Jemput
Kesal. Dua jam lebih menunggu, Reno tak juga datang menjemput. Akhirnya, kutelepon dia.
"Reno, apa-apaan kamu! Pacarmu ini udah nunggu dua jam lebih di halte dekat kuburan!"
Terdengar napas tertahan. Reno berbisik, "Tapi Lina, aku sudah datang dan menjemputmu. Kamu langsung turun dan menghilang begitu sampai di gang depan rumahmu."
#indonesianwriterszone
#IWZ_reguler
#belajarbarengIWZ
Pulang - Langit Renjani
Aku bisa mencium aroma garam saat telapak kakiku menginjak hamparan pasir yang lembut.
Di sini, kita akan bertemu lagi.
Segera.
Tanganku memungut sebongkah kulit kerang, kudekatkan pada telinga. Suaramu terdengar dari dalam lubang di balik lekukan kulit kerang. Merdu, memanggilku.
"Mau ke mana, Le? Kalau mau lihat bagaimana nelayan mencari ikan, ikut saja di perahuku," ujar seorang bapak nelayan menegurku. Dia memasukkan jaring dan perlengkapan ke dalam perahu kayu di dekatnya.
Aku tersenyum dan menolak ajakannya sehalus mungkin. Mencari ikan? Tidak, bukan ikan yang kucari, melainkan dirimu.
Hanya dirimu.
Angin yang mengacak-acak rambutku yang mulai memanjang melewati pundak. Persis seperti yang kamu lakukan saat mengomeli rambut panjangku yang tak kunjung dipotong.
Dalam suara debur ombak di kejauhan, aku mendengar suara omelanmu yang kurindukan.
Tunggu, Sayang.
Aku datang.
Kakiku mulai basah menerjang arus. Perlahan-lahan makin dekat aku melangkah mendekatimu. Tubuhku terasa ringan, melayang, mengalun mengikuti riak air.
Suara-suara yang memanggilku, apakah itu kamu?
Tunggulah, Sayang.
Aku pulang.
Kupejamkan mata dan kubiarkan gelombang menghanyutkanku.
Kembali padamu.
#ChallengeIWZ
#BelajarBarengIWZ
Tangkap! - Langit Renjani
"Tangkap bocah pencuri itu!" teriak Si Tua pemilik kedai minum, sambil mengacungkan jarinya ke arah Al.
Secepat kilat, Al naik ke atas kursi kedai, menghindari sergapan Si Tua. Kemudian dia naik ke atas meja, lalu melompat, tangannya menggapai rangka kayu pada atap kedai, bergelantungan di sana.
"Awas kau, Bocah Sial!" umpat Si Tua, terengah-engah, susah payah naik ke atas meja.
Al mengayunkan tubuh, meraih satu demi satu kayu yang terpasang melintang di langit-langit kedai dengan kedua tangannya. Sampai akhirnya, Al tiba di atas pintu masuk kedai, dia melompat turun.
"Hore!" teriak Al, membuka pintu kedai, lalu bergegas ke luar.
#GamesIWZ
#BelajarBarengIWZ
#indonesianwriterszone
SEBLAK PEDAS
Oleh Langit Renjani
Siti menyipitkan mata, berusaha meraba pemandangan di hadapannya dalam cahaya remang-remang lampu pasar malam.
Postur Tarno, lelaki yang seminggu ini menghabiskan banyak waktu di ranjangnya, sudah terekam baik dalam ingatan Siti. Di samping wahana bianglala, tampak punggung tegap kekasihnya membungkuk saat berbicara dengan seorang perempuan. Tarno masih mengenakan jaket yang disetrikanya tadi pagi. Jaket yang sama, yang dilepaskan Siti dengan tergesa-gesa semalam. Siti mendesah. Seandainya tidak harus mengejar setoran jualan seblak, malam ini pasti bakal sepanas malam-malam sebelumnya bersama Tarno.
‘Mungkin, aku punya kesempatan berduaan dengannya kalau dia mau menemaniku’, pikir Siti sambil bersiap memanggil Tarno. Namun sial buatnya, serombongan anak muda keburu datang mendekat.
"Seblaknya lima, Teh! Pedas level sepuluh!" tukas salah satu dari mereka.
Siti mengurungkan niat memanggil Tarno, lalu mulai menyiapkan pesanan lima mangkok seblak pedas. Namun, diam-diam Siti masih mencuri-curi pandang ke arah Tarno. Entah kenapa Tarno dan teman perempuannya masih betah berdiri dekat-dekat. Siti jadi gelisah. Untunglah, kedua tangannya sudah terbiasa meracik seblak tanpa perlu berpikir. Lima mangkok seblak sudah siap tersaji, tinggal ditambahkan cabe level sepuluh.
Tangan Siti masih meraih botol cabe ketika matanya menangkap gerakan tidak biasa dari di kejauhan. Tarno merengkuh pundak perempuan itu! Serasa putus tali jantung Siti. Apalagi Tarno dan perempuan itu makin saling mendekat. Bahkan nyaris belit membelit kayak cecak kawin. Padahal baru kemarin Tarno janji mau melamarnya bulan depan. Dada Siti terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk. Pandangan matanya mulai kabur ketika kedua sosok itu saling berpagutan.
“Teh, seblaknya udah? Loh, kok sampe nangis gitu, Teh? Kepedesan?”
Bibir Siti bergetar saat dia mencoba tersenyum dan menjawab, “Iya, cabenya masuk ke mata.”