Seorang gadis berusia dua puluh satu tahun sedang berlari masuk ke dalam sebuah rumah berbahan kayu. Walaupun rumahnya kecil, tetapi kelihatan hangat. Halaman rumah yang tak seberapa luas ditanami beberapa jenis sayuran.
"Xing-xing!" teriak Yuan Hua.
Yuan Xing sedang memotong wortel di dapur saat kakak perempuannya memanggilnya. "Iya, Kak? Ada apa sampai berteriak begitu?" balasnya, lalu tangannya memasukkan potongan wortel berbentuk dadu ke dalam kuali, kemudian mengaduknya.
"Aku...." Yuan Hua masih terengah-engah.
"Stabilkan dulu Kak napasnya baru bicara," sahut Yuan Xing menarik sudut bibirnya membentuk senyuman.
Yuan Hua mengatur napas beberapa saat sebelum mulai berbicara. "Aku dengar saat berbelanja beras tadi di pasar orang-orang bergosip kalau Academy Goujia Xiwang membuka pendaftaran untuk murid-murid baru."
Wajah gadis yang lebih muda seketika berubah menjadi cerah. "Wah, benarkah, Kak?"
Yuan Hua langsung mengangguk. "Iya, sungguh. Aku kali ini tidak sedang bercanda."
"Oh baiklah aku percaya kalau kakak tidak sedang mempermainkan aku," jawab Yuan Xing. Iya, kakaknya ini terkadang bercanda bahwa academy Guojia Xiwang buka pendaftaran padahal belum.
Yuan Xing memasukkan sop ke dalam mangkuk dan meletakkannya ke atas meja. Uap panas mengepul di udara. Yuan Hua membantu membereskan peralatan masak yang digunakan adiknya.
"Sebentar lagi aku akan berangkat, Kak."
"Xing, makanlah terlebih dahulu sebelum berangkat. Perjalanan ke sana cukup jauh dan memakan waktu," ucap Yuan Hua yang dijawab anggukan yang lebih muda.
Mungkin ini terakhir kalinya Yuan Xing makan bersama Yuan Hua. Momen terakhir ini harus dilakukan dengan baik karena ke depannya mereka akan sangat jarang bertemu.
"Xing, kau harus lebih banyak latihan sebelum mengikuti tesnya," nasihat Yuan Hua sambil memasukkan sepotong kentang ke dalam mulut.
"Aku akan melakukannya, Kak. Aku tahu kalau kekuatanku rendah, tapi aku akan berusaha," jawab Yuan Xing, kemudian mengunyah sepotong daging ayam.
Sejak berusia sembilan tahun Yuan Xing sudah bertekad untuk masuk ke dalam academy Goujia Xiwang. Hingga waktunya sekarang sudah tiba.
Usai makan Yuan Xing menyiapkan barang-barang yang akan dibawa dengan dibantu kakaknya. Tak banyak barang yang akan dibawa olehnya hanya satu buntelan berisi pakaian, makanan, dan sedikit uang.
Yuan Xing diantar sampai ke tempat penyewa kereta kuda yang ada di desa tepatnya di pasar. Sampai di sana seorang laki-laki dewasa bertubuh gemuk sedang membersihkan kereta kuda.
"Siapa yang akan berangkat?" tanya paman Xiao Chen dengan ramah saat melihat dua orang gadis yang dikenalnya yang datang menghampirinya.
"Xing, yang akan berangkat, paman. Xing mau pergi ke academy Goujia Xiwang untuk ikut tes seleksi. Mohon paman menjaganya di sepanjang perjalanan," pinta Yuan Hua.
"Tenang saja Hua, aku akan memastikan mengantar Xing sampai ke tempat tujuan dengan selamat."
Paman Xiao Chen sudah bertahun-tahun mengenal Hua dan Xing. Bahkan sejak kedua gadis itu masih kecil sampai sekarang.
"Terima kasih, Paman Xiao."
"Paman berapa uang sewanya?" tanya Yuan Xing.
Paman Xiao Chen menjawab. "Tak perlu Xing. Anggap saja ini bantuan dariku. Kalian berdua seumuran dengan putriku jika dia masih hidup. Jadi kalian sudah aku anggap seperti putriku sendiri."
"Terima kasih banyak, Paman," sahut Yuan Xing.
"Sama-sama, Xing. Ayo naiklah ke kereta sebelum siang," jawab Xiao Chen.
"Kak, jaga dirimu baik-baik, ya! Aku akan memberi kabar lewat burung jika aku sudah sampai," ujar Yuan Xing berusaha untuk tersenyum. Sejak kecil sampai sekarang dia tak pernah pisah dengan sang kakak, mereka selalu bersama.
"Iya, Xing kau juga jaga dirimu. Jangan sampai makan telat karena sibuk latihan, latihan 'kan butuh energi." Yuan Hua mengusap puncak kepala adik satu-satunya yang tersisa. Sebenarnya Yuan Hua punya dua orang adik, yaitu Yuan Xing dan Yuan Qinshi. Hanya saja Yuan Qinshi kehilangan nyawanya saat berusia lima tahun.
Keduanya berpelukan untuk beberapa saat sebelum Xing berjalan masuk dan duduk di dalam kereta. Xing membuka penutup jendela kereta, kemudian melambaikan tangan dan dibalas oleh Hua.
"Hati-hati Xing!" pesan Yuan Hua.
"Iya, Kak," jawab Xing.
Kereta kuda mulai bergerak meninggalkan area pasar. Yuan Hua terus tersenyum di tempatnya berdiri sampai kereta kuda paman Xiao Chen tak terlihat lagi. Hua tahu hari-hari ke depannya akan sepi tanpa kehadiran sang adik.
***
Kereta kuda terus bergerak membelah hutan. Sesekali kereta kuda berguncang saat melewati bebatuan. Paman Xiao membawa kereta kuda melewati hutan bambu.
Ini pertama kalinya bagi Yuan Xing melakukan perjalanan yang cukup jauh dari rumah. Dibukanya tirai jendela dan menengok ke arah luar melihat tanaman bambu hijau yang menjulang tinggi. Suara gesekan bambu tertiup angin menjadi ciri khas tersendiri. Dan suaranya berpadu dengan suara sepatu kuda dan roda yang berjalan.
Yuan Xing sejak kecil hanya berjalan di sekitar desa Teratai saja tak pernah pergi ke dunia luar. Dan Yuan Xing pun baru tahu jika negara Changfeng memiliki hutan bambu yang indah. Dan akan lebih menyenangkan bila bersama sang kakak, Yuan Hua.
"Xing, kalau merasa mengantuk tidur saja perjalanan kita masih jauh." Suara paman Xiao Chen memecahkan kekosongan suara.
"Iya, Paman Xiao, tapi aku belum mengantuk," jawab Yuan Xing, kemudian menutup kembali tirai jendela.
"Kau tahu academy Goujia Xiwang berada di mana?" tanya Xiao Chen. Laki-laki dewasa itu berusaha untuk mencairkan suasana yang sangat hening dan sepi.
"Di Kota Awan, Paman," jawab Yuan Xing.
"Kota Awan sangat berbeda sekali dengan Desa Teratai kita, Xing." Xiao Chen menjawab sambil matanya terus fokus menatap jalan yang dilalui dan tangannya mengendalikan tali kuda.
Yuan Xing pun mengernyitkan dahinya kebingungan. "Paman bedanya di mana? Bukankah sama-sama berada di bawah negara Changfeng?"
Paman Xiao Chen pun tertawa mendengar pertanyaan polos Xing. "Di sana tinggal banyak keluarga bangsawan. Anak-anak dari keluarga bangsawan biasanya memiliki sifat yang sombong dan angkuh. Jadi, hati-hatilah saat di Kota Awan nanti, Xing."
Yuan Xing mengangguk. "Baiklah, Paman. Terima kasih nasihatnya."
Jika saja ayahku masih hidup pasti dia akan memberikan nasihat yang sama seperti paman Xiao Chen, batin Yuan Xing.
Yuan Xing tak mengingat dengan jelas bagaimana wajah Yuan Lang. Sebab ayah pergi terlalu cepat saat dia berumur dua tahun tiga bulan. Bahkan sebelum dia mengerti tentang dunia luar.
Matahari berada di puncak kepala saat Kereta kuda telah sampai di pintu masuk Kota Awan. Pintu masuk dijaga oleh prajurit berpakaian besi, dan di tangan mereka memegang senjata dan perisai. Setiap orang yang ingin masuk ke Kota Awan akan diminta surat jalan seperti saat ini.
"Kita sudah sampai Xing," ucap Paman Xiao Chen setelah berhasil melewati pemeriksaan oleh prajurit gerbang Kota Awan. Laki-laki itu menghentikan terlebih dahulu kereta kuda di pinggir.
Yuan Xing perlahan membuka kedua matanya. Dia sempat tertidur akibat terlalu lama perjalanan yang ditempuh. Diambilnya buntelan kain dan disampirkan ke bahu kanannya, bergegas turun dari kereta dengan dibantu Paman Xiao Chen.
"Inikah Kota Awan?" Yuan Xing mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Banyak orang yang berkeliaran dan berlalu lalang dengan beragam kegiatan.
"Ramai sekali! Tak seperti di desa kita, Paman," lanjut gadis itu.
Paman Xiao Chen tersenyum, lalu terkekeh. "Namanya saja di kota, Xing."
"Maaf, Paman, hanya bisa mengantarmu sampai sini, Xing. Kau tahu 'kan kalau Paman ikut pergi menemanimu tak ada yang menjaga bibimu di rumah," jelas Xiao Chen. Dia sebenarnya tidak ingin meninggalkan Xing sendirian dan berjuang sendiri di Kota Awan, tapi tak ada pilihan lain.
"Tak apa-apa. Paman tolong jaga Kak Hua selagi aku jauh darinya," pinta Yuan Xing.
"Tenang saja soal itu serahkan padaku. Xing, ingat pesanku tadi." Yuan Xing menjawab dengan anggukan.
"Semoga Xing bisa lulus di Academy."
"Terima kasih, Paman, do'anya."
Paman Xiao Chen melambaikan tangan sebelum menghentakkan tali kuda. Kereta kuda sederhana perlahan bergerak menjauh melewati gerbang yang sama dan sampai tak terlihat lagi di mata. Dan perjalanan hidup di dunia luar Yuan Xing baru saja akan dimulai. Gadis itu tak tahu hal apa yang menunggunya di masa depan?