
"Oke, sekarang kasih tau satu alasan kamu ngelakuin ini?"
Mata Jefran memancarkan rasa bersalah yang amat dalam. Harusnya ia bisa mengontrol diri pada saat itu. "Sorry, Meit."
Meitha berdecih, melipat kedua tangannya di dada. Darahnya seolah mendidih hingga kepala. Pusing. Kehidupan pernikahannya akan hancur seperti ini. "Jef, aku sangka ... just you and me di sini itu udah cukup. Ternyata kamu mau lebih?" Setetes air bening itu jatuh begitu saja, suaranya mulai bergetar.
"Sorry." Hanya itu kesimpulan yang keluar dari mulut Jefran selama lebih 30 menit perdebatan mereka.
"Ternyata benar ya, satu wanita nggak akan pernah cukup untuk laki-laki seperti kamu."
"Meit, ini semua kesalahan. Aku sama sekali nggak ada niatan untuk ngelakuin hal gila ini di belakang kamu. Aku cukup puas dengan kamu ... dengan kita."
Tidak. Meitha tidak percaya. Kalau Jefran puas dengan dirinya, alasan apa yang ia gunakan untuk berselingkuh dan melakukan hal itu di belakangnya? Alasan apa?
"Nggak. Bullshit! Semua yang keluar dari mulut kamu sekarang cuma kebohongan."
"Kasih aku kesempatan. Aku bakalan buktiin kalau ini semua bukan kemauanku."
"Iya, bukan kemauan kamu. Tapi, nafsu kamu? Iyakan!"
"Meitha!"
Meitha mundur beberapa langkah, kakinya benar-benar seolah tidak punya tenaga untuk menopang dirinya. "Meit, denger. I love you, aku bener-bener sayang sama kamu. Ini terjadi di luar kendali aku, Meit."
"Di luar kendali? Oh ya? Tidur dengan perempuan lain, di luar kendali kamu?" Meitha tertawa miris. Tawa yang terdengar seperti rintihan kesakitan.
Jefran berjalan mendekat, ia ingin mendekap Meitha. Namun, wanita itu enggan berada di dekatnya.
"Meit, ini semua nggak seperti yang ada dipikiran kamu?"
"Oh ya? Terus pesan itu apa, Jef? APA!" Meitha sudah tidak bisa lagi menahan air matanya, pipinya sudah basah sejak tadi. Deru napasnya tidak beraturan. Debar yang biasanya menyenangkan, kini berubah menjadi sangat menyakitkan. "Kamu cuma anggap pernikahan ini lelucon, kan, Jef? Harusnya kita bisa akhiri secara baik-baik. Mungkin bagi kamu, hubungan kita memang nggak bernilai sama sekali. Cuma aku yang terlalu berharap lebih sama kamu. Harusnya dari awal aku tahu, kamu nggak benar-benar serius soal hubungan ini. Hausnya aku sadar dari awal."
Jefran mengacak rambutnya frustasi. Ia bingung harus mengatakan apa lagi.
"Aku kira, permasalahan dalam hubungan kita bisa diatasi malam ini. Ternyata ini akhirnya."
"Meit, denger. Aku sama sekali nggak ada niatan untuk selingkuh dari kamu. Atau apa pun itu, aku nggak mau mengakhiri apa pun."
"Jef, kamu pikir aku tolol?"
"Meit, aku cuma butuh kamu percaya."
"Percaya kalau kamu baru aja tidur dengan perempuan lain? Iya?"
Meitha terduduk lemas di lantai saat mengatakan itu. Dirinya benar-benar hancur. Ia pikir dengan resign dan hanya fokus pada Jefran akan memperbaiki hubungan mereka, paling tidak mengembalikan keharmonisan dalam rumah tangganya. Keputusan itu malah membuat Meitha seperti wanita bodoh sekarang.
Ia tidak tahu letak kekurangannya untuk Jefran Aldi Pratama—laki-laki yang berhasil membuat ayah percaya untuk menikahi putri kecilnya. Endingnya? Haha. Sudah jelas ini akhir dari semuanya.
Malam itu, setelah perdebatan hebat. Jefran pergi dari rumah. Lebih tepatnya, Meitha yang mengatakan tidak ingin melihat laki-laki itu dulu.
Kalau saja ia bisa mengulang waktu, harusnya Meitha tidak mengecek ponsel Jefran malam itu. Harusnya ia percaya saja dengan semua omongan yang keluar dari mulutnya. Harusnya ... ia tahu akhir seperti apa yang ia dapat jika berhubungan dengan Jefran.
Meitha menatap foto pernikahan di tengah ruang. Di sana Jefran tersenyum lebar sambil memeluknya. Usia pernikahan mereka memang masih seumur jagung, tapi semua pahitnya seperti sudah Meitha rasa. Mulai dari perdebatan kecil sampai yang besar. Hal yang sering menjadi perdebatan adalah ... Meitha yang terlalu sibuk bekerja dan Jefran yang selalu ingin disambut tiap kali pulang ke rumah. Jefran hanya ingin Meitha hanya fokus padanya.
Tapi, kali ini ... di saat Meitha sudah memilih untuk menjadi istri yang seperti Jefran mau. Semuanya malah semakin kacau berantakan.
Meitha menatap meja makan di rumahnya yang penuh dengan berbagai hidangan. Malam ini, harusnya menjadi hari perayaan pernikahan mereka yang kedua. Meitha juga sudah siap jika Jefran ingin punya anak darinya. Tapi, semuanya kembali sia-sia. Mimpi ingin menghabiskan hari tua bersama telah sirna. Tidak ada kata kita lagi dalam rumah ini. Semuanya hambar. Semuanya menyesakkan.
Meitha benci pada Jefran yang gampang berubah. Meitha benci pada sikap Jefran yang seenaknya. Meitha benci semua hal tentang laki-laki itu. Sungguh.
***
Sebulan setelah perdebatan itu, Jefran sama sekali tidak pulang ke rumah. Meitha juga tidak mencari keberadaannya. Ia sedang mencoba terbiasa untuk hidup sendiri, dan melakukan semua hal tanpa ada Jefran di sisinya.
Kegiatannya masih sama, bangun pagi untuk menyiapkan sarapan. Berbenah apa saja untuk melupakan semua hal tentang Jefran. Ia tidak ingin pikirannya penuh dengan laki-laki itu.
Semua kenangan di rumah ini perlahan Meitha singkirkan. Foto, lukisan, apa pun hal yang menyangkut dirinya dan Jefran sudah Meitha hilangkan.
Awalnya memang terasa kosong dan kaku, tapi perlahan Meitha bisa merasakan kedamaian. Kedamaian yang tidak pernah ia dapatkan selama ini.
Harusnya dari awal Meitha tahu, pengertian hubungan yang ada di kepala Jefran dan di kepalanya itu berbeda. Cukup mudah bagi Jefran untuk menyingkirkan perempuan yang tidak lagi menarik di matanya. Mungkin sekarang, hal itu yang ada di kepala Jefran. Meitha sudah tidak menarik lagi.
Laki-laki yang saat datang kekehidupannya penuh wibawa dan kepercayaan diri itu seolah lenyap tak bersisa. Jefran yang selalu ingin dimanja. Jefran yang selalu mengatakan hanya butuh Meitha di sisinya sudah hilang sejak lama.
Sekarang semuanya kosong. Hanya ada Meitha dan dirinya sendiri di sini. Hanya ada Meitha dan luka di hatinya.
Ting!
Meitha menoleh, kesadarannya kembali saat mendengar bel rumah yang berbunyi nyaring. Ia menghela napas sebentar. Dirinya sudah siap untuk hal pahit apa pun lagi ke depannya. Dirinya mungkin juga siap jika di balik pintu itu, Jefran datang dan meminta maaf untuk kesekian kalinya.
Meitha berjalan menuju pintu, ia sudah menyiapkan resiko apa pun. Apa pun akhir dari pernikahan ini.
Saat membuka pintu, seorang perempuan dengan rok hitam selutut berdiri di sana.
"Selamat siang, Bu," sapa wanita itu.
"Ya?"
Wajah wanita itu agak ragu. Lalu katanya, "Saya sekretarisnya pak Jefran. Bapak meminta untuk mengambil beberapa barangnya yang tertinggal, Bu."
Kali ini Meitha tersenyum getir, kalau saja Jefran yang ada di depannya. Meitha pastikan ia mungkin akan kembali terpesona dengan laki-laki itu. Tapi, melihat bagaimana sikap Jefran sekarang, Meitha seolah tahu apa yang harus ia lakukan.
"Oh, silakan. Ambil saja. Apa perlu saya ambilkan?"
"Boleh, Bu."
Hari itu, Meitha masih cukup berbaik hati dengan memasukkan beberapa pakaian Jefran. Ia juga memasukkan berkas-berkas yang mungkin Jefran butuhkan. Mungkin ini hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk laki-laki itu.
Meitha menatap nakas yang ada di samping kasurnya. Ia menatap beberapa obat yang sering Jefran minum. Ia mengambil benda itu dan memasukkannya ke dalam tas.
Sekarang, lemari pakaian itu benar-benar terasa hampa. Bagian milik Jefran sudah tidak ada. Meitha menghela napas panjang, ia segera keluar dari kamar dan menyerahkan barang milik Jefran pada wanita suruhannya.
"Ini sudah semuanya," kata Meitha pelan.
Wanita itu tersenyum canggung. Ia mengambil tas di tangan Meitha dengan sopan. "Kalau begitu, saya permisi dulu, Bu."
Meitha mengangguk pelan. Mungkin ia juga harus pergi dari rumah ini?