Alsa Mikhaella merupakan seorang gadis berusia 17 tahun yang mempunyai keluarga tidak miskin ataupun kaya raya. Ia harus meninggalkan kota kelahirannya karena pekerjaan ayahnya. Karena tempat tinggalnya pindah, tentu saja sekolahnya pun harus pindah pada kelas XI.
Karakternya mudah di dekati dan ceria. Tidak bisa di sebut bar-bar, tidak juga pendiam, tidak badas ataupun tidak juga polos dan naif. Sikapnya terkadang cupu dan terkadang suhu.
Dia juga bukanlah anak broken home, keluarganya biasa saja dalam menyikapi masing-masing. Tidak ada masalah berat apapun. Kehidupannya tidak berat ataupun ringan.
Alsa mempunyai adik laki-laki yang berbeda dua tahun dengannya. Tiada hari tanpa pertengkaran atau perdebatan setiap harinya dengan adiknya itu. Ibunya bekerja sebagai ibu rumah tangga, dan ayahnya mempunyai sebuah proyek sendiri yang mencukupi kehidupan keluarga mereka.
Walaupun merasa sangat sedih karena harus meninggalkan kota tempat kelahirannya serta sahabat-sahabatnya di sekolahnya, Alsa juga merasa semangat dan penasaran dengan kota dan sekolah barunya.
Di perjalanan menuju kota barunya--Jakarta, Alsa bertanya. "Bu, nanti kalo Alsa sekolah di sana, gimana kalo Alsa di bully?"
"Ya ... gak gimana-gimana." Jawaban acuh tak acuh ibunya membuat Alsa jengkel.
"Ni muka pantes banget di bully. Setiap gue liat, pengen banget gaplok rasanya."
Celetukan seorang remaja lelaki sembari menunjuk wajahnya membuat Alsa langsung memukul belakang kepalanya. "Adek laknat!"
"Aw!" ringisnya. Lalu ia mengadu kepada ibunya yang duduk di co-pilot. "Bu! Kakak mukul kepala Rehan lagi!"
Dira melirik mereka sekilas dan mengangkat bahu cuek.
Melihat itu, Alsa tertawa mengejek. "Huh! Dasar manja! Ngadu aja teroos! Malu dong udah gede!"
Rehan menggeram kesal. Lalu menatap ayahnya yang tengah mengemudi berniat mengadu. "Ayah! Kak--"
"Diam, Rehan. Dan kamu Alsa, jangan mengejek adik kamu." Suara tegas pria yang tengah menyupir membuat kedua adik-kakak itu langsung terdiam.
Rehan mengembungkan pipinya dan melirik cemberut kakaknya. Begitu pula Alsa yang mencibir sinis.
Rehan menatapnya seakan berkata, 'Awas aja nanti!'
Alsa mengangkat dagu arogan menantang. Setelahnya, keduanya memalingkan muka bersamaan.
Mobil menjadi hening dengan hanya deru laju mobil yang terdengar. Perjalanan mereka menuju ibu kota Jakarta lancar dan selamat sampai tujuan selama beberapa
***
"Rehan! Olahraga pagi, yok!"
Teriakan cempreng seorang gadis begitu nyaring di pagi hari. Ia sudah siap dengan baju T-Shirt putih panjang dan celana olahraga abu-abu. Tidak lupa sepatu putih yang terpasang di kedua kakinya. Rambutnya yang panjang di kuncir kuda dengan wajah polos tanpa apapun.
Sebenarnya wajah Alsa tidak cantik, namun terbilang manis dan ayu. Lesung pipit di sebelah kirinya menambah kesan manis jika dia tersenyum. Giginya yang kecil rapi terlihat lucu jika dia menyengir lebar. Tingginya sekitar 168 cm, badannya sama sekali tidak gemuk tapi terlihat ideal.
Tidak mendapat jawaban dari balik pintu, Alsa langsung menggedor-gedor keras dan terus berteriak. "Rehan! Bangun! Ayo kita main sepeda ke komplek sebelah!"
"Argh! Berisik, Kak! Gue masih ngantuk!" Suara jengkel di dalam kamar terdengar.
Alsa tidak menyerah. Ia malah bernyanyi dan menggedor pintu sesuai dengan nada nyanyiannya. "Magaaadiiiirrrrr.."
Sedang asik-asik bernyanyi magadir, pintu tiba-tiba di buka menampilkan anak lelaki dengan rambut acak-acakan dan wajah frustrasi.
Alsa menyengir lebar. "Ayo kita naik sepeda bareng! Nanti gue kasih liat anime gratis di laptop gue!"
Kejengkelan Rehan langsung lenyap. Matanya menjadi energik. Namun tetap menyembunyikan ekspresinya. "Bener, ya?"
Alsa mengangguk.
"Gue mandi dan ganti baju dulu bentar." Rehan langsung menutup pintu keras.
Alsa terkejut dan termangu. Lalu ia mencibir. "Dasar wibu."
Rehan memang tidak di beri ponsel oleh orang tuanya. Bukannya mereka tidak mampu membeli, tapi mereka hanya takut pendidikan Rehan terganggu hanya karena satu benda itu. Apalagi, jaman sekarang terlalu banyak game online yang membuat banyak anak candu dan mengabaikan pelajaran sekolah mereka.
Orang tua Alsa akan membelikan Rehan ponsel setelah memasuki SMA, sama seperti Alsa sebelumnya.
Rehan sangat suka jika mengoleksi manga dan menonton anime. Itu juga dia menonton di televisi, karena jika di laptop Alsa sudah menjadi kartu AS gadis itu jika adiknya susah di atur.
Butuh waktu kurang dari 20 menit menunggu Rehan bersiap-siap. Anak lelaki yang lebih tinggi dari kakaknya itu memakai hoodie hitam dengan celana hitam pendek selutut. Lalu kaus kaki putih dan sepatu.
Untungnya hari masih sangat pagi, setelah meminta izin kepada ibu mereka, keduanya langsung mengambil sepeda masing-masing dan berangkat keliling komplek yang baru mereka tempati itu.
"KALO GUE YANG NYAMPE DULUAN KE SANA, LO HARUS TRAKTIR GUE ES KRIM NANTI!" teriak Alsa dengan menunjuk sebuah pohon besar dan mengayuh sepedanya lebih cepat.
"Hei! Gak bisa gitu dong, Kak!" Rehan merasa tidak terima karena kakaknya menyusul dan ia sama sekali tidak siap. "Dasar licik!"
Karena tidak mau kalah, Rehan mengayuhkan sepedanya sama-sama cepat. Saat ia berhasil menyusulnya, Rehan menoleh ke samping dan tersenyum miring. "Kalo gue yang menang, laptop lo gue pinjem selama seminggu tanpa kasih tahu ibu!"
Alsa menoleh dengan terkejut. Sejak kapan Rehan menyusulnya? Ia kira adiknya itu tertinggal jauh di belakang.
Sebelum bereaksi, Rehan sudah menyusulnya lebih jauh. Alsa panik dan berteriak. "Gak bisa, Rehan! Gue harus menang!!"
Pada akhirnya, Alsa lah yang tertinggal jauh di belakang. Tentu saja yang menang adalah Rehan. Setelah keduanya sampai, mereka langsung ambruk di rumput dan terengah-engah kelelahan.
"Lo ... lo licik, hah ...," tunjuk Alsa dengan nafas tersengal dan lelah.
Rehan menelonjorkan kakinya dan menoleh tersenyum sarkas kepada kakaknya. "Bukannya lo yang licik, Kak?"
"Gu-ue gak salah pokoknya! Lo harus beliin gue es krim!" Alsa tidak terima.
Rehan mengerutkan kening tidak suka. Inilah yang paling membuatnya kesal, kakaknya tidak pernah mau mengalah dan selalu benar. Tapi anehnya, dia selalu menurut.
"Noh, ada penjual es krim!" Alsa menunjuk ke suatu arah yang tidak jauh. Lalu memerintah santai. "Sono beliin."
"Lo udah kalah, gak mau salah, minta traktirin, nyuruh lagi! Paket lengkap, dah. Di kasih hati minta jantung!" rutuk Rehan kesal.
Alsa menatapnya tidak bersalah. Melihat wajah adiknya yang memerah karena lelah dan kesal, ia merasa simpati. Akhirnya mengalah dan menyodorkan telapak tangannya. "Yaudah, deh. Mana duitnya? Gue aja yang beli. Gue traktir lo es krim, tapi lo harus kasih gue duit lebih."
Rehan menoyor keningnya. "Sama aja, bego. Itu duit gue."
"Lo durhaka banget sama kakak sendiri! Mana manggil gue bego! Lama-lama gue pecat lo jadi adik gue!" ancam Alsa seraya mengusap keningnya yang di toyor.
Rehan mengambil uang di saku hoodienya dan menyodorkan uang berwarna biru. Lalu ia menempelkan uang itu di wajah kakaknya yang tengah jengkel. "Nih, nih ... sana beliin!"
"Ah! Rehan bangke!" umpat Alsa. Tapi ia tetap mengambil uang itu dan beranjak dengan kaki di hentakkan. "Gue abisin duit lo!"