Kupikir melahirkan itu hanya sekedar mengatur napas dan mengejan seperti yang selama ini kupelajari di kelas senam ibu hamil namun kenyataannya praktik tidak semudah teori. Aku merasa hampir mati. Bukannya lebay atau terlalu melebih-lebihkan tapi aku benar-benar berada dalam kondisi nyeri yang belum pernah kurasakan di sepanjang 30 tahun hidupku.
Kalian pernah mendengar klaim bahwa rasa sakit saat melahirkan sebanyak 57 del atau setara 20 tulang patah bersamaan, bukan? Meskipun pada akhirnya para Dokter dan bidan sama-sama membantahnya karena menurutnya satuan yang dikembangkan untuk mengukur rasa sakit adalah dolorimeter bukannya del.
TAPI, SERIUS! AKU BENAR-BENAR MERASAKAN BADANKU REMUK SEOLAH BARU SAJA DITABRAK MOTOR SEIN KANAN LALU BELOK KIRI!
Dan lebih parahnya ini berlangsung selama berjam-jam sampai akhirnya aku bisa mendengar tangis OEK OEK dari makhluk titipan Tuhan yang bertumbuh di perutku selama sembilan bulan.
***
Jika aku tidak salah mengingat, rangkaian drama persalinan ini dimulai hampir 33 jam yang lalu. Di saat aku terbangun karena perut melilit di tengah malam.
Setelah melewati fase otot kaki tertarik –yang mulai rutin kualami dari trimester ketiga kehamilan- aku beranjak susah payah ke kamar mandi. Sempat terlintas keinginan untuk mencubit bokong bahenol suamiku yang tertidur lelap hingga mengeluarkan nada-nada merdunya aka ngorok meskipun pada akhirnya kuurungkan niat baikku. Toh, kasihan juga karena besok dia masih harus bekerja.
Tapi anehnya, rasa mulas itu menguap begitu saja setelah aku duduk di atas kloset. Membuatku sedikit keki karena tidak mudah menggerakan badanku yang bobotnya melonjak nyaris 25 kilogram sejak pertama mengetahui ada janin sebesar kacang hijau yang menjadi alasan utama kenapa aku terus memuntahkan semua makanan maupun minuman yang kutelan. Duh, memang dasar aku yang terlalu naïf, berpikir sedang keracunan susu kemasan basi di kulkas padahal nyatanya sedang hamil.
Oke, kembali pada persoalan.
Salahkan kenaifanku –lagi- yang merasa sakit perut ini sudah tuntas tas tas. Dengan angkuhnya aku kembali berbaring di samping lelaki berpostur 185 sentimeter yang sudah mengucapkan janji untuk sehidup semati denganku.
Tidak, jangan berpikir ada adegan romantis nan panas ala kecup mengecup ataupun bergulat di ranjang sampai peluh membasahi seperti lagu Pillow Talk nya Zayn Malik.
Karena apa? Biar kubeberkan alasannya.
Pertama, ini sudah jam setengah dua pagi yang mana artinya suamiku benar-benar sedang berada di alam mimpi yang bahkan gempa bumi pun tak akan sanggup menggoncangnya.
Kedua, apa kalian pikir bercinta dengan perut menggelembung sebesar semangka super itu mudah dan menyenangkan? Hohoho, tentu tidak saudara-saudara, itu semua perlu perjuangan ekstra.
Dan terakhir, jika kalian beranggapan letupan cinta dalam pernikahan dengan berpacaran akan sama hangat dan menggebu-gebu, aku jamin dalam tiga bulan kalian akan sibuk mengurus surat perceraian.
Jadi, kusarankan pada kalian, jangan pernah sekalipun membayangkan kehidupan pernikahan bak novel romansa yang endingnya happily ever after deh. Masih bisa menahan emosi waktu suami taruh handuk basah di kasur saja sudah pencapaian yang sangat luar biasa ibarat dapat poin 100 waktu main game flappy bird.
Mengerti sekarang?
Aduh, sial. Perutku melilit lagi padahal belum satu jam aku mencoba memejamkan mata.
Kali ini, bagaikan Lala yang over dosis tubby toast aku menyeret badanku untuk kembali bersemayam di kamar mandi namun sampai setengah jam aku termenung dengan ponsel di tangan, tidak jua ada yang terbuang.
Dan saat rasa mulas itu terus berlanjut sampai ayam berkokok dan suara TING TING TING tukang bubur andalan sarapan pagi ibu-ibu di komplekku lewat, aku menyadari ada yang tidak beres.
***
Ada sebuah paribahasa malu bertanya, sesat di jalan.
Jadi, aku yang baru saja menjalani kehamilan pertama dan tentu masih minim pengalaman memutuskan untuk berkonsultasi kepada para suhu yakni Mama dan juga Mama mertua. Dan kesimpulannya –meskipun aku bersikukuh bahwa HPL ku jatuh sekitar tiga minggu lagi- apa yang kualami adalah kontraksi. Apalagi dengan interval satu jam sejak semalam, bisa jadi ini adalah upaya anakku menyundul-nyundul mencari jalan lahir karena ingin segera melihat dunia yang tidak terlalu indah ini.
Akhirnya atas dasar desakan suami –yang sudah negative thinking duluan mendengar obrolan para wanita- kami berinisiatif untuk check up. Setelah dia minta ijin ke perusahaan dengan dalih menemani istri tercinta yang kemungkinan besar akan melahirkan, pergilah kami ke salah satu Rumah Sakit swasta di kawasan Kemayoran.
Sayangnya, niat hati hanya ingin periksa ke Dokter Kandungan, aku malah berakhir ditempatkan di ruang bersalin.
“Sudah bukaan satu ya, Bu. Ditunggu saja Dokternya sebentar lagi datang.”
Begitu kira-kira kata Suster yang mengecek organ intimku.
Dan lagi-lagi kenaifanku membawa bencana. Kata sebentar yang ia ucapkan ternyata memiliki makna berbeda dengan yang ada di benakku. Pak Dokter yang kupercayakan menangani si jabang bayi dalam perutku baru muncul pukul dua belas malam. Artinya aku sudah menahan perih –mirip sakit maag akut atau mungkin usus buntu- sembari berbaring di stretcher selama hampir 14 jam ditemani rintihan dan erangan para ibu-ibu di ruangan sebelah yang sepertinya juga sedang mengalami kontraksi sepertiku.
Buju buset, ini Dokter mau saingan sama Cinderella yang kehilangan sihir Ibu Peri di tengah malam gitu?
Oke, lupakan.
Setelah memeriksaku kurang dari lima menit dia menawarkan sebuah pilihan yang menggiurkan. Induksi infus. Katanya untuk memicu bukaanku yang tidak naik signifikan sedari tadi pagi juga mempercepat proses persalinan.
“Diskusi dulu saja sama Bapaknya, Bu. Nanti dikabari saja susternya kalau mau.”
Adalah kalimat pembuka perdebatan di antara aku dan suamiku.
Pria tinggi berotot yang sama sekali tidak merasakan sakitnya kontraksi ini bersikukuh untuk membiarkanku merasakan nyeri -yang tidak teruraikan dengan kata kata- sampai bayi kami keluar dengan sendirinya dari dalam ketuban sedangkan aku yang sudah tidak sanggup menahan rasa sakit sesakit sakitnya yang menyerbu setiap setengah jam sekali berpendapat bahwa induksi infus tidaklah buruk dan tidak mungkin berpotensi membahayakan nyawaku.
Untungnya setelah perbincangan alot diiringi rintihan plus tubuh bergetar menahan perih, ia menginjinkanku memakai induksi infus. Yang mana ternyata semakin membuat interval kontraksiku datang per sepuluh menit dengan rasa sakit yang tidak akan pernah kamu bayangkan kecuali kamu pernah mengalami persalinan.
Dan akhirnya di pagi hari, berbarengan dengan jam masuk anak sekolah. Dalam tiga kali tarikan napas panjang dan selang oksigen di hidung, jerit tangis makhluk kecil berbobot 3,6 kilogram itu memenuhi ruangan putih yang dipenuhi raut lega para tenaga medis berpakaian biru.
Anak pertamaku terlahir ke dunia.
My dear Raphael.
***