Aku menatap hutan lebat yang menutup sinar matahari. Suara kereta yang terus berjalan dengan perlahan menjadi satu-satunya peneman perjalananku yang sendu dan menyedihkan ini. Suara yang memekakkan telinga menemani suasana yang terasa melankolis, terasa sangatlah kejam, dan terasa sangatlah tidak berperasaan.
Saat ini jam sebelas. Sisa-sisa hidupku saat ini sepertinya hanya tinggal satu jam lagi. Langit yang cerah, tidak ada manusia yang akan mengajaknya berbicara. Itulah hal yang aku ingin hadapi di penghujung umurku.
Kereta dua gerbong ini tiba di sebuah stasiun kecil. Akupun turun dan langsung disambut dengan udara panas tidak berangin dan cahaya matahari yang teriknya langsung mengenai kulit tubuhku yang seperti salju. Gaun putih yang aku kenakan membuat keringat yang keluar di punggung, bahu, dan dada langsung terlihat.
Semenjak kecil aku memang terkenal mudah berkeringat. Sampai selama enam tahun aku mengenyam sekolah dasar aku mendapat panggilan, "Wanita keringat." Panggilan yang minim imajinasi, tetapi panggilan itu disampaikan dengan nada merendahkan.
Peron kecil ini tidak ada orang samasekali. Tetapi saat ada di pintu keluar stasiun ada dua orang pria yang sedang merokok melalui pipanya. Aku lewat sambil menunduk menatap tanah karena takut.
Tetapi, alangkah terkejutnya ketika aku tidak mendapatkan godaan atau panggilan tidak senonoh karena lekuk tubuhku terlihat di balik gaun yang aku kenakan. Setelah lewat selama belasan meter, aku berhenti melangkah dan melihat kebelakang. Aku melihat kedua orang itu ternyata sudah buta dengan mata yang memutih seperti katarak.
Setelah sadar apa yang terjadi, awalnya rasa senangku berubah menjadi rasa kecewa. Akupun terus berjalan melewati beberapa rumah dua tingkat yang terbuat dari campuran kayu dan batu bata.
Ternyata pedesaan berbeda dengan perkotaan. Tidak ada tramp di jalanan, tidak ada orang yang sedang merokok menggunakan pipanya lalu membuangnya di jalanan, dan tidak ada orang yang meneriaki dia karena luka bekas sayatan di pergelangan tanganku.
"Pendosa yang tidak disayang Tuhan," itulah panggilan yang mereka berikan kepadaku.
Perundungan yang menjijikan.
Aku terus berjalan sampai ke ujung sebuah jalan. Tidak ada manusia yang aku lihat. Aku lalu masuk melewati hutan belantara yang lebat. Gaun yang aku kenakan mulai sobek karena akar tumbuhan. Tetapi aku tidak peduli.
Bahuku mulai terluka. Aku tidak peduli dan terus berjalan. Sampai akhirnya aku tiba di sebuah air terjun. Ya, inilah lokasi yang ada di novel klasik itu. Lokasi dimaa dua orang yang saling mencintai mengakhiri hidupnya. Tetapi, kehidupan nyata berbeda dengan sebuah roman picisan.
Tidak ada yang akan mau bersamaku. Tidak ada yang mau menerimaku. Karena itu, aku lebih memilih untuk mengakhirinya sendirian. Tidak ada rasa peduli terhadap keluarga, atau orang yang mengenalku.
Suara gemuruh air terjun terdengar kencang sampai membuat telingaku sakit. Tetapi, apa gunannya mengeluh rasa sakit sedikit ketika semua penderitaanku akan menghilang. Ya, setelah ini aku akan terbebas dari semua kekejian dan kebobrokan dunia yang menjijikan ini.
"Selamat tinggal," ucapku tidak sadar.
Akupun melompat. Awalnya kakiku berusaha menginjak udara dan tanganku bergerak kesana-kemari seakan-akan mencoba untuk terbang. Tetapi, pada akhirnya akupun pasrah dan malah tertawa lepas.
"Akhirnya aku bisa bebas!"
Byur...
Tubuhku membentur permukaan air dengan keras.
Tubuhku tenggelam dan aku tidak punya rencana untuk berenang keatas. Atau itulah yang aku inginkan. Keinginanku untuk terdiam dan membiarkan diri kehabisan udara dan tenggelam sudah kekuatkan di dalam hatiku. Tetapi, tubuhku mendorongku untuk bergerak. Sesuatu yang menakutkan mendorongku untuk menuju ke permukaan.
Aku memejamkan mataku berusaha dan berharap aku akan cepat mati. Tetapi, pada akhirnya tubuhku bergerak keatas permukaan air dan langsung berenang ketepian. Mataku masih buram karena air. Tetapi perasaan kesal langsung terasa di dalam hatiku.
"Sial!" teriakku memukul tanah gembur pinggir sungai. "Kenapa aku terlalu pengecut lagi? Kenapa?!"
"Woah...," suara pria terdengar. "Kamu tidak apa-apa, Nona?"
Aku terkejut dan langsung mengelap wajahku dengan tangan kiriku. Aku melihat seorang pria dengan rambut belah pinggir pendek kepirangan. Wajahnya menyejukan dengan mata biru yang indah. Pakaian hitam yang dia gunakan membuatku langsung tahu kalau dia dari gereja.
"Simpan ceramahmu, Bapak Pendeta," ucapku menghela nafas. "Aku sudah muak mendengar amukan Tuhan akan datang ketika kau bunuh diri."
Pria itu menatapku lurus, "Aku tidak ada niatan untuk menceramahi orang yang baru saja berniat bunuh diri. Yang aku inginkan adalah bertanya apakah kamu tidak apa-apa atau tidak. Karena aku membawa peralatan kesehatan."
Sembari merangkak dengan kesusahan aku bertanya, "Apa kau tidak ke gereja, Bapak? Bukankah kau harus memimpin ibadah?"
"Ibadah sudah selesai dua jam yang lalu. Sekarang aku ingin memancing. Sebuah hobi yang sangat kusenangi."
"Pendeta punya hobby?"
"Apakah itu mengejutkan? Pendeta juga adalah seorang manusia. Tidak selamanya seorang pendeta harus menghabiskan waktu membaca kitab dan mendengarkan pengakuan dosa dari umatnya. Terkadang, pendeta juga memerlukan selingan. Aku sendiri menyukai hobi memancing. Menenangkan, dan melatih kesabaran."
Aku berusaha berdiri tetapi kepalaku merasa linglung. Aku berjalan ke hutan untuk mencoba melompat lagi. Perjalanan keatas mungkin akan melelahkan. Tapi aku yakin aku masih punya tenaga untuk sekali perjalanan.
"Namaku Peter," ucap pendeta itu. "Siapa namamu?"
"Kenapa kamu ingin tahu?"
"Hanya ingin berkenalan saja," jawabnya dengan suara lembut. "Kakimu berdarah. Dan sepertinya bagian tumitmu bengkak karena membentur batu tadi. Sebaiknya ku obati dulu."
"Peduli apa kau soal kesehatanku? Aku tidak percaya dengan Tuhanmu."
"Aku hanya berbuat baik. Tidak peduli dia umatku atau bukan. Kamu adalah orang yang memerlukan bantuan. Dan sudah tugas seorang manusia untuk membantu manusia lainnya. Aku tidak melakukan untuk sebuah pahala, aku melakukannya karena itu adalah hal yang seorang manusia yang baik lakukan."
Aku berhenti setelah mendengar kata-katanya. Pria bernama Peter itu masih duduk sambil memegang alat pancingnya. Di kakinya ada sebuah kotak dengan lambang salib merah. Awalnya aku tidak ingin menerima bantuannya, karena merasa aku akan berhutang kepadanya. Dan hal yang paling tidak aku inginkan adalah berhutang di saat terakhir hidupku. Tetapi sakit di kakiku mulai tak tertahankan, membuatku ragu apakah aku bisa sampai keatas.
"Baiklah, tapi aku tidak berhutang kepadamu. Kau sendiri yang menawarkannya."
Peter tersenyum, "Ya, aku paham soal itu. Silahkan duduk."
Pria pirang itu berdiri dan mempersilahkan aku untuk duduk di sebuah balok kayu yang sudah lama ditebang. Aku kemudian melihat dia sedang membuka peralatan kesehatan itu dengan cepakatan.
"Aku sering melukai diriku sendiri saat sedang memancing. Terkena kait, atau terkena sisik ikan. Jadi, aku selalu membawa obat merah."
"Kalau kau menyentuhku secara tidak wajar, aku akan memukulmu."
Peter tertawa kecil, "Bagus, wanita jaman sekarang harus mandiri seperti itu. Bahkan pendeta sekalipun jangan pernah diberikan kepercayaan."
Aku terdiam mendengar ucapannya. Aku samasekali tidak memahami ucapannya. Sejujurnya, dia ini seperti seorang pria yang biasa dia lihat sebagai guru sekolah dasar. Kepribadiannya terlalu polos untuk seorang pria yang pendiam.
"Akh," aku meringis kesakitan. "Sakit."
"Maaf," ucapnya langsung. "Aku akan lebih berhati-hati lagi."
Pendeta itu kemudian mengobati kakiku tanpa berbicara apapun. Awalnya aku menyangka kalau pria itu akan menanyakan menegnai alasan kenapa aku memilih untuk melompat. Tetapi sampai perban sepenuhnya dibalut, tidak ada pertanyaan apapun.
Merasakan kebaikan itu, asaku untuk mengakhiri hidup terasa padam. Aku kebingungan dengan apa yang aku harus lakukan kedepannya. Kepalaku langsung berputar, yang sepertinya disadari oleh Peter.
"Kamu mau makan siang? Sepertinya kamu belum makan."
"Eh?" aku kebingungan.
"Makan siang, di gereja ada makanan. Atau, kalau memang kamu tidak mau masuk ke gereja, kamu bisa makan di ruang makan samping gereja. Ruangannya terpisah kok. Kita baru saja makan Turkish Delight."
Mendengar makanan mewah itu aku langsung memegang perutku, dan tanpa berkata apa-apa aku mengikuti pria itu ke gereja.
Gerejanya berada di sebuah perkampungan kecil. Lahannya terbuka dengan bangunan satu lantai semua. Saat masuk, aku melihat ada beberapa mata yang melihatku. Wajar saja, keadaanku saat ini benar-benar kotor. Pakaian, rambut, bahkan wajahku semuanya berantakan seperti gelandangan.
Peter dan aku sampai di depan sebuah gereja.
"Maria," panggil Peter. "Maria, kita kedatangan tamu."
"Ya, tunggu sebentar."
Seorang wanita berpakaian biarawati datang. Dia memakai kacamata berframe bulat dan pipi sedikit bulan. Dengan langkah perlahan dia berjalan keluar. Matanya memperhatikanku sesaat kemudian menatap Peter.
"Dia kenapa?"
"Terluka karena kecelakaan," jawab Peter lugas. "Berikan dia pakaian kering. Dan makanan Turkish Delight."
"Emmm..."
Aku merasa ragu. Di satu sisi, Turkish Delight adalah makanan mewah yang seumur hidup bisa kuhitung dengan jari berapa kali aku memakannya. Tetapi, di sisi lain aku tahu, mereka akan menganggap aku berhutang kepadaku.
Wanita bernama Maria itu menatapku, "Kamu merasa berhutang dengan gereja seperti kami ya? Peter, bagaimana kalau kita berikan dia kepada Tuan Wagner? Sepertinya dia kandidat yang cocok."
"Jangan sembarangan!" Peter terlihat tidak senang. "Aku tidak akan membawa gadis asing ini bertemu dengannya."
"Tapi dia jelas merasa terbebani dengan kebaikan kita."
Peter melirikku kemudian menatapku, "Kamu jangan khawatir, kita nggak akan meminta apapun kepadamu. Kamu bisa makan, terus kamu bisa berpikir soal rencana kamu kedepannya. Katakan kamu mau kemana, aku akan mengantarnya."
"Katakan kepadaku apa maksud dari 'kandidat yang cocok' itu?" tanyaku spontan kepada Maria. "Apakah ada orang yang membutuhkan sampah sepertiku?"
"Aku tidak akan menganggapmu sampah, tapi aku yakin kamu memiliki skill seperti mengurus rumah bukan?"
"Aku hidup sendiri," jawabku langsung paham. "Menjadi pembantu rasanya..."
"Kamu tidak memiliki tujuan apapun lagi, bukan? Kenapa tidak mencoba melakukannya? Toh tidak ada yang salah dengan melakukan sesuatu yang tidak pernah kamu lakukan. Hidup jadi penuh dengan warna."
Mendengar ucapannya aku jadi tertarik. Bukan karena aku merasa ingin hidup. Tapi aku merasa sepertinya setelah ini, semuanya sudah aku lakukan. Aku tahu aku akan mati, jadi, setidaknya aku mati setelah mencoba melakukan sesuatu yang baru.
"Ini yang terakhir," ucapku mengangguk.
Peter menatapku khawatir, "Apa kamu yakin? Dengarkan aku, nanti setelah makan dan berganti pakaian, kita akan ke mansion Wagner berada."
"Ya."
Akupun diantarkan oleh Maria ke sebuah ruangan untuk berganti baju. Aku memakai sebuah baju biarawati berwarna hitam. Aku tidak memakai penutup kepalanya dan lebih memilih menunjukan rambut hitam bergelombangku.
Parasku terasa lesu. Kulitku pucat dengan pandangan mata yang tidak memiliki emosi. Bibir bawahku yang tipis ini sedikit terluka. Sepertinya karena dahan tumbuhan. Rasa perih masih tersisa di bibir bawahku. Akupun mengambil sebuah krim yang ada di meja dan menutup lukaku dengan krim pelembab itu.
Begitu keluar dari ruangan itu aku dibawa Maria ke sebuah ruangan besar dimana ada meja makan dari kayu yang dicahayakan oleh lilin. Dengan perlahan aku duduk sambil merasakan rasa sakit ngilu di pinggangku.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Peter.
"Ya," jawabku. "Aku tidak apa-apa."
Maria tak lama keluar mengeluarkan sebuah piring besar berisi Turkish Delight. Dengan cepat aku memakan kue yang manis itu. Rasa kacang dan gula manis terasa di lidah. Ditambah suguhan minuman wine yang menghangatkan, membuat keadaan tubuhku menjadi lebih segar.
"Kamu suka?" tanya Maria penuh senyum.
"Ya," aku berhenti makan. "Terima kasih."
"Kenapa berhenti? Lanjutkan saja."
"Aku... aku sudah cukup makan. Karena aku merasa berhutang kepada gereja ini. Jadi... kalau dengan menjadi pembantu di mansion itu aku bisa membayar kebaikan kalian. Setidaknya aku bisa mati dengan tenang."
Maria menataku lurus, "Wanita muda nan cantik sepertimu tidak boleh membicarakan kematian semudah itu."
"Sudah cukup Maria," ucap Peter bangun. "Wanita ini ingin diantar ke mansion itu, kita turuti saja. Tapi, Nona muda, aku peringatkan, Richard Wilhem Wagner bukanlah seseorang yang akan membuatmu nyaman. Ada alasan kenapa posisi pelayan di sana selalu kosong."
"Dia orang pemarah?"
Peter melihat sekitar dan menjawab, "Kamu akan lihat nanti, Nona. Tapi, ini peringatan terakhirku. Kalau kamu ragu, aku akan menunggu kamu menemukan sesuatu yang lebih baik. Mungkin pekerjaan sebagai petani."
"Aku siap," ucapku berdiri.
Dengan langkah perlahan aku berjalan keluar. Kakiku masih terasa sakit. Setiap melangkah kaki dan pinggangku serasa mau copot. Beruntung, pendeta bernama Peter itu membawa kereta kuda, jadinya aku bisa duduk selama perjalanan.
Setengah jam berlalu, dan setelah melewati jalanan berbatu kerikil aku langsung melihat sebuah bukit luas yang ditumbuhi rerumputan serta bunga Iris berwarna biru terang yang mekar di musim panas ini.
Di puncak bukit itu ada sebuah mansion. Tidak terlalu besar, tetapi cukup besar. Berlantai dua dengan genting berwarna merah terang serta cerobong asap. Ada delapan jendela di rumah itu. Dinding cokelat dari bata menemani. Membuat rumah ini terlihat sangat tua. Atau mungkin mansion ini memang sudah sangat tua.
"Kita sudah sampai," Peter menghentikan kereta kudanya. "Kamu bisa turun?"
"Ya," jawabku turun dari kereta kuda sambil menahan sakit di pinggang. "Oke, jadi ini rumah Tuan Wagner?"
"Ya."
Peter membuka gerbang kayu setinggi pinggang yang membatasi padang rumput ini dengan lantai batu hitam yang tersusun dengan rapih. Ada sebuah area taman, pun juga dia melihat di belakang seperti ada ladang pertanian yang cukup besar di belakang rumah. Dia melihat rumah ini memiliki segalanya, tetapi seperti tidak dirawat.
"Richard," panggil Peter. "Ini pedeta Peter. Saat ini aku memiliki ursan denganmu."
Dari dalam tidak ada jawaban samasekali. Tetapi, tanpa berkata apa-apa, Peter membuka pintu kayu yang tebal itu dan masuk ke dalam. Aku yang melihatnya setengah berlari masuk ke dalam rumah.
Kondisi dalam rumah cukup berdebu. Tetapi yang paling terlihat adalah keadaan tempat ini yang minim cahaya. Semua jendela ditutup oleh kain hitam tebal. Dan tidak ada lilin yang menyala di sini. Satu-satunya yang menjadi sumber cahaya adalah sebuah perapian yang menghadap ke sebuah sofa.
Di sebuah sofa itu dia melihat sebuah kaki dengan sandal dalam ruangan. Pria itu tidak berkata apa-apa. Tetapi aku bisa melihat tangannya yang pucat itu diangkat seolah meminta Peter untuk menjelaskan maksud kedatangannya.
"Aku tidak mau menjawab pertanyaanmu hanya dengan isyarat tangan," ucap Peter memegang pinggangnya. "Aku bukan pesuruhmu, aku ini pengawasmu. Kalau ada pertanyaan, kamu tanya, dan aku jawab."
"Ada apa? Kenapa kau kesini?" suara serak dalam terdengar.
"Tatap aku kalau mau bertanya."
Pria itu kemudian berdiri. Aku bisa melihat jelas posturnya yang tinggi tegap. Tulang selangka dan dada bidangnya terlihat jelas karena dia memakai sebuah baju tidur yang longgar. Aku melihat wajah pria itu. Garis dagu dan pipinya tegas, pun matanya dingin. Rambutnya berwarna hitam dengan mata yang biru cerah.
Sontak aku membuang muka karena pakaian tipis yang dia kenakan. Peter menyadari rasa maluku dan berdiri di hadapanku.
"Apa kau tidak punya rasa malu?" tanya Peter.
"Ini rumahku, dan kau yang bertamu. Jangan harap kau bisa mendapatkan kesopanan dariku. Malah, aku punya hak untuk mengusirmu dan wanita itu karena sudah mengusik waktu beristirahatku."
"Baiklah," Peter maju. "Kali ini ada seorang wanita yang mau menjadi pelayan dan pengurus rumahmu. Dia merasa berhutang ke gereja, jadi Maria memberikan penawaran kepada wanita itu."
"Oh ya?"
Pria itu tiba-tiba berubah menjadi debu hitam dan bergerak ke hadapanku. Aku terkejut dan tubuhku serasa membeku. Kemudian aku melihat sebuah taring ada tepat di depan wajahku. Sepasang taring dan mata berwarna merah itu menatapku lurus. Membuat jiwaku terasa seperti sedang membeku.
"Wanita yang cantik," ujar pria berambut hitam itu. "Apa dia sukarela ingin menjadi pelayanku? Biarpun tahu aku ini seorang vampir? Oh... kau tidak tahu aku ini seorang vampir? Keturunan langsung dari Vlad Dracula."
Peter berdiri di depanku sambil mendorong kepala vampir itu, "Sudah kubilang untuk tidak menakuti orang yang kuperkenalkan. Kau yang mengelur rumahmu tidak pernah bersih dan terurus, tapi setiap aku memberikanmu pembantu, kau selalu menakutinya. Apa itu kemauanmu?"
"Aku hanya ingin berterus terang kepadanya. Dia sepertinya ketakutan."
Peter menatapku, "Jelas. Nona, sebaiknya kita cari jalan yang lebih baik. Mungkin aku bisa membawamu kembali ke kampung halamanmu. Dimana kamu berasal? Dresden?"
"Tidak," jawabku menolak. "Aku lebih senang tinggal bersama vampir daripada harus kembali ke sana lagi. Aku tidak mau... aku tidak kuat kalau harus bertemu dengan manusia yang kejam dan tidak bermoral itu."
"Kamu yakin, Nona?"
"Dia akan memakanku?"
"Tidak," jawab Tuan Wagner. "Aku tidak pernah makan manusia. Aku hanya meminum darah binatang saja."
"Baiklah," aku mengangguk. "Aku mau bekerja di sini."
"Kamu yakin, Nona?"
"Ya."
Tuan Wagner menatapku kemudian dengan tatapan dingin bertanya, "Siapa namamu, gadis?"
"Adelia," jawabku. "Adelia Iris Mayer."