“Tiara! Kaos kaki gue masih dijemur cepet ambilin!” seru gadis yang sudah mengenakan seragam putih abu-abu. Dia duduk di depan meja makan dan bersiap menyantap sarapannya.
Ayahnya, Ardhi menoleh ke arah Citra, seakan hal itu sudah jadi hal biasa dan rutinitas tiap pagi.
“Kenapa nggak ambil sendiri sih, Cit!” Abi, kakak Citra muncul dari dalam kamar, tangannya mengusap asal rambut Citra hingga berantakan lagi.
“Apaan sih, Kak. Di sini, di rumah ini, kedudukan Tiara itu paling rendah, ibaratnya dia itu pembantu di rumah ini. Jadi, nggak apa-apa nyuruh dia.”
Abi duduk, memandang adiknya tidak percaya. Sudah hampir sepuluh tahun berlalu sejak kedatangan Tiara ke rumah mereka dan hanya Citra yang belum bisa menerima kehadiran Tiara di rumahnya.
“Kamu nggak boleh begitu, dia juga saudara kamu,” tukas Ardhi.
“Nggak ada yang salah sama Citra, memangnya ada yang masih mau berbaik hati ngebiarin anak simpenan tinggal sama anak kandung dari istri sah,” timpal Arini yang baru saja datang dari dapur. Dia membawa telur ceplok dan hanya empat biji. Dan tentu saja telur itu untuk suami, dirinya dan kedua anak-anaknya.
“Kamu jangan ngajarin anak kita berpikir begitu,” sahut Ardhi.
Saat Tiara muncul semua orang yang ada di meja langsung terdiam. Tiara memberikan kaos kaki Tiara yang masih dijemur kepada pemiliknya.
Dia kemudian duduk di bangku yang paling ujung dan bersiap menyantap sarapannya. Hanya tahu dan tempe goreng.
Abi yang sudah berpikiran dewasa dan kasihan melihat adik tirinya memberikan telur ceplok miliknya pada Tiara.
“Kakak kenapa sih!” Citra marah-marah melihat Abi perhatian pada Tiara.
“Kenapa? Ini punyaku, jadi hak aku mau dikasih ke siapa,” kata Abi.
Meski begitu Tiara yang melihat pertengkaran kecil itu pun tidak enak. Dia memberikan telur mata sapi itu pada Abi.
“Kakak aja yang makan, aku nggak suka telur mata sapi,” kata Tiara, meski yang sebenarnya dia ingin sekali makan itu.
“Sok banget kalo ngomong.” Citra menggerutu.
Tiara datang ke rumah itu sepuluh tahun yang lalu. Ketika dia berumur lima tahun. Tiara yang masih kecil tidak mengerti apa yang telah terjadi padanya. Yang dia tahu, dia diminta oleh Ardhi untuk memanggilnya ayah sejak malam itu.
Arini menyimpulkan jika Tiara adalah anak Ardhi dari perempuan lain. Namun, Ardhi tidak pernah bilang apa-apa. Karena jika dia ditanya lebih detail mengenain Tiara, dia akan bungkam dan balik marah pada Arini.
Hingga mau tak mau, Arini menerima kehadiran Tiara yang menurutnya sangat mengusiknya.
Membayangkan betapa cantiknya Tiara, Arini selalu berpikir jika simpanan suaminya pasti sangatlah cantik. Hingga mampu menggodanya dan menghasilkan seorang anak gadis secantik Tiara.
Hanya saja, dia heran mengapa suaminya dapat menyimpan rapat-rapat rahasia itu selama lima tahun lebih? Jika membayangkan hal itu, darah di tubuh Arini seperti mendidih.
Di rumah itu, hanya Abi yang bersikap baik pada Tiara. Karena menurutnya, yang membuat kesalahan adalah ayah dan ibu Tiara bukan Tiara. Jika bisa memilih, mungkin Tiara tak ingin terlahir dari rahim seorang ibu yang merebut suami orang lain.
Dan sejak saat itu, Tiara selalu berkecil hati karena beranggapan bahwa ibunya adalah seorang wanita perebut suami orang.
“Bawain tas gue.” Citra melemparkan tasnya kepada Tiara yang sudah keluar dari pintu. Tas Citra cukup berat hingga Tiara hampir kehilangan keseimbangan saat menerima tas Citra.
“Sini, biar kubawa.” Abi tiba-tiba mengambil tas Citra yang ada di dekap Tiara. Lelaki itu langsung berjalan melewatinya setelah tersenyum.
Tiara, Citra dan Abi bersekolah di sekolah yang sama. Hanya saja Abi sekarang sudah kelas tiga SMA sementara Tiara dan Citra di kelas satu SMA.
Mereka berdua selalu berangkat bersama ke sekolah sejak duduk di bangku SD sampai sekarang.
“Kamu dijemput sama temen kamu kan, Cit? Kalau gitu aku berangkat naik motor sama Tiara,” kata Abi.
“Nggak, aku nggak dijemput. Aku hari ini mau berangkat sama kakak aja.”
Citra menoleh ke arah Tiara, menjulurkan lidahnya mengejek Tiara.
“Semalem katanya dijemput temen, gimana sih?”
“Nggak jadi, dia nggak masuk katanya.”
Abi menoleh ke arah Tiara yang masih berdiri di belakang mereka berdua. Dan lagi-lagi dia mengalah dan berkata bahwa dia akan naik ojek online menuju ke sekolah.
“Yakin nggak apa-apa?” tanya Abi memastikan.
“Apaan sih, Kak. Lebay banget, dia kan cuma naik ojek bukan naik rudal!” sembur Citra yang benar-benar tidak menyukai Abi saat lebih perhatian pada Tiara dibanding dirinya.
“Nggak apa-apa, aku bisa pesen ojeknya sekarang, kok.” Tiara menunjukkan ponselnya pada Abi, memastikan bahwa dia baik-baik saja jika berangkat ke sekolah tanpa dirinya.
“Ya udah deh, eh bentar deh.” Abi merogoh ponselnya, melihat jam sudah menunjukkan setengah tujuh kurang sepuluh menit. “Jam segini ojek pasti susah, aku panggilin Cakra dulu.”
Cakra yang rumahnya hanya beda beberapa rumah adalah teman Abi. Dia juga di sekolah yang sama dengan mereka.
Dengan sekali ketukan, Abi menghubungi Cakra dan memintanya untuk berangkat dengan adiknya.
Abi tersenyum seolah mendapatkan hasil yang dia inginkan.
“Si Cakra bentar lagi ke sini, kamu tunggu dia aja ya,” kata Abi.
Tiara mengangguk.
Citra semakin kesal karena Abi. Dia menjengitkan hidungnya karena jengkel setelah itu naik ke atas sepeda motor milik kakaknya.
Tak lama kemudian, usai Abi menghilang dari pandangan Tiara. Cakra muncul dengan motor laki-laki yang jelas membuat Tiara mau tak mau harus memeluk Cakra dari belakang, jika tidak mau tertiup angin di perjalanan.
“Yuk Ra, naik!” Cakra menggedikkan dagunya memberi kode pada Tiara untuk naik ke atas motornya.