senyum sehangat mentari. Pun Naira tidak pernah membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, malah terus mendukung apa yang dia lakukan.
“Makasih ya.”
“Um!” Naira mengangguk. “Ayo, aku udah siapin roti bakar pakai selai tomat kesukaan kamu. Ayo-ayo~” katanya seraya menarik lengan Satria menuju dapur.
“Pelan-pelan, Nai.” Katanya memperingati si istri yang cuma di balas cengiran oleh yang bersangkutan.
Mereka sarapan seperti biasa. Naira akan berceloteh sesekali menemani Satria menyantap roti bakar yang disiapkan oleh istrinya serta secangkir kopi panas. Membicarakan ramalan cuaca–entah kenapa, Naira suka sekali melihat acara televisi pagi yang itu–atau tetangga-tetangga mereka. Seperti tetangga sebelah yang seorang pencinta anjing dan sering sekali mengajak Naira untuk melihat-lihat jenis anjing yang lucu di internet.
Meski terkesan tidak mendengar, namun Naira tahu kalau Satria tetap menyimak. Pria yang membawa nama keluarga Adhitama itu lebih senang mendengar suara Naira berbicara ketimbang menanggapi. Dan ya, entah kenapa mereka bisa menyatu dengan perbedaan karakter yang cukup mencolok.
Seusai sarapan, Naira–yang boleh kita kasih sebutan si kumis kucing–akan mengantar Satria ke pintu utama. Mereka tidak tinggal di rumah gedong bertingkat atau mansion besar, kok. Malah tempat tinggal pasangan Satria-Naira adalah sebuah unit kecil di suatu rumah susun di sudut kota. Jadi, bisa dikatakan Naira mengantar Satria ke pintu masuk rumah mereka seperti biasa yang dilakukan tiap pagi ketika suaminya akan berangkat kerja.
“Hati-hati di jalan, Papa,” ujar si kumis kucing di susul kikikan kecil.
Satria mau tak mau mengembang senyum. Dia menunduk sedikit sehingga wajahnya berhadapan dengan perut Naira yang melendung ke depan. Mengusapnya sebentar. “Jangan nakal ya, Asta. Jaga Bubun dengan baik.”
“Ish, aku maunya Mama!” dengan kesal menggeplak kepala Satria.
Tidak meringis, tapi tatanan rambutnya sedikit berantakan karena ulah Naira barusan. Satria balas mencubit pipi yang menyimpan tiga garis mirip kumis kucing di wajah sang Kekasih. “Kan mau imut, jadi panggilannya Bubun. Mama udah biasa.”
Naira cemberut.
“Ya udah. Nanti aku cari yang mau di panggil Bubun sama Asta,” kata Satria santai seolah-olah dia sedang berkata mau makan telur dadar nanti malam.
Kelopak yang melingkupi iris coklat bening itu menyipit. “Dasar BangSat brengsek! Aku benci kamu!” seru Naira galak kemudian membanting pintu tepat di depan wajah Satria menyebabkan bunyi debum keras.
Helai rambut Satria bahkan sempat terbang akibat hempasan pintu tersebut.
Sementara si Adhitama hanya diam lalu menghela. Ya, pagi mereka yang awalnya semanis gula memang akan berakhir seperti ini dan selalu terjadi setiap hari. Bukan masalah. Nanti mereka akan berbaikan lagi, tenang saja. Mana kuat si kumis kucing bila tak bertemu dengannya sehari saja.
“Aku pergi dulu, Nai,” kata Satria akhirnya dan beranjak dari depan rumahnya.
Dan para tetangga sudah terbiasa dengan acara amukan Naira di pagi hari. Tidak ada yang terganggu saking mereka terbiasa dan memaklumi Bubun muda itu–ups.
***