My Little Monster

My Little Monster

N. Pradita

4.6

Selama satu tahun ini, Abby berhasil melewati masa SMA-nya dengan cukup tenang, meski banyak teman-teman sekolah yang mengejek dan menjauhinya. Namun, itu tidak apa-apa. Abby sudah terbiasa dengan perlakuan seperti itu. Tidak apa-apa.

Abby melangkahkan kaki melewati gerbang sekolahnya yang dicat warna hitam dan emas. Hari ini, gadis dengan tinggi 149 cm itu resmi menjadi siswa kelas 2 SMA. Banyak orang yang bilang, masa-masa SMA adalah masa-masa paling indah dan puncaknya adalah saat mereka berada di kelas 2. Saat di mana siswa sudah beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan belum begitu memikirkan tentang keriweuhan menghadapi ujian hidup dan mati.

Semua remaja akan menikmati masa-masa sekolah mereka; memiliki teman, bergabung dalam organisasi, hangout, dan menyukai seseorang. Ya... setidaknya, Abby pernah menginginkannya. Namun, pikiran itu harus dia buang jauh-jauh. Jangankan memiliki teman, orang-orang di sekitarnya saja menjauhinya seakan dia tidak pernah ada dan jika mereka mendekat pun hanyalah untuk mem-bully Abby. 

Memangnya, pendek itu penyakit menular?

Abby menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga, matanya yang bulat menyipit membaca papan pengumuman yang terletak di sebelah ruang guru. Seraya berdesakan, Abby mencari namanya pada lembar yang tertempel dengan paku payung itu.

Puk!

"Abbyastari Putri, 11 IPS 3." Suara rendah yang diiringi tepukan di punggungnya itu membuat Abby mendongakkan kepala ke arah sumber suara. "Akhirnya kita sekelas juga!"

Mata bulat Abby melebar, kenapa di antara semuanya dia harus bertemu dengan orang itu? Salah satu orang yang selalu menjadikan Abby bulan-bulanan. Menertawakannya dan selalu membandingkan tinggi mereka.

Abby saja masih ingat saat orang itu melempar tas sekolahnya ke pohon cemara dan tersangkut di sana. Jika saja ucapan itu keluar dari mulut orang lain, Abby pasti akan senang menyambut teman sekelasnya yang baru. Namun tidak untuk orang menyebalkan itu.

"Kok lo diam sih? Selain pendek, sekarang lo budek sama bisu juga ya?" Pemuda itu tertawa renyah, memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi, tangannya yang panjang terulur mengacak-acak rambut Abby hingga berantakan.

Abby menatapnya jengah. Gadis itu lebih memilih pergi daripada menggubris kata-kata tidak penting dari orang itu.

"Loh, By! By! Eh, kok main pergi aja sih!" Ben, pemuda bersuara rendah itu hanya bisa mengamati punggung Abby yang kian menjauh seraya terkikik geli.

***

Selama berjalan menuju kelasnya yang baru, Abby tersadar bahwa banyak siswa yang mengamatinya dengan senyum mengejek. Bahkan serombongan siswa baru juga ikut-ikutan menertawakannya. Gadis itu memang sudah terbiasa menjadi bahan olok-olokan, tapi kenapa dengan hari ini? Seakan siswa di sekolahnya kompak mempermainkannya.

“Eh, minggir, ada orang gila mau lewat!” Seseorang berbisik saat berpapasan dengannya.

Abby mengernyit bingung, menoleh ke kanan dan kiri, menyadari jika siswa-siswa itu fokus melihat pada satu arah. Seakan teringat sesuatu, kedua tangannya  dengan cepat meraba punggungnya sendiri. Tepat seperti dugaan Abby, sebuah kertas bertuliskan ‘Minggir, orang gila mau lewat!’ tertempel di sana.

Abby meremas kertas itu, ingatannya kembali pada adegan di papan pengumuman beberapa menit lalu. Cowok sialan! Memang tidak ada hal baik jika Abby bertemu dengan Ben.

Dengan kesal, Abby membuang kertas tersebut ke tempat sampah dan melanjutkan perjalanannya menuju kelas baru.

Setelah berhasil menaiki tangga, Abby segera berjalan menuju kelasnya yang berada di ujung koridor. Begitu Abby melangkahkan kaki ke dalam kelas, gadis itu merasa semua mata memandang ke arahnya. Ah, Abby tahu benar tatapan itu. Tatapan mengintimidasi.

Abby menghela napas pelan, ditegakkannya punggung dan kepalanya. Tatapan itu tidak akan membuatnya gentar, dia sudah berjuang selama ini bahkan harus menekan kuat amarahnya. Tahun ini pun pasti akan berjalan seperti tahun-tahun sebelumnya. Ini baru hari pertamaTidak apa-apa, semua baik-baik saja.

Abby pun memilih tempat duduk paling depan di barisan kedua. Tempat yang enggan di tempati oleh siswa-siswa lain jika bukan karena mereka terpaksa menempatinya. Begitu Abby mengeluarkan buku dan tempat pensilnya, gadis itu merasakan sesuatu mengenai kepalanya.

"Woi, boncel. Nggak salah lo ada di sini?" Seorang laki-laki bertubuh tegap dengan kulit kecokelatan menyeringai. Tangannya lihai memotong kapur menjadi beberapa bagian dan melemparnya tepat  ke kepala Abby. "Lo harusnya di sana tuh, di PAUD! Hahaha!"

Gema suara tawa itu disambut dengan suara riuh siswa lain membuat telinga Abby berdengung saat mendengarnya. Beberapa siswa lain bahkan membuat suasana semakin gaduh dengan memukul-mukul meja bagaikan alat musik.

"Woi, lo denger nggak sih!"

"Heh, boncel!"

Abby hanya diam, meladeni laki-laki yang diketahuinya bernama Sam itu hanyalah perbuatan yang sia-sia.

"Kalau ada yang ngajak ngomong itu dijawab!"

Plak!

"Lo kalau boncel, boncel aja, nggak usah sok budek segala." Sam menempeleng kepala Abby, hingga kepala gadis itu hampir terantuk meja di hadapannya.

Abby mengerang tertahan, kedua tangannya terkepal kuat. Di antara gema tawa teman-temannya, Abby berdiri, meraih cutter dari tempat pensilnya. Secepat kilat gadis itu naik ke atas mejanya, mencengkram kerah Sam yang lengah seraya menempelkan cutter tepat di leher pemuda itu.

"Lo bisa ngatain gue pendek, bantet, bahkan boncel sekalipun! Tapi kalau lo sampai main fisik, gue juga nggak akan tinggal diam!" Mata Abby berkilat marah, tangan kanannya mantap menodongkan cutter pada Sam.

Seketika gema suara di kelas itu menghilang. Semua orang menatap ngeri dengan apa yang dilakukan Abby, bahkan Sam untuk beberapa saat tidak mengetahui situasi macam apa yang dialaminya.

"Sekali lagi lo gangguin gue... gue bun—"

"Abby!" Belum sempat Abby menyelesaikan kalimatnya, Ben menginterupsi.

Seakan baru tersadar dengan apa yang dia lakukan, Abby menjatuhkan cutter. Tangannya gemetar, kakinya perlahan melangkah mundur. Ditatapnya teman-teman sekelasnya, mereka semua menatap Abby ngeri.

Ah, semua terulang kembali. Mati-matian Abby menahannya selama ini. Kelakuan buruk yang selama ini ingin dia hapus akhirnya muncul kembali. Sesuatu yang selalu ingin dia buang dan sembunyikan. Sesuatu yang diwariskan dari darah kotor ayahnya. Abby muak dengan kelakuannya sendiri. Kenapa sih gue selalu kayak gini?

Mata Abby terasa panas dan bersamaan dengan bel masuk sekolah, Abby berlari keluar dari kelasnya.

"B-By!" Ben hendak mengejar Abby, tapi sebelum kakinya melangkah keluar, pemuda dengan tinggi 181 cm itu menoleh cepat ke arah Sam yang masih terlihat syok.

"Kalau sampai dia kenapa-kenapa, lo tahu ‘kan bakal punya urusan sama siapa?" Ben menekankan kalimat yang dia ucapkan. Aura mengintimidasi terpancar dari sorot mata Ben yang tajam.

Ben kemudian mengalihkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas. "Dan buat lo semua... yang boleh gangguin Abby cuma gue!" tandas Ben, membuat teman-temannya menelan ludah bulat-bulat.