My Handsome Doll

My Handsome Doll

Alea!

4.4

PROLOG

1  D e s e m b e r  2 0 1 9

Mungkin untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku benar-benar tertidur di tempat tidur. Tidak ada laptop dan buku yang berserakan seperti biasa di sana, aku baru ingat bahwa aku sudah menyelesaikan tugas-tugas sialan itu. Aku menggeliat di balik selimut, baiklah... sepuluh menit lagi.

Detik itu, ketika aku berusaha memejamkan mata, mendadak jantungku nyaris berhenti. Dan demi kerang ajaib, aku langsung loncat menjauh.

"PENCURI!!!!!" teriakku histeris. Kutatap galak lelaki yang kini masih berbaring di atas kasur itu, ingatkan aku untuk merutuk karena tadi sempat memeluknya. "Pencuri!!!" Aku kembali berteriak, namun lelaki itu tetap disana. Diam. Menatapku dengan polos.

Aku berdeham. "Pencuri!" seruku, mulai ragu.

Entahlah, semuanya tidak masuk akal. Jika ia pencuri, karena ia repot-repot menyempatkan diri untuk tidur di sampingku? Aku bahkan tidak wangi. Lagipula, apa yang mau ia curi dari seorang mahasiswi kere? Dan, ia bahkan terlihat tidak paham dengan teriak-teriakan yang baru saja aku lontarkan.

"Heh?" Aku memberanikan diri untuk bertanya baik-baik. "Lo siapa? Kenapa tidur di sini? Kapan lo masuk? Kok bisa masuk padahal kan gue udah kunci pintu sama jendelanya. Lo nguntit ya?"

Dia hanya berkedip lugu, sambil perlahan kepalanya bergerak miring. Aku melotot. "Apa lo? Apa lo? Pergi gak pergi, cepetaaaaan!!!??" Meski tidak yakin, namun sepertinya aku mulai mengenali pakaian yang ia gunakan. Begitupun dengan model rambut dan garis-garis wajahnya.

Hey!?

"Pergi kemana?" tanyanya, yang kemudian membuat jantungku terasa mencelus. "Aku..."

Tidak mungkin, kan?

"Kauki," lanjutnya sembari bangun dan duduk dengan kaki menyila.

Jika saja bisa, mungkin rahangku sudah jatuh ke tanah. Ini... Sulit dipercaya. Bagaimana caranya Kauki―boneka yang kubeli tiga hari lalu―berubah jadi manusia?

Dan sialnya, dia sangat tampan.

Freya... kelar hidup lo!

***


1

Setiap hari kesebelas bulan sebelas, umur adikku bertambah satu tahun.

Baiklah, itu bukan info yang penting. Lagi pula, hidup memisahkan diri dari keluarga dan dengan sombongnya tidak mau menerima uang dari mereka membuatku selalu miskin dan bertambah miskin setiap harinya. Jangankan untuk membeli sebiji mainan, untuk makan saja aku sulit. Ini bukan hiperbola, percayalah.

Sepulang kuliah, itu pun jika jadwalnya masih pas, aku terbiasa kerja paruh waktu sebagai kasir di sebuah restoran cepat saji. Tempatnya di pinggir jalan, dekat dengan gedung apartemenku. Apa? Ada yang aneh?

Begini, mungkin aku memang tinggal di apartemen. Namun bukan berarti aku memiliki banyak uang. Apartemenku adalah satu-satunya hal yang kuterima dari Ayah ketika aku memutuskan komunikasi dengannya. Hmm, sebenarnya kami tidak putus komunikasi, hanya saja aku selalu menghindar untuk bertemu. Aku juga selalu menolak pemberian apa pun darinya. Tapi, sih, kadang aku menemukan berkardus-kardus mie instan di depan pintu apartemen, kalau itu aku tidak kembalikan karena... oh ayolah, itu rezeki.

Pada hari ulang tahun adikku, Ayah mengajak bertemu. Namun, lagi-lagi aku menolak. Padahal, aku merindukan adikku. Umurnya sudah 13 tahun, dan aku ingat bagaimana ia masih begitu menyukai trik sulap menyulap.

Sudah dua minggu berlalu, dan aku semakin merasa bersalah. Aku seharusnya datang di acara ulang tahun itu. Minimal mengucapkan selamat dan memencet hidungnya, karena bagaimana pun adikku tetaplah adikku. Maka dari itu, hari ini aku putuskan untuk membelikannya hadiah, dan memikirkan kapan baiknya aku pulang ke rumah.

Aku membereskan buku-buku di depan wajahku, lalu bergegas pergi ketika anak-anak di belakang mulai membicarakanku lagi.

"Frey, tugas yang kemaren thanks, ya." Aku tidak tahu siapa yang bicara, tapi aku mengangguk saja. Pasti itu salah satu dari anggota kelompokku yang tidak ikut kumpul beberapa hari lalu.

"Sorry, kemaren kita gak bantuin. Lagian, lo nya sendiri yang..." Itu suara yang berbeda, jadi aku menoleh untuk melihat wajahnya. "Sok rajin banget." Ia melanjutkan.

Tarik napas, buang. Hah, begini lagi.

Aku tersenyum. "Makasih, karena ke-sok-rajinan gue tugasnya jadi selesai tepat waktu, kan?" Aku berlalu meninggalkan dua temanku―hm, kurasa kita tidak berteman―dengan jengah, pasti mereka sedang nyinyir sekarang. Dasar tidak tahu terimakasih. Aku mengerjakan tugas kelompok itu sendiri, dengan susah payah, dan apa yang kudapat? Lain kali, jika seperti ini lagi, akan kuadukan mereka ke dosen.

Aku tidak tahu apa yang salah dariku, selain memisahkan diri dari orang tua karena tidak suka dengan keberadaan Ibu baru dan saudari tiri, juga karena aku bekerja paruh waktu untuk bertahan hidup, selebihnya kupikir aku normal. Namun, teman-teman―ah, bahkan kami tidak berteman, bagaimana cara menyebut mereka? Baiklah, orang-orang satu jurusan denganku senang sekali mengasingkan aku.

Jika bukan karena tugas kelompok, mereka tidak akan mau berbicara denganku. Katanya... Freya, yang sok pinter itu, atau... Freya, si sotoy kesayangan dosen. Bukankah, jika aku pintar seperti anggapan mereka, mereka mau berteman denganku? Kok, malah menjauhi murid kesayangan dosen ini? Terserahlah, aku mulai keki.

Selama berjalan, aku menghitung-hitung berapa banyak uang yang kumiliki untuk membeli hadiah. Jika aku harus kelaparan sampai besok hanya karena hadiah ini, mungkin aku akan berpikir ulang.

Mataku membaca rangkaian huruf yang menghiasi atas pintu sebuah bangunan kuno. Bahkan aksen meriah yang hendak mereka tampilkan terlihat begitu kuno dan kusam, aku sampai merinding. Toko mainan tua ini adalah satu-satunya toko mainan yang menjual alat-alat sulap sejak dulu, dan satu-satunya toko mainan yang menjual barang dengan harga miring kalau harus kuperjelas.

Denting bel menghiasi pendengaranku kala membuka pintu, aku mengigit bibir, apakah toko ini masih buka? Apakah, toko ini masih bisa disebut toko?

"Permisi?" Aku berderap ke arah meja kasir.

Seseorang muncul dari balik meja besar berwarna merah marun itu. Seorang kakek berpenampilan rapi dengan dasi kupu-kupu hitam tersenyum ramah menyambutku.

"Cari apa, Nona?" tanyanya. Oh ya ampun, sapaannya terdengar kuno―serupa dengan tokonya. Tapi entah kenapa, ada aura hangat dalam toko ini, dan pada sosok kakek di hadapanku. Sewaktu kecil, Ayah sering membacakan dongeng untukku sebelum tidur, meski aku tidak terlalu menyukai cerita khayalan seperti putri duyung maupun penyihir, aku tahu bagaimana serunya dunia fantasi. Rasanya nyaris seperti itu ketika aku melihat ke dalam mata berlensa biru keburaman milik kakek ini.

Aku mengernyit bingung. "Ada permainan buat sulap atau semacamnya?" Melihat ekspresi si kakek, aku harus bersiap untuk kemungkinan terburuk. Mungkin, memberi hadiah monopoli juga cukup baik.

Jari telunjuk si kakek mengudara, mengarah pada sebuah lorong yang pinggirnya tersusun dari tumpukan boneka-boneka kayu. "Di sana." Suaranya parau, tapi mendapati senyumnya yang ramah membuatku yakin ia serius.

Aku mengangguk canggung sebelum berjalan ke sana, melewati boneka-boneka kayu yang sedikit menakutkan. Sejak dulu, aku tak terlalu menyukai boneka apalagi yang berbentuk nyaris seperti manusia sungguhan seperti ini. Bagaimana kalau mereka sebenarnya mengawasimu? Ah, oke, berhenti di sana.

Dan aku menemukan kotak itu.

Sebuah kotak persegi panjang, berwarna ungu gelap, tetap terlihat seperti permainan monopoli untukku. Aku membaca judulnya singkat, tidak menarik. Hanya memberitahu bahwa itu adalah permainan magic. Kulirik label harganya, masih ramah untuk dompet tipisku.

Aku memeluk kotak tersebut, hingga langkah kakiku terhenti karena sebuah boneka.

Aku... menginjaknya.

Kutatap wajah boneka itu, boneka yang tampan. Sebelah tanganku terulur untuk meraihnya, merasakan badannya yang terbuat dari... bahan apa ya ini? Tidak seperti kayu. Dengan hati-hati, kutaruh lagi boneka tersebut ke dalam raknya. Aku mendadak kepikiran Annabelle, boneka itu sedikit mirip dengannya. Hanya saja, ia laki-laki. Dan lumayan tampan―atau mungkin sangat tampan.

Baru beberapa langkah berjalan, aku memutuskan untuk mundur. Kuraba wajah boneka itu, dan entah apa yang ada di otakku, aku membawanya pulang.

Mungkin, boneka ini bisa menjadi teman.

***

Di luar dugaanku, hari yang sial ini terus berkembang. Selain karena tugas kuliah menggunung yang belum sempat kusentuh sampai lupa mengumpulkan, dompet yang ketinggalan di apartemen sehingga aku tidak bisa membeli sebutir permen pun, juga pertemuan singkat dengan―garis bawahi―mantan sahabat yang kini terang-terangan menganggapku sebagai musuhnya.

Dulu, kami sangat dekat. Orangtua kami berteman. Karena dia tidak punya adik, seringkali aku membiarkan dia menganggap adikku sebagai adiknya juga. Keputusan yang salah, karena mungkin sekarang adikku lebih menyayangi dia ketimbang aku. Sudahlah, jika ingat itu aku jadi menyesal telah membeli hadiah dan berniat pulang.

Aku membuka pintu apartemen dengan malas, lalu berjalan masuk masih sambil bersungut-sungut.

"Gila, lapar banget." Membuka kulkas, namun tidak menemukan apapun selain berbotol-botol air putih yang kumasak sendiri. "Apa nggak ada gitu benda yang bisa bikin makanan enak tapi bahan dasarnya pake air doang?"

Selama tinggal sendirian seperti ini, aku memang sering bicara sendiri juga. Ya, memangnya kenapa? Toh hanya aku yang mendengar.

"Halo, Kauki." Boneka yang kubeli bersama dengan sekotak permainan magic itu tampak menggemaskan duduk di sisi tempat tidur. Ternyata benar, ia bisa menjadi teman. Hm, mungkin aku terlalu kesepian sampai menjadikan boneka sebagai tempat curhat. "Pasti enak jadi boneka, nggak merasa lapar, nggak merasa putus asa kalau nggak punya duit."

Aku bergerak untuk mengganti baju. "Tahu gak, tahu gak? Tadi gue ketemu Ariel, terus dia malah mendelik gitu coba. Iwh, emangnya dia pikir dia siapa?" Masih sambil sibuk menanggalkan celana, aku mendekati Kauki. "Perasaan gue yang harusnya marah, kok malah jadi dia yang musuhin gue?"

Mata Kauki berkilau, seolah ingin merespon ocehanku. Iya, mungkin, ia muak mendengar segala omelanku yang sangat tidak bermutu ini. Namun, bukankah aku membelinya memang untuk menjadi tong sampah?

Kutatap dia, tajam. "Lapar banget. Harusnya kemarin gue gak beli lo, lihat sekarang gue gak punya duit." Aku menjitak kepalanya dengan emosi. Apa yang harus aku lakukan untuk mengenyahkan rasa lapar ini? Sementara tugas-tugasku harus diselesaikan, tapi aku tidak bisa berpikir jika perutku terus meronta-ronta ingin diisi.

Baiklah, Freya. Apa yang bisa dijual? Apa ada yang bisa dijual? Tubuh? Ah, tidak terimakasih. Aku ingin masih suci ketika menikah nanti.

Kuputuskan untuk menggadaikan satu-satunya perhiasan yang masih tersisa. Sebuah kalung. Jika aku tidak melakukan ini, aku bisa mati kelaparan karena uang yang tersisa di dompet ternyata tinggal dua ribu.

Miris, bukan? Nanti, aku akan menebusnya lagi, aku janji.

***

Menjelang tengah malam, berbekal mi instan dalam cup dan secangkir air putih dingin, aku akhirnya menyelesaikan tugas-tugasku. Rasanya lega, tapi masih sedikit dongkol. Kalau saja, kalau saja... aku tidak membeli Kauki, aku tidak akan sampai menggadaikan kalung Bunda hanya untuk membeli satu cup mi.

Kuambil boneka itu, lalu memandang dalam matanya yang berwarna coklat. "Gara-gara lo!" Aku terlalu lelah untuk melanjutkan marah-marah. "Untung ganteng, kalau nggak udah gue jual lagi." Aku melemparnya ke tempat tidur, lalu berjalan gontai ke arah kotak persegi panjang di atas meja rias.

Permainan magic.

Perlahan, kubuka kotak tersebut. Adikku pasti akan marah jika tahu aku sudah mengambil keperawanan mainannya. Ah, apa peduliku?

Aku mengernyit, ternyata isi kotak ini cukup banyak. Bola-bola kecil, sebuah tongkat, sapu tangan, buku mantra, well... harus aku akui isinya cukup menarik. Hingga aku menemukan sebuah kartu, dan aku membaca kalimat yang tertulis di sana.

"Seratus tahun untuk sepuluh kotak. Sepuluh kotak untuk satu kartu. Satu kartu untuk sebuah permintaan." Hah? Aku kembali mengernyit. "Apa yang paling kamu inginkan?" Kartu itu diakhiri dengan sebuah pertanyaan. Aku bingung, kenapa kartu ini ingin tahu apa yang aku inginkan?

Namun, melihat sebuah tulisan kecil di ujung kartu yang berkata 'hanya sementara' lagi-lagi membuatku bingung, mungkin si pembuat permainan ingin orang-orang yang membaca kartunya percaya bahwa ini sungguh permainan magic.

Aku mendecih, mencoba sedikit tidak ada salahnya.

"Tuh... boneka itu," Jari telunjukku mengarah pada Kauki. "Bikin dia jadi manusia, biar tahu gimana rasanya lapar terus gak punya duit." Aku tertawa keras, sebuah lelucon yang buruk. Selera humorku memang sudah tidak tertolong lagi.

Setelah menunggu beberapa jenak―tadinya, aku mengharapkan peri kecil akan datang sungguhan―namun tak ada apapun yang terjadi, aku buru-buru memukul kepala untuk menyadarkan diri. Besok, atau besoknya lagi, jika kotak itu masih ada di sini, mungkin aku bisa benar-benar gila.

Aku mengambil selimut, menutup mata, dan tidur. Ini malam yang panjang.

Yang aku tidak tahu, semalaman itu, sebuah keajaiban bekerja. Sebuah keajaiban yang menghampiri hidupku, telah dimulai.

***