“Kamu nggak apa-apa?" lirik Pak Dani pada anaknya, Neela, yang terlihat gugup memandangi pemandangan dari kaca jendela mobil.
"Sedikit gugup. Tapi aku senang.”
“Apa yang bikin kamu gugup?”
Neela menatap gunung kokoh yang seakan selalu mengikuti ke mana pun arah mobil ini berjalan. Gunung itu akan tetap selalu berada di pandangannya. “Gunung.”
“Yang bikin kamu senang?”
“Gunung juga.”
Pak Dani tergelak “Jawaban yang bagus.”
Ini adalah kali ketiga Neela pindah sekolah. Saat ia mendengar ayahnya akan dipindahtugaskan ke desa yang dijuluki Kota di Atas Awan ini tiga minggu lalu, tepatnya saat liburan kenaikan kelas, Neela diberi pilihan apakah ingin ikut bersama dan mengharuskannya untuk pindah sekolah atau menetap di Jakarta bersama neneknya sampai ia lulus sekolah. Tanpa berpikir panjang, Neela memilih untuk ikut pindah bersama walaupun ia baru saja naik kelas XII dan perlu menyesuaikan diri kembali.
Bukan tanpa alasan, itu karena ia sangat tertarik dengan gunung!
Jantungnya terus berdetak bersemangat melihat pemandangan siluet gunung gagah mengelilingi desa sejak kedatangannya di Desa Wonosobo tiga hari lalu. Ia masih tidak menyangka jika akan tinggal berdampingan dengan gunung, sesuatu yang selama ini hanya bisa dilihatnya di YouTube atau televisi.
Ia tidak peduli jika harus memperkenalkan diri kembali di depan kelas. Toh, lagi-lagi, ini bukan pertama kalinya. Ia juga bukan seorang yang suka bergantung pada orang lain. Yah … katakan saja dia tidak punya teman atau sahabat yang menahannya untuk tidak pergi.
Neela adalah sosok gadis cantik dan sederhana yang jarang bicara pada orang yang tidak dikenalnya. Ia sudah terbiasa dengan dirinya sendiri. Tak ada yang menarik darinya secara penampilan dan tak ada yang bisa membuatnya peduli akan hal itu.
Namun, sebenarnya, ada hal yang tidak diketahui banyak orang. Saat ia telah bertemu dengan orang yang membuatnya nyaman, maka ia juga bisa menjadi seseorang yang menyenangkan.
"Sejak kapan, sih, kamu suka gunung? Kok Ayah nggak tau.”
“Sejak kelasku pindah ke lantai tiga. Aku selalu bayangin pohon cemara yang membentang luas setiap naik tangga. Jadi … daripada mendaki semen, lebih baik aku mendaki gunung beneran,” jelas Neela bersemangat.
“Karena itu aja?”
Neela menggeleng diiringi tawa kecilnya. “Nggak, sih. Aku pernah lihat youtuber nge-vlog di gunung. Dia kelihatan senang dan bahagia banget. Sampai-sampai … energi bahagianya nular ke aku, apalagi waktu sampai di puncak. Wah … terlihat puaaas banget.” Jemarinya seakan ikut menyentuh gunung dari balik kaca mobil. Pak Dani turut bahagia melihatnya.
“Tapi … ingat peraturannya?”
“Nggak boleh mendaki sendirian!”
“Tepat sekali!”
“Aku pasti gampang nemuin temen yang suka mendaki di sini,” yakin Neela sembari bersiap memakai tas setelah Pak Dani menghentikan mobilnya tepat di depan gedung sekolah berlantai dua bercat putih tulang.
“Seenggaknya sekolah kamu sekarang cuma dua lantai.”
Neela tertawa ringan. “Kalau di desa, sepuluh lantai juga nggak masalah, Yah. Asal pakai lift.”
“Mau Ayah antar?”
“Aku 17 tahun, Ayah.” Neela melepas sabuk pengaman dan menyalami tangan ayahnya.
“Baik-baik, ya, nanti pulang sekolah Ayah jemput. Ponselnya standby.”
“Oke.” Neela mengacungkan jempol sambil menutup pintu mobil. Perlahan mobil Pak Dani mulai bergerak dan berlalu dari pandangannya.
Sebelum melangkah, mata Neela menyapu suasana di sekitar luar gedung sekolah. Salah satu alasan lain Neela gugup saat ini adalah karena ia tidak bisa berbahasa Jawa sama sekali. Ia sadar kalau ia bukanlah seseorang yang mudah bergaul. Ditambah keterbatasan bahasa, itu akan lebih menyulitkannya. Terbukti saat ini, ia mengamati para murid berjalan beriringan sambil berbincang menggunakan bahasa Jawa begitu kentalnya tanpa terselip satu kata pun yang dapat Neela mengerti.
Saat ingin melanjutkan langkah, pandangan Neela terhenti pada pria berambut gimbal yang sedang berjalan terhuyung-huyung sambil menenteng sebotol kaca berwarna hijau polos. Pria itu melihat ke arah gedung sekolahnya. Matanya merah. Pandanganya tajam seperti ingin mendapatkan sesuatu dengan segera.
Neela mengamati gerak-gerik pria berbaju lusuh itu di antara murid yang berusaha untuk tidak berjalan sejajar dengannya, bahkan terlihat menghindarinya. Hingga akhirnya pria itu berjalan melewati Neela yang masih berdiri di tempatnya. Tercium aroma alkohol yang sangat tajam dari tubuh pria itu.
Tapi … kenapa tidak ada yang peduli? Ke mana perginya satpam yang tadi aku lihat berdiri di depan pagar itu? Apa dia salah satu murid di sini? Perawakannya seperti sudah berumur dua puluh tahun. Mengapa dia bisa masuk ke area sekolah? Bukankah alkohol sangat dilarang di lingkungan sekolah? Neela hanya bisa bergumam dalam hati sendiri saat ini.
Ia mencoba untuk tidak memedulikan sesuatu yang tidak diketahuinya dan terus melangkah menyusuri jalan, mencari ruangan yang bertuliskan 'Ruangan Guru'.
"Tulisan itu tergantung di atas pintu." Neela mengingat kembali ucapan ayahnya.
Ia terus melangkah memperhatikan arahan jalan dan tanda dari ayahnya, sesekali juga ia melirik ke arah lapangan bola dan taman kecil yang dipenuhi murid-murid. Tanpa sadar ia telah tiba di depan ruangan yang dimaksud ayahnya.
"Anak baru, ya?" Seorang wanita paruh baya mengagetkan Neela yang ragu memasuki ruangan tersebut. Wanita berhijab itu memakai seragam cokelat. Terdapat nametag bertuliskan “HENI PUSPITA” di sisi dada kanannya.
“Iya, Bu. Saya Neelaja, murid pindahan dari Jakarta.”
“Oh, anaknya Pak Dani? Ayo masuk.”
Bu Heni memperkenalkan diri bahwa ia adalah calon wali kelas Neela dan mempersilakan Neela masuk ke ruangan guru terlebih dahulu sembari menunggu Bu Heni menyelesaikan tugasnya.
Bel sekolah telah berbunyi merdu. Para murid berlomba memasuki kelas bersamaan dengan canda tawa dan suara telapak kaki yang beriringan, seolah telah siap mengawali hari yang mungkin akan terasa membosankan untuk dilewati. Tak butuh waktu lama untuk membuat para murid memasuki kelasnya masing-masing, Bu Heni pun mengajak Neela menuju kelas barunya.
"Ayo, Sayang. Kita ke kelas." Neela menyambut tangan Bu Heni yang menyentuh pundaknya dengan senyuman lalu berdiri mengikuti langkah kaki wali kelasnya itu keluar ruangan. Tangan kirinya mendekap penuh beberapa tumpukan buku di dada.
Dalam perjalanan menuju kelas, Bu Heni bertanya-tanya tentang alasan Neela pindah saat ia telah memasuki kelas 3 SMA. Neela menjawabnya dengan penuh semangat, tentu saja karena gunung!
Bu Heni sosok guru yang terlihat humble dan dekat dengan murid-muridnya, terbukti dengan Neela yang tak lagi gugup karena kehadiran Bu Heni yang mengajaknya berbicara.
Saat mereka hendak berjalan menuju lantai dua dan akan melewati toilet, Bu Heni tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Neel, kamu tunggu di sini sebentar, ya, Ibu mau ke toilet. Ibu titip buku ini dulu." Wanita itu menyerahkan tumpukan buku di tangannya pada Neela lalu bergegas memasuki toilet sembari menahan sesuatu di perutnya.
Sebenarnya masih ada beberapa ruang kelas lagi untuk dilewati sebelum menaiki tangga. Sembari menunggu Bu Heni keluar dari toilet, Neela melihat mading yang dilapisi kaca bening terpajang di dinding tak jauh dari toilet.
Saat ia berniat menghampiri mading, langkahnya tiba-tiba terhenti karena mendengar suara gaduh dari lantai dua. Tepatnya di atas Neela berdiri saat ini. Suara gaduh itu terdengar semakin keras hingga membuat murid-murid di lantai satu berbondong-bondong keluar kelas untuk memeriksa sumber suara itu.
Beberapa murid ingin naik memeriksa lantai dua, tetapi langsung diperingatkan oleh beberapa murid lainnya. "Ojo munggah! Aku ndelok Dimas mlebu!” (Jangan naik! Aku lihat Dimas masuk!”)
Mendengar peringatan tersebut, murid yang berniat ingin ke lantai dua itu pun mengurungkan niatnya dan kembali bergabung dengan teman-temannya.