My Happy Ending

My Happy Ending

Itsannisa

0

Tepukan meriah langsung menyambut ketika aku dan teman-teman berhasil menyelesaikan rangkaian gerakan cheer dengan sempurna. 

Satu per satu anggota cheer meninggalkan lapangan dengan melambaikan pom-pom. Hari ini kami tampil sebagai pembuka pertandingan final basket antar SMA. 

“Well done, guys! You guys awesome!” kataku ketika kami berangkulan di sisi lapangan untuk merayakan keberhasilan kami. Sebagai leader team, aku sangat puas dengan penampilan hari ini. Tidak sia-sia berlatih berminggu-minggu. 

Pak Hadi, salah satu asisten Papa, mulai membagi-bagikan makanan dan minuman. Beliau hari ini diminta untuk mengirim makanan dan minuman ke sini.

“Dan lo, Ris, keren seperti biasa” aku memberikan pelukan paling lama untuk Siris, sahabatku sejak SMP dan sama-sama merintis menjadi cheerleader dari nol, dari yang nggak tahu apa-apa soal cheer hingga kini kami menjadi pentolan tim cheer sekolah.

“Thanks” jawab Siris lalu menegak habis minumannya. “Berkat kalian juga gue bisa berpose keren di atas”

Siris selalu menjadi flyer karena tubuhnya yang paling ramping dan paling berani untuk diangkat-angkat ke udara. Sementara aku memilih menjadi base karena tidak percaya diri untuk beraksi di atas ketinggian.

“Sedih deh, ini jadi penampilan terakhir” setelah ini aku dan teman-temanku yang kelas XII akan fokus untuk ujian kelulusan, juga persiapan masuk perguruan tinggi. Sekolah tidak memberi kami toleransi untuk main-main. Pilihannya hanya mau main-main terus atau menunda waktu mainnya sebentar untuk masa depan yang cerah.

“Iya, ya, nggak kerasa ya, rasanya baru kemarin kita diomelin kakak kelas gara-gara gerakan kita salah mulu” sambung Selma sambil mencemil makanannya.

“Kalau lo udah lulus, siapa nanti yang bakal kasih makan enak kayak gini lagi?” Anya, adik kelasku memandangku dengan wajah melas.  

Aku terkekeh, “Nanti gue kirim sesekali. Lo juga harus lebih berhasil dari gue”

Dalam rapat dua hari lalu, semua sepakat kalau Anya akan menggantikanku sebagai leader. Diantara yang lain Anya memang yang paling memenuhi syarat untuk menjadi leader. Selain tegas, Anya juga yang paling sering membuat koreografi baru.

“Siap Bos!” jawab Anya sambil mengangkat tangan dengan gerakan hormat. “Jangan kuliah di luar negeri, lo masih harus jadi pembimbing kita”

“Babe …” obrolan terinterupsi ketika Calvin datang dan langsung mencium pucuk kepalaku. “Biar menang”

Sementara teman-temanku bersorak jengah. Mereka sudah bosan dengan sikap Calvin yang suka show off.

Sejujurnya, aku pun tidak suka kalau Calvin mengumbar PDA di sembarang tempat seperti ini. Tapi Calvin is still Calvin yang suka cari perhatian.  

“Good luck” kataku.

Calvin mengusap kepalaku sebelum kembali ke teman-temannya untuk siap-siap bertanding.

“Lo bakal LDR nanti” kata Siris yang duduk di sampingku.

“Ya, mau gimana lagi. Calvin udah fix mau lanjut kuliah di Amerika”

“Lo nggak mau ikut kuliah di sana”

“Gue masih belum siap jauh dari bokap nyokap. Masih satu rumah aja jarang banget bisa kumpul bareng”

“Tapi buat lo gampanglah, bisa nyusul ke Amerika kapan aja. Tinggal sewa jet saja”

“Yeah …” aku tersenyum tipis. 

Sampai hari ini, aku masih tidak nyaman ketika ada orang yang bicara soal privileged yang aku miliki. Sekalipun itu Siris, sahabatku. 

Aku tahu Siris tidak bermaksud seperti itu. Tapi tetap saja itu tidak nyaman. Aku ingin dilihat sebagai Raya yang biasa saja. Raya yang sama seperti mereka. Bukan Raya si pemilik golden spoon yang hanya dengan menjentikkan jari, dia bisa mendapatkan semuanya. 

“Gue ambil tas dulu ya”

Aku menepuk pundak Siris sebelum pergi. 

Ketika sampai di luar GOR, tiba-tiba ada yang menabrakku dari belakang. Aku limbung dan jatuh tersungkur. Lututku menghantam permukaan lantai yang kasar. 

“Awww!!” lututku lecet dan berdarah.

“Sorry!” orang itu tampak tergesa-gesa dan langsung pergi begitu saja. Tapi baru tiga langkah dia berbalik lagi menghampiriku. 

“Non!” Pak Andi, sopirku, langsung menghampiri dan memasang badan di depan orang yang menabrakku tadi. “Siapa lo? Kalau jalan lihat-lihat dong. Tempat sepi gini bisa-bisanya main tabrak orang. Sengaja lo ya?”

“Sorry Pak, saya beneran nggak lihat tadi. Ini saya balik buat bertanggungjawab” 

Orang itu sepertinya sepantaran denganku. Entah masih sekolah atau tidak. Penampilannya seperti berandalan. Jeans belel yang bagian lututnya sobek-sobek dan hoodie hitam dengan bagian belakang bergambar abstrak. 

“Mau bertanggungjawab gimana? Ini kalau sampai Non Raya cedera …”

“Pak …” Aku berusaha bangkit dan menghentikan perdebatan itu, “Saya nggak apa-apa, cuma lecet”

“Ini buat lo” orang itu memberikan plester bergambar kartun – plester anak kecil. “Bersihin dulu lukanya baru diplester”

Aku mengerutkan dahi sebelum berterimakasih.

“Udah pergi sana” kata Pak Udi.

“Tadinya mau gue bantuin tapi gue diusir, ya udah… see you …” dia nyengir, memperlihatkan giginya yang rapi, sebelum kemudian pergi. Berlari ke arah jalan raya dan langsung masuk ke angkot pertama yang melintas di depannya.

“See you, see you … Non Raya udah punya pacar ganteng” teriak Pak Udi.

Aku tertawa. “Pak ada air minum yang belum dipakai di mobil?”

Hanya luka kecil memang. Didiamkan begitu saja nanti juga kering sendiri. Tapi aku pikir nggak ada salahnya mengikuti saran orang asing tadi.