Terjebak macet di Puncak sudah sangat lumrah terjadi di hari libur. Pengguna jalan didominasi penduduk Jakarta yang sumpek dengan rutinitasnya di kota besar. Memilih Bogor sebagai destinasi terdekat yang sudah menjadi tempat langganan mereka melepas penat. Namun, tujuan Agni datang bukan untuk berlibur atau menikmati sejuknya udara Puncak. Tidak seperti kebanyakan orang. Dulu, mungkin. Hari ini Agni punya tujuan lain.
Sejauh mata memandang, deretan mobil mengular. Tak terhitung sudah berapa kali suara klakson saling bersahutan. Sudah hampir setengah jam kendaraan mereka tidak bergerak sama sekali. Berjarak beberapa mobil dari tempatnya, Agni melihat segerombolan laki-laki yang memilih merokok di pinggir jalan sembari menunggu kemacetan terurai.
Dhitya:
Kamu baik-baik aja, Ni? Tolong angkat telepon aku.
Diabaikannya pesan Dhitya. Selagi menunggu lalu lintas kembali lancar, Agni cermati lagi foto seorang pemuda berjaket almamater warna kuning di sebelah adiknya. Sial, Agni merasa sudah kecolongan. Di hari yang sama Agni tahu kalau Luna punya pacar—seminggu lalu—di saat itu pula Agni menemukan test pack dengan dua garis merah. Di rumah hanya ada Agni, Luna dan sang ayah. Jika bukan Agni yang hamil, sudah pasti Luna.
Agni membenturkan keningnya beberapa kali ke setir. Dia benar-benar kecolongan.
Udah lima bulan, Kak. Luna takut kalian bakal minta Luna gugurin bayi ini. Dia nggak salah. Yang salah orangtuanya. Ini salah Luna, Kak!
“Goblok! Goblok!” rutuk Agni. Kata-kata itu yang juga Agni ucapkan setelah Luna mengakui kehamilannya. Jalan sang adik masih panjang, usianya baru 19 tahun. Semester dua di bangku kuliah, tapi malah sudah hamil, di luar nikah pula!
Menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Agni tahu benar hal itu. Seminggu sudah Agni mencari keberadaan Nathan—pacar Luna—hasilnya nihil. Nathan seperti hilang ditelan bumi. Agni tidak bisa menemui Nathan di kampus. Menurut informasi teman-temannya, Nathan sudah sebulan lebih bolos kuliah. Indekosnya sepi. Nathan bahkan tidak terlihat batang hidungnya di kafe-kafe yang sering dia dan teman nongkrongnya datangi.
Agni tidak habis pikir, mengapa Luna bisa termakan bujuk rayu laki-laki pengecut seperti Nathan, sih? Bukannya sang adik sering jadi juara kelas, dapat beasiswa dan mengikuti berbagai kompetisi? Kenapa otak cemerlangnya itu seakan tidak mampu menyelamatkannya dari nasib buruk?
Setelah jalanan kembali lancar, Agni akhirnya tiba di daerah Cipanas. Agni dengar, keluarga Nathan punya vila di daerah tersebut. GPS menyatakan Agni sudah sampai di tempat tujuan. Sebuah vila bergaya modern berlantai dua dengan halaman luas dan air mancur terlihat paling mencolok karena penataan tamannya yang apik. Vila dengan dominasi warna krem itu memiliki beranda di lantai dua. Sekilas vila itu terlihat sepi. Namun dari mobil yang terparkir, Agni bisa memastikan kalau Nathan ada di dalam. Jangan sepelekan kemampuan Agni mencari informasi, Agni sudah menyelidiki Nathan sedalam-dalamnya meski Luna melancarkan aksi bungkam. Agni sudah menemui pihak kampus, bahkan teman Luna dan teman Nathan untuk mengorek informasi.
Ting tong!
Agni menekan bel vila tersebut. Vila itu tidak memiliki gerbang, sama seperti vila-vila di sekitar, sehingga kini Agni sudah berdiri di depan pintu. Semoga Nathan mau membukanya. Agni sudah bersiap menerima penolakan, bahkan kemungkinan terjadinya perkelahian. Wanita itu tidak punya pilihan selain menyelesaikan masalah ini sendirian. Mengajak sang ayah jelas bukan pilihan baik karena kondisi kesehatan beliau sedang menurun. Mengajak—Dhitya—calon suaminya? Agni tidak tahu harus berkata apa pada Dhitya, yang jelas Agni malu. Ini aib bagi keluarganya. Dan mungkin saja keluarga Dhitya yang terpandang akan menarik restunya apabila mengetahui masalah ini.
Klek!
Pintu di hadapannya terbuka. Di depannya berdiri seorang pemuda dengan wajah kusut dan rambut acak-acakan, sepertinya baru bangun tidur. Pemuda itu hanya menggunakan singlet dan celana bokser. Tanpa banyak basa-basi, Agni segera menghantam kepala si pemuda dengan tas tangannya berkali-kali. Kalau memang otaknya bermasalah, Agni harap serangannya yang bertubi-tubi bisa membuat otak itu kembali bekerja.
“Wadaaw… apaan nih? AMPUN! AMPUN!” Si pemuda refleks melindungi kepalanya dengan tangan. Serangan membabi buta Agni sekilas mirip petinju yang sedang membombardir lawannya dengan pukulan.
“DASAR BRENGSEK! TANGGUNG JAWAB LO!” serang Agni tanpa kompromi.
“AMPUUUN MBAAAAK!” Jerit pemuda itu.
Terdengar langkah cepat menuruni anak tangga. Pemuda lain datang dengan tergesa-gesa, berniat melerai. “Mbak, stop! Stop! Kita bicarain baik-baik!”
Melihat wajah yang sangat familier membuat gerakan Agni terhenti. Diamatinya lekat-lekat pemuda yang memakai bokser tadi, perawakan tinggi dan kurusnya mirip dengan yang ada di foto, tapi wajahnya jelas berbeda. Di foto tadi wajahnya seperti seorang blasteran Indonesia-Eropa, sementara pemuda ini tidak ada kesan blasteran sama sekali. Malahan sangat lokal.
“Mbak itu Mbak Agni, kan? Kakaknya Luna?” Pemuda yang bertanya adalah pemuda yang baru saja turun dari lantai dua. Pemuda itu sangat mirip dengan foto yang tadi dia lihat, meski pipinya lebih chubby dibanding di foto. Badannya pun jadi lumayan berisi.
“Jadi, lo bukan Nathan?” Tanya Agni pada pemuda yang memakai bokser, mulai menyadari kekeliruannya.
“Ssshh… aduuh… bukan, Mbak. Saya Gibran sepupunya Nathan,” jelasnya sambil mengaduh kesakitan.
Diusap-usap pula kepalanya yang benjol. Apes. Urusan dengan Nathan selalu membuahkan ketidakberuntungan bagi Gibran. Masa-masa sekolahnya lebih parah lagi, dia selalu jadi korban salah labrak, salah tuduh dan salah pukul karena dulu dia dan Nathan perawakannya sangat mirip. Apalagi ibunya juga sering menyamakan gaya pakaiannya dengan Nathan. Maklum saja, Nathan dulu sangat populer di kalangan anak-anak perempuan. Berat badan Nathan baru naik akhir-akhir ini, semenjak menenangkan diri ke Puncak.
Agni tersenyum masam. Fix, salah sasaran.
Tangan Agni bergerak cepat tanpa peringatan, kali ini tangannya sudah mengunci tangan Nathan ke belakang. Agni memang pernah belajar silat selama SMA, jadi tak ada yang perlu dia takutkan jika kedua pemuda ini berani macam-macam. “Kali ini nggak akan salah, lo emang Nathan!”
“AAARGH! Mbak… ampun, Mbak!” erang Nathan saat Agni memelintir tangannya. Agni jelas berbeda dengan Luna. Jika Luna lemah lembut, Agni justru kebalikannya.
Gibran yang masih merasa pusing hanya bisa pasrah menonton sepupunya dipecundangi Agni. Dia takut mencari masalah, sebab Agni saat ini terlihat ribuan kali lebih buas daripada singa betina.
“Sakit yang lo rasa ini gak ada apa-apanya dibanding sakit hati gue waktu tahu adek gue hamil di luar nikah!” Agni melepaskan tangan Nathan. Dihirupnya udara banyak-banyak, dia tidak boleh naik pitam, bisa gawat kalau darah tingginya kumat. Lagi pula, hakikat bela diri adalah untuk melindungi diri, bukannya digunakan untuk menindas yang lemah. Ya, menurut Agni, dua pemuda di hadapannya ini tergolong lemah.
Semua orang terdiam seperti dihinggapi sesak yang tak kunjung beranjak. Agni membuka tasnya, lkemudian mengeluarkan test pack Luna, melemparkannya ke wajah Nathan. “Hasil perbuatan lo! Berani berbuat harus berani tanggung jawab!”
Nathan tertunduk, dipungutnya test pack yang jatuh ke lantai. Dua garis merah. Semua ini masih terasa tidak nyata. Dua bulan lalu saat Luna mengabarkan kalau dirinya hamil, Nathan sama sekali tidak bisa berpikir. Jika ini merupakan mimpi buruk, maka Nathan ingin bangun secepatnya.
Sama seperti Luna, dia baru 19 tahun. Mungkin menurut UU pernikahan terbaru, Nathan dan Luna sudah cukup umur untuk membangun rumah tangga, tapi Nathan sadar belum mampu menjadi kepala keluarga, apalagi seorang tulang punggung. Seumur hidupnya, Nathan belum pernah sekali pun bekerja. Semenjak ayahnya dipindah tugaskan ke LA dan sang ibu ikut serta, Nathan dipercaya untuk hidup mandiri di Indonesia hingga kuliahnya selesai. Menjadi ayah di usia 19 tahun tentu bukan yang orangtuanya harapkan dari Nathan.
“Maaf Mbak, aku belum siap—“
Bugh!
Sebuah tinju menghantam keras pipi kiri Nathan hingga laki-laki itu terjungkal ke belakang dan mendarat di lantai dalam posisi duduk.
“Lo bisa aja kabur dan lari dari kenyataan… tapi gimana sama adek gue? Bayi itu ada di perutnya. Lo tega biarin Luna ngehadapin semuanya sendirian? Hamil aja susah, apalagi ini hamil tanpa suami.” Suara Agni mulai bergetar.
Semua ini membuatnya frustrasi.
Semula, Agni pikir menikah dengan Dhitya dan meninggalkan rumah adalah kunci kebahagiaannya. Ayahnya sejak dulu selalu memperlakukan Luna dengan sangat spesial, mencurahkan kasih sayang lebih pada sang adik. Entah karena Luna lebih pintar atau lebih cantik. Agni muak. Tapi, inikah yang akhirnya bisa Luna lakukan atas semua keistimewaan yang selama ini dia dapat?
Dulu gue benci banget sama lo. Sekarang gue berharap lo mati aja, atau gak pernah dilahirin sekalian daripada lo hidup, tapi bisanya cuma nyusahin!
Agni tahu kata-kata yang tempo hari dia lontarkan pada Luna sangat kejam, tapi Agni tidak bisa berpura-pura, dia sangat kecewa. Terlebih karena mungkin Luna harus kehilangan banyak hal setelah ini; bangku kuliah, masa muda, kebebasan. Belum lagi jika cercaan mampir ke telinganya… apa sang adik sanggup menghadapi konsekuensinya?
Agni memang membenci Luna, tapi Agni tidak ingin hidup Luna berantakan. Bodohnya, Agni baru sadar bahwa rasa cinta pada sang adik, sebenarnya jauh lebih besar daripada rasa bencinya. Atau mungkin, memang beginilah cara semua kakak di dunia mencintai adik mereka.
Nathan berusaha bangkit, kemudian berlutut.di hadapan Agni. “Aku janji gak akan lari dari tanggung jawab, Mbak. Tapi tolong, kasih aku waktu buat sampaiin semua ini ke orangtuaku.”
Agni menghela napas. “Semakin lama kamu mengulur waktu, semakin besar perut Lun—“
“Oke, kasih waktu aku seminggu! Aku janji, dalam waktu seminggu, aku dan orangtuaku bakal datang buat ngelamar Luna!” potong Nathan, pemuda itu memohon sambil memegang tangan Agni. Ekspresinya kelihatan sangat serius.
“Apa jaminannya kamu gak bakal kabur?” Luna mungkin mudah diperdaya, tapi Agni tidak.
Gibran yang sedari tadi hanya jadi penonton ikut menimbrung, “A-aku bisa jamin!”
“Dari mana gue tahu lo bisa dipercaya?” Kening Agni mengerut. Sorot matanya kian tajam seakan mampu mencabik Gibran.
Gibran mengerucutkan bibirnya. Sudah pasti Agni bukan tipe wanita yang bisa kenyang hanya dengan janji-janji semata. Wanita itu butuh bukti.
“Tunggu sebentar, Mbak…” pesan Gibran sebelum menghilang di balik pintu salah satu kamar di vila itu. Tidak lama kemudian, Gibran kembali dengan sebuah benda kecil di tangannya.
“… paspor Nathan. Ini jaminan kalau Nathan gak akan kabur.” Pemuda itu mengangsurkan paspor milik Nathan pada Agni. Dengan cermat Agni memeriksa masa berlakunya, siapa tahu Gibran ini berprofesi penipu sehingga menyodorkan paspor Nathan yang sudah tidak berlaku pada Agni.
Merasakan ketidakpercayaan Agni, Gibran akhirnya menambahi, “Aku berani jamin Nathan bakal tepatin janjinya, Mbak. Nathan datang ke sini buat menenangkan diri, dia tahu apa yang harus dia lakukan, masalahnya, mentalnya belum siap.” Gibran melirik sang sepupu yang tertunduk dalam posisi berlutut. “Aku kenal siapa Nathan, dia laki-laki sejati. Pantang buat dia mengingkari kata-katanya.”
Giliran Agni yang mengerucutkan bibir. Nathan sangat beruntung karena baik Luna maupun Gibran, seberapa genting pun keadannya, tetap berada di pihak Nathan.
“Atau Mbak butuh SIM Nathan sekalian biar Mbak percaya?” Gibran siap menyerahkan semuanya jika memang hal itu bisa membuat Agni puas.
Agni menggeleng. “Nggak, gue nggak mau ntar bakal ada alasan ditangkep polisi atau ngurus surat tilang buat lari dari tanggung jawab nikahin adek gue….”
“Aku janji, Mbak. Seminggu lagi aku pasti datang,” ulang Nathan.
“Gue pegang janji lo, Than. Gue siap ngikutin lo sampai neraka buat tagih janji lo,” ancam Agni dan dia tidak sedang main-main.
***
Agni kembali ke dalam mobil dengan perasaan sedikit lega. Setidaknya dia sudah bertemu dengan Nathan, paspornya kini ada di tangan Agni. Seandainya pun Nathan kabur, dia tidak akan bisa pergi jauh. Gibran juga berjanji akan melapor pada Agni seandainya sang sepupu melarikan diri. Agni kini hanya bisa menggantungkan semuanya pada kehendak Tuhan. Hal yang perlu dilakukan sudah dia kerjakan. Semoga saja Nathan akan memegang janjinya.
Wanita itu mengeluarkan ponsel yang sengaja dia setel dalam mode senyap. Puluhan chat dan panggilan tak terjawab memenuhi kolom notifikasi. Semuanya berasal dari Dhitya.
Dhitya:
Aku ke TK, katanya kamu lagi cuti
Please kasih tau aku, kamu ke mana?
Mata Agni mulai terasa panas. Menyimpan rahasia dari orang yang paling kita sayangi ternyata memang tak mudah. Dhitya terlalu mengerti Agni. Laki-laki itu pasti sudah mencium ketidakberesan.
Agni mulai mengetikkan pesan.
Agni:
Sorry karena udah ngilang gitu aja…
Dhit, ada hal penting yang harus kita omongin.