Dilahirkan sebagai makhluk yang memiliki saluran epididimis, membuat seseorang terkadang tak mau mengakui kelemahan sendiri. Egoisme dan gengsi berkuasa sehingga tak ingin terlihat sedang patah hati. Apalagi stigma tentang seorang lelaki, sosok kuat yang mengharamkan air mata jatuh mengaliri pipi. Air mata dianggap lambang kelemahan, padahal bagi wanita, hal itu justru simbol kelembutan.
Lelaki yang lembut perangainya tak serta merta identik dengan makhluk berperasaan seperti wanita, tapi, lebih pada kemampuannya dalam hal memahami bagaimana seharusnya memperlakukan ibu, istri, maupun anak perempuan mereka. Hal yang jelas menjadi value lebih bagi seorang pria ketika menjajakan apa yang disebut dengan cinta.
Banyak hal yang lelaki lakukan untuk menutupi kegalauan karena kehilangan sang pujaan hati. Bahasa kerennya, seorang lelaki tak akan begitu saja merelakan sosok mereka terlihat lemah, dengan menangisi keadaan misalnya. Banyak hal yang kaum lelaki lakukan sebagai pelarian dari kondisi yang sebenarnya mengancam nyawa seperti ini. Logika mereka melarang perbuatan-perbuatan yang termasuk dalam ranah lari dari masalah itu dengan kegiatan tanpa guna.
Hal inilah yang melatarbelakangi dua sahabat lama bertemu kembali di sebuah kafe hotel tempat salah satunya menginap. Kafe mini di lantai dasar hotel, dengan balutan suasana malam yang cenderung tenang, hanya ada suara kendaraan yang sesekali lalu lalang.
Dimas, lelaki berperawakan standar tampak sedang duduk santai, dengan jemari melingkari posesif gelas tinggi sambil sesekali mengetuk dindingnya yang tengah mengembun. Kerutan di dahi melukiskan betapa penuhnya otak lelaki berpotongan rambut cepak ini dengan kecamuk pikiran.
"Gue tahu, Ren, Bayu udah cerita semua ke gue. Tadinya gue nggak gubris, lo pasti bisa survive tanpa bantuan siapa pun. Tapi, kondisi istri gue yang nggak memungkinkan. Lo tahu sendiri, kan, gimana idealisnya Alya dulu waktu kuliah? Walau udah jauh berkurang sekarang, tapi masih tersisa."
Lelaki lain berbadan tegap menumpukan siku kanan pada meja dan dengan jemari dari tangan yang sama, memelintir sedotan yang kemudian terarah ke bibirnya.
"Masalahnya gue nggak ada basic ngajar, Dim." Rendra mengalirkan beberapa mili cairan berwarna oranye dari gelas ke kerongkongannya, lalu mengernyit dan mengibaskan sebelah tangan, "Males gue kalau kudu dirempongin masalah perangkat pembelajaran. Atau presensi siswa, atau hal-hal semacam itu." Dari ekspresi sama sekali tak tampak ketertarikan dengan apa yang sedang jadi pokok pembicaraan antara keduanya.
Padahal selama ini, bidang kerja Rendra yang mempunyai pola meyakinkan orang lain agar menggunakan jasanya, Dimas rasa jadi modal luar biasa untuk masuk ke dunia pendidikan. Bukankah nantinya ia juga bertugas untuk meyakinkan siswa atas kemampuannya mengerjakan soal?
Lelaki berlesung pipi sebelah yang dipanggil Dimas itu berdecak kesal. Entah sudah berapa kali ia menjelaskan aturan mainnya pada Rendra. Namun lelaki di hadapannya ini malah sok bego, sok tidak paham, yang Dimas yakini sebagai representasi usaha penolakan tawaran. Namun, mengenal sahabatnya ini dari awal kuliah, membuat Dimas mempunyai strategi tersendiri untuk memuluskan aksi.
"Alah, caranya sama aja kalau lo ngadepin klien, cuma materinya beda, bisa tentang matriks, integral, eksponen, statistik, khas anak SMA, lah! Nggak bakal ada kalkulus atau apa pun yang bikin lo pusing. Lagian lo gantiin satu semester aja, Bro! Semua perangkat udah disiapin istri gue, lo nggak usah khawatir," timpal Dimas menepis kesangsian Rendra. Tersemat ekspresi cool dengan senyum jemawa pada wajah tanpa dosa di sana, juga terselip kebanggaan akan sosok istri yang luar biasa cantik dan idealis di matanya.
Melirik kanan kiri, Dimas mencondongkan badan sehingga memotong jarak antara mulutnya dan telinga Rendra, lalu berbisik, "Lagipula di sana guru ceweknya muda-muda, bohai semua, siapa tahu lo bisa gaet satu, kan, lumayan?"
Kenyataan bahwa lelaki adalah makhluk visual yang akan mudah sekali tergoda dengan iming-iming kebohaian wanita, membuat Dimas berpikir temannya ini memiliki ketertarikan sama. Tanpa mempertimbangkan fakta lain bahwa Rendra baru saja mengalami apa yang disebut dengan patah hati, serta fakta lain lagi bahwa Rendra adalah sosok pria setia yang menunggu pasangannya kembali walau telah dicampakkan.
"Najis, Dim! Gue nggak ada waktu mikir begituan." Pandangan Rendra seketika teralih dari gelas ke wajah Dimas yang sedang diusahakan sekeren mungkin. Walau misal tak usah begitu pun, Dimas akan tetap mudah merebut simpati wanita yang kebetulan ditemuinya. Sebelas dua belaslah dengan dua sahabatnya. Potongan rambut cepak membuat Dimas makin terlihat rapi, sangat berbeda dengan gayanya waktu kuliah dulu. Rendra saja terperanjat saat pertama kali bertemu Dimas yang menjemputnya di Bandara Adi Sucipto beberapa hari yang lalu.
"Iya-iya, sori! Namanya juga usaha, ya, nggak?" cengir Dimas sambil sesekali melirik ponsel yang sedari tadi lampu indikatornya menyala merah dan hijau bergantian, pertanda banyak pesan dan panggilan masuk yang telah diabaikan. Dimas pastikan kebanyakan notifikasi itu berasal dari istri tercinta di rumah. Bukannya abai, Dimas hanya belum punya jawaban atas pertanyaan istrinya, jadi percuma juga dibuka. Begitulah pola pikir lelaki, logika berjalan di atas rasa. Padahal kalau dilihat dari sisi Alya, pasti akan lebih suka Dimas menggubris pesannya dengan tanggapan apa saja.
Rendra menghela napas dalam. Ia memang butuh pengalihan dari apa yang belakangan mengganggu kestabilan perasaan dan pikirannya. Itu sebabnya beberapa hari yang lalu ia memutuskan untuk terbang ke Solo, menemui Dimas, sekalian liburan sejenak dari kepenatan pekerjaan. Namun, siapa sangka ternyata Bayu—sahabat Rendra, yang juga adalah mantan calon kakak iparnya—telah bersekongkol dengan Dimas untuk menahannya lebih lama di kota ini.
Meskipun tidak bisa dibilang persekongkolan juga, karena Rendra tahu, kedua sahabatnya itu hanya berniat membantu. Ia sendiri juga heran, memangnya terlihat sebegitu menyedihkan kah kondisinya sehingga memunculkan inisiatif Bayu dan Dimas untuk menawarkan bantuan. Lelaki berwajah indo ini jadi curiga, ada andil sang Mama dan Adik dalam persekongkolan kedua sahabatnya.
"Jadi gimana? Ini dari tadi gue udah dibombardir Alya, harus ada jawaban malem ini. Gue juga nggak tenang ninggalin Alya lama-lama, suami siaga, Bro!" Tuntutan Dimas memecah keheningan yang sejenak jadi raja. Dengan mata—yang akhirnya menyerah—fokus ke layar ponsel, meneliti kalau-kalau ada pesan berembel-embel banyak tanda seru dari sang istri.
Alya, istri Dimas memang sedang hamil besar. Ketiganya dulu kuliah di jurusan yang sama, Matematika murni, berbeda dua angkatan. Alya baru masuk kuliah saat Dimas dan Rendra duduk di semester lima, sedangkan Bayu di fakultas berbeda. Selain kuliah di universitas yang sama, Dimas, Rendra, dan Bayu tinggal di kost yang sama di Jakarta.
"Ya udah, oke, lah. Tapi gue tegasin sekali lagi. Ini bukan karena masalah usaha move on atau apa. Gue cuma nggak tega sama Alya. Itung-itung gue bantuin istri lo, juga refresh dari kepenatan kerjaan di Bandung," putus Rendra kemudian yang ditanggapi dengan senyum lebar terkembang di bibir Dimas. Nyaris berteriak, Dimas beranjak dari kursi lalu menepuk bahu Rendra dengan riang, matanya berbinar persis bocah mendapat izin bergumul dengan air hujan dari mamanya.
"Sip, Ren! Lo emang terbaik!" Dimas mengacungkan ibu jarinya ke arah Rendra, "Gue cabut, deh, bidadari gue udah nungguin di rumah. Jangan pengin, ya!" Ibu jari kini telah tersembunyi, berganti dengan telunjuk yang digoyang-goyangkan di depan wajah Rendra. Dikombinasikan dengan tampang yang mendadak berubah mesum milik Dimas, Rendra merasa akan sangat pantas kalau bogem mentah didaratkan ke muka fotogenik sahabatnya ini.
"Najis, Dim!" Umpatan Rendra tenggelam oleh gelak tawa Dimas yang buru-buru menjauh, antisipasi kalau-kalau Rendra berubah pikiran. Bagaimana pun persahabatan ketiganya semasa kuliah membuat umpatan demi umpatan mulus meluncur. Walau di luaran Rendra dikenal sebagai pribadi yang tenang, tak mudah terpancing, dan lembut, sifat itu tak berlaku jika sudah bercengkrama dengan Dimas maupun Bayu.
Rendra kembali berkonsentrasi pada cairan oranye yang tersisa seperempat bagian. Pandangan menerawang, menembus tembok transparan di depannya, menemukan jalan beraspal kota Solo menjelang malam. Resto yang menjual makanan khas daerah di depan hotel, sudah tutup beberapa jam yang lalu. Digantikan dengan gerobag berpayung terpal biru, dengan penerangan seadanya. Sungguh terasa damai dan tenang. Inilah yang Rendra sukai dari kota Solo, malam menjelang tak menjadikannya sepi, tapi tetap terasa hidup dengan karakter bersahaja manusianya.
Bukan pertama kali Rendra mengunjungi kota Solo, karena memang beberapa klien perusahaannya berasal dari sini. Di beberapa kesempatan pun lelaki ini sempat diundang sebagai enterpreneur influencer karena keberhasilannya merintis usaha di bidang jasa konstruksi. Kali ini ia bertandang ke Solo—sebenarnya—untuk mengalihkan pikiran sejenak dari luka hati karena seseorang. Namun nahas, malah terjebak dengan permintaan Dimas dan Alya—yang ia yakin seratus persen memang disengaja, atau dengan kata lain ia dijebak.
So, here I am! gumam Rendra sembari beranjak dari kursi berjalan menuju lift yang berada tak jauh dari kafe hotel, tagihan minuman sudah ia bayar tadi ketika memesan. Melirik angka di atas kotak lift yang menunjukkan bahwa lift sedang bergerak turun dari lantai enam, membuat Rendra merogoh saku celana, mengecek ponselnya untuk mengisi jeda waktu. Tepat saat pintu lift terbuka, sekonyong-konyong ada sosok menyenggol tubuh Rendra ketika satu kakinya baru masuk ke lift.
Beruntung Rendra dapat menguasai tubuhnya sehingga tak sampai jatuh. Namun nahas, ponsel Rendra tak bisa diselamatkan. Benda kotak berukuran lima inci itu meluncur dengan mulusnya dari tangan lalu jatuh, beradu dengan lantai lift.
"Ya ampun, maaf, Om. Saya nggak sengaja soalnya buru-buru, maaf, ya, Om!"
What? Om? Tolong, gue baru dua puluh delapan! protes Rendra yang tentu saja hanya disimpan dalam hati. Cukup diwakilkan dengan ekspresi sebal tingkat propinsi, bibir serupa garis lurus dan alis mengumpul ke tengah.
Seorang gadis berwajah imut yang langsung mengingatkan Rendra pada Mita—mantan calon istrinya—buru-buru memungut ponsel lalu dengan gemetar menyerahkannya pada si empunya. Kalau saja Mita mau merias diri setebal ini pasti akan sama hasilnya, seperti berusaha menuakan usia dengan modal make up. Rendra rasa, gadis ini baru berusia sekitar dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun.
Rendra bergeming, masih terpana dengan penampilan si gadis, yang memang sedikit terbuka di bagian tertentu. Mari kita lihat, gadis berwajah imut ini mengenakan dress berkancing seperti blazer berwarna krem sepanjang lima senti di atas lutut. Kerah model V-neck Rendra rasa terlalu rendah sehingga menampakkan sedikit sesuatu di dalamnya tanpa kaus atau kemeja.
Tunggu, Sesuatu? Rendra buru-buru menyapu bersih pikiran nakal dari otaknya. Hmmm, bukan pikiran nakal, tapi pikiran normal, karena lelaki ditakdirkan pandai berimajinasi seperti itu, apalagi setelah apa yang tersaji di hadapannya mendukung bayangan mereka.
Kaki si gadis dibungkus sepatu boot beledu berwarna marun, yang bagi Rendra sama saja dengan sepatu boot yang dipakainya ketika visit lapangan. Padahal jelas-jelas berbeda, paling tidak dari segi ukuran lingkar atasnya. Sepatu boot gadis ini lebih ramping, pas sekali membalut betisnya yang indah.
Oke, stop, Rendra!
"Om kenapa? Baru pertama kali liat cewek cantik, ya?" kata gadis itu sambil mengibaskan wristlet berwarna senada dengan boots yang dipakainya tepat di depan wajah Rendra. Wajah paniknya sudah bertransformasi menjadi ekspresi bingung dan sedikit takut.
"Ya, apalagi yang attitude-nya kurang seperti kamu." Gemas, Rendra menyambar ponsel dari tangan gadis itu lalu memilih bersedekap dan menyandarkan punggung di tembok lift. Tanpa mengecek terlebih dahulu apakah ponselnya masih bisa dioperasikan atau tidak.
"Maaf, Om, kan saya sudah bilang nggak sengaja. Itu hapenya nggak kenapa-kenapa, 'kan?" tanya si gadis sambil melongok penasaran sekaligus khawatir. Dari gestur dan ekspresi si gadis, Rendra menangkap kegelisahan yang kental, mungkin memang benar ia sedang terburu-buru tadi.
"Kalau ponsel saya kenapa-kenapa memang kamu mau tanggung jawab?" Rendra tak sungguh-sungguh membuat nada bicaranya menjadi seperti sedang mengancam. Bagaimana pun yang dihadapinya sekarang adalah seorang wanita, sejenis dengan mama dan adik, juga mantan calon istrinya. Rendra tidak akan repot-repot memperpanjang masalah dengan sosok ini. Selain tak ingin membuat kesulitan seorang perempuan, ia juga tak mau membuang-buang waktu.
"Emmm, hape mahal, ya, Om? Sepertinya saya nggak sanggup ganti." Gadis itu menunduk, menyesal karena telah salah bertanya.
"Nope. Perbaiki saja kelakuan kamu, itu sudah cukup." Tepat saat Rendra mengatupkan bibir tiba-tiba lift berhenti bergerak dan seketika gelap. Terdengar jeritan ketakutan yang Rendra yakin, jelas, pasti dari gadis imut. Tak perlu waktu lama, Rendra merasa ada tubuh yang menerjang, membuat punggungnya terasa sakit karena terantuk tembok lift. Ponselnya pun kembali terhempas dari genggaman, entah terlempar ke mana.
"Heh, kamu ngapain!"
"Om, s-s-saya takuuuuut! Toloooong! Ini kenapaaaa lift-nya?"
"Terus kalau takut, kamu bebas peluk-peluk saya seperti ini?" Rendra berusaha keras menghilangkan aksen sebal pada tone suaranya, karena sebenarnya ia tak tega menyakiti makhluk yang berlabel wanita, bagaimana pun kelakuan mereka. Rendra bisa merasakan tubuh gadis ini bergetar hebat, bahkan lengannya terasa perih karena jemari si gadis yang mencengkram kuat.
"M-m-maaf, Om. Saya takut gelap!" Si gadis mulai terisak dan Rendra sedikit merasa sesak. Lelaki ini merasakan pelukan bertambah erat, kaus yang ia kenakan sudah terasa basah di bagian depan, pasti terkena air mata sekaligus ingus si gadis imut. Sial! Rendra rasa ia akan dituduh sebagai penjahat kelamin seandainya nanti ada CS hotel yang memergoki mereka dalam keadaan seperti ini.
Rendra memindahkan kedua lengannya menepuk lembut punggung si gadis. Ia merasa tubuh gadis itu makin merangsek, seperti tak ingin lepas. Hal itu membuat Rendra tak berani spekulasi lagi, pasti ada yang salah dengan gadis di pelukannya. Mungkin nanti ia bisa bertanya pada Al, adiknya yang mendalami ilmu psikologi di Jerman.
"Ssssst! Nggak papa. Mungkin listrik bermasalah. Pihak hotel pasti sedang mengusahakan genset. Tenang, bentar lagi pasti nyala." Rendra sedang mengarang indah untuk menenangkan gadis yang seakan melekatkan diri kuat-kuat padanya. Bahkan lelaki tegap ini sendiri tak mengerti kenapa melakukannya. Walau jengkel setengah mati, entah mengapa Rendra tidak bisa marah. Naluri melindungi muncul begitu saja saat Rendra merasa dibutuhkan, pelukan gadis ini berhasil membuat sisi lembut Rendra mendominasi.
Rendra tak dapat menggerakkan tubuh, padahal kalau bisa ia ingin mencari ponselnya agar bisa dijadikan penerang. Setidaknya bisa mengurangi ketakutan si gadis. Siapa tahu gadis ini memang takut dengan tempat sempit dan gelap seperti ini. Yang jelas Rendra tidak menangkap modus perayu dan penggoda sama sekali dari gestur dan tarikan napas si gadis. Rendra yakin gadis ini benar-benar sedang ketakutan.
"M-m-maaf, Om. Saya takuuut, jangan ditinggalin di sini, ya, Om!" Terbata si gadis tak menggubris kalimat Rendra. Bahkan sekarang Rendra bisa mendengar suara isakan makin intens dekat dengan telinganya.
Tepat tiga menit kemudian akhirnya lift kembali terang. Si gadis terkesiap, lalu membenahi posisinya, menjauh dari Rendra. Napasnya masih tersengal dan bola matanya memutar ke sana ke mari menatap sekeliling, dengan aura ketakutan masih tersimpan.
Rendra kembali merogoh saku celananya, lalu mengambil sebuah sapu tangan warna biru muda terlipat rapi dari sana. Melihat sekeliling mata si gadis yang menghitam karena make up yang luntur terkena air mata, membuat Rendra tak tega membiarkan tanpa melakukan apa-apa. Disodorkannya sapu tangan itu, tanpa ragu si gadis menerimanya bersamaan dengan bunyi pintu lift yang terbuka.
"Makasih, Om!" Tanpa pikir panjang lagi si gadis langsung melesat keluar meninggalkan Rendra yang terbengong karena kelakuan ajaibnya. Rendra menggeleng pelan, kalau boleh dihitung kerugian yang ia derita mungkin tak sebanding dengan ucapan terima kasih si gadis. Ratusan dokumen perusahaan dan kontak orang-orang penting mungkin sudah hilang bersama ponselnya yang tadi terhempas, lalu sapu tangan itu adalah sapu tangan oleh-oleh mamanya dari Prancis. Tapi, tunggu!
Rendra memungut ponselnya di sudut lift bersama dengan wristlet marun milik gadis ajaib tadi. Sempat terpikir untuk membiarkan barang itu di sana, tapi, Rendra berspekulasi, mungkin Tuhan punya rencana lain dari kejadian yang ia alami. Jadi Rendra memutuskan untuk membawa pouch bertali itu ke kamar hotel yang ditempatinya di lantai tujuh. Masih menggeleng pelan, Rendra berusaha mengingat kembali wajah si gadis.
Mengingat kepedean si gadis dan kekonyolan ajaib yang dilakukan membuat sudut bibir Rendra bergerak membentuk sebuah senyum. Senyum yang sepertinya jarang terbit semenjak merelakan mantan calon istrinya menikah dengan pria lain.
Rendra tak tahan untuk membuka wristlet marun itu ketika sudah sampai di kamar, entah mengapa ia penasaran dengan identitas gadis ajaib yang ditemuinya. Ada perasaan kecewa ketika tak menemukan selembar kartu identitas pun tentang si gadis yang ia dapatkan.
Alih-alih menemukan KTP, Rendra mendapat dompet berisi beberapa kartu debit, kertas-kertas struk belanjaan, sebuah liontin berbentuk patahan hati bertuliskan LO berbahan silver, dan selembar foto. Menghela napas panjang, Rendra membereskan kembali barang-barang temuannya lalu menghempaskan diri di tempat tidur, memikirkan segala kemungkinan yang akan terjadi nanti malam atau esok hari. Mungkinkah ia akan bertemu dengan gadis itu lagi?