Musim Dingin di Izmir

Musim Dingin di Izmir

Diana Dia

0

Ayya menutup buku, lalu meletakkannya di pangkuan. Reyna dan ketiga anak lainnya sudah terlelap sebelum ia menuntaskan cerita. Gelak tawa dan perselisihan yang terdengar sepanjang hari akhirnya terhenti. Berganti dengkuran halus yang saling bersahutan, ditingkahi detak jarum jam dinding.

Ayya menyapukan pandang ke sekeliling. Diamatinya satu per satu isi kamar seolah ingin menyimpan setiap detail yang ada ke dalam ingatan. Ada lemari, dua meja kecil, dan tiga ranjang tingkat. Dua di antaranya sudah ditempati oleh Reyna dan tiga anak lain. Satu ranjang lagi masih kosong karena pemiliknya masih belajar bersama di ruang tengah.


Pada dinding kamar bagian atas tampak beberapa gores dempulan untuk menutupi retakan. Poster huruf hijaiyah, angka, dan doa-doa pendek menghiasi dinging di dekat pintu. Di bawah poster-poster itu terlihat pula beberapa goresan krayon tak beraturan. Ulah Reyna, penghuni paling kecil di panti ini.

Lima tahun lalu, seseorang meninggalkannya di depan pintu. Ditinggalkan begitu saja dalam kardus dengan tali ari-ari yang masih melekat. Sampai sekarang, gadis kecil itu tak tahu siapa kedua orang tuanya. Tak ada seorang pun yang tahu.

Selain Reyna, Panti Asuhan Al-Kautsar menampung sembilan belas anak lain, termasuk Ayya. Penghuni panti yang terdiri dari: 7 anak laki-laki dan 13 anak perempuan itu diasuh Kinasih, seorang wanita lajang berusia 38 tahun. Ia mempekerjakan sepasang suami istri untuk membantunya mengurus panti.     

Igauan Reyna mengalihkan perhatian Ayya. Ia mendekati gadis kecil berusia 5 tahun itu. Posisi tidurnya sudah berganti. Selimut bergambar Hello Kitty yang semula menutupi separuh badannya kini teronggok di lantai. Ayya mengambilnya, lalu menyelimuti Reyna Dengan hati-hati, ia mencium kening gadis kecil itu.

“Kak Ayya, sebenarnya Reyna punya ayah nggak, sih?” Pertanyaan Reyna beberapa hari lalu tiba-tiba mengiang lagi. “Kalau Reyna punya ayah, kenapa Reyna hanya tinggal sama Bunda?”

Bunda yang dimaksud Reyna adalah Kinasih. Sejak mulai belajar bicara, Reyna memang dibiasakan memanggilnya seperti itu. 

Samar-samar dalam ingatan Ayya, ketika dirinya seusia Reyna, ia pernah melontarkan pertanyaan serupa kepada ibunya. Ayya tidak ingat persis seperti apa jawaban ibunya kala itu. Yang jelas, hingga kini ia tak punya gambaran apa pun tentang ayahnya.

“Tentu saja. Setiap anak pasti punya orang tua, ayah dan ibu. Tapi nggak semua anak bisa tinggal dengan orang tuanya.” Ayya menirukan jawaban Kinasih setiap kali ditanyai oleh anak-anak asuhnya perihal keberadaan orang tuanya masing-masing.

“Kenapa begitu?”

“Karena Allah menghendaki seperti itu, Rey. Karena Allah menghendaki kita bertemu dan berkumpul di sini.” Lagi-lagi, Ayya menirukan kalimat Kinasih. Ia tak punya kalimat sendiri untuk menjawabnya. Lagi pula, sejak dulu hingga saat ini, pertanyaan-pertanyaan seperti itu masih terus mengusik benaknya.

Sejak kecil, Ayya tak pernah mengenal sosok ayah. Ia hanya tinggal bersama ibunya. Hingga sang ibu meninggal, ia tak pernah mendengar cerita apa pun tentangnya. Bahkan, sekadar nama pun tidak.

Sebenarnya, dibandingkan Reyna, nasib Ayya jauh lebih beruntung. Meskipun tak mengenal ayah, ia pernah merasakan dekap hangat seorang ibu dalam enam tahun pertama kehidupannya.

Tak ada anak yang ingin tinggal di panti asuhan, termasuk Ayya. Ia ingin seperti anak-anak lain, tinggal dalam curahan kasih sayang kedua orang tua. Namun, ternyata takdir membawanya ke sana.

Selama 12 tahun tinggal di panti, Ayya tidak pernah mengalami hal-hal yang buruk. Kinasih adalah wanita yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Wanita itu tak ubahnya seorang ibu. Ia mengajari seluruh penghuni panti untuk saling menyayangi meskipun tak ada ikatan darah. 

Ayya merasa seperti memiliki keluarga besar. Ia melewati hari-harinya dengan bahagia. Namun, segala pertanyaan tentang sang ayah menciptakan lubang di hatinya yang tidak juga tertambal hingga saat ini. 

***

Setiap selepas isya, seluruh penghuni panti yang sudah bersekolah berkumpul di ruang tengah. Kinasih membimbing mereka belajar. Beberapa anak menyimak dengan saksama. Sesekali mereka bertanya dengan antusias. Anak-anak yang lebih kecil, sebagian mengerjakan soal-soal latihan dengan tenang. Namun, sebagian lagi saling sikut sambil terkikik-kikik. Ada pula yang justru malah berebut alat tulis. 

Tak ada kekesalan terpancar di wajah Kinasih mengahadapi beragam tingkah laku anak asuhnya. Begitu pun ketika anak-anak itu berulang kali bertanya. Dengan sabar, ia kembali menjelaskan.

Dari dekat rak buku, Ayya menatap wanita baik hati itu. Malam ini adalah terakhir kalinya ia menyaksikan Kinasih dan adik-adiknya belajar bersama. Dan, terakhir kalinya ia membacakan cerita untuk Reyna dan ketiga anak lainnya. 

Membayangkan tak lagi bersama Kinasih dan adik-adiknya, Ayya merasa dadanya menyesak. Ia menyeka matanya yang mulai berembun. Sebelum tangisnya merebak, ia bergegas menuju pekarangan.

Sambil duduk di ayunan, Ayya memandangi rumah berarsitektur tahun 80-an yang menaunginya selama ini. Pekarangan luas dengan hamparan rumput jepang itu pernah menjadi saksi kaki kecilnya berlari, bermain kejar-kejaran. Belasan tahun berlalu sejak pertama kali ia datang, tempat ini tak banyak berubah. Tetap sejuk karena keberadaan pepohonan berdaun rindang di sekelilingnya, juga kebun sayur di samping rumah. Tampak makin asri dengan keberadaan kolam kecil berhias teratai serta aneka bunga dalam pot yang berjajar di tepi teras.

Apabila sedang tak bisa tidur, Ayya diam-diam menyelinap keluar, lalu melewatkan malam di teras itu. Ia duduk bersandar di kursi rotan sambil menengadah menatap langit.

“Kalau ingin sesuatu, kamu nggak perlu nunggu bintang jatuh.” Pada suatu malam, Reza pernah menegur Ayya ketika mendapatinya menatap langit bertabur bintang.

Saat itu, Ayya masih berusia tujuh tahun. Sementara Reza berusia sepuluh tahun. Mereka masih sama-sama tinggal di panti.

“Aku nggak nunggu bintang jatuh, kok,” sanggah Ayya. “Aku tahu, berdoa itu bisa kapan aja.”

“Eh, tapi kemarin aku dengar ceramah, katanya ada waktu tertentu doa kita cepat terkabul,” kata Reza setelah duduk di sebelah Ayya.

“Oya? Kapan itu?”

“Mmm ....” Reza berusaha mengingat-ingat. “Waktu turun hujan, antara azan dan iqamah, dan satu lagi, mmm—“

“Oke, mulai besok setiap habis dengar azan, aku akan selalu berdoa biar keinginanku cepat terkabul,” tukas Ayya dengan senyum merekah.

“Memangnya kamu ingin apa?”

“Aku ingin ketemu Ayah,”  jawab Ayya. Mata hazel-nya berbinar penuh harapan.

Sejak kecil, Reza mengetahui keinginan Ayya. Lelaki itu pula yang memupuk harapan Ayya agar tetap tumbuh. Namun, itu dulu.

Untuk ke sekian kalinya, Ayya menyeka embun di pelupuk mata. Ia mendongak, menatap langit malam melalui sela-sela dedaunan. Kian lama, tatapannya kian mengabur, terhalang genangan telaga.

***

Dua belas tahun sebelumnya

Hujan malam itu menghentikan perjalanan Ayya. Kaki kecilnya berlari menuju sebuah masjid untuk berteduh. Lagi pula, ia memang sudah sangat letih setelah dua hari melakukan perjalanan tak tentu arah.            

Berbekal uang jajan dari sang paman yang dikumpulkannya selama berhari-hari, Ayya pergi secara diam-diam dari rumah itu. Ia menumpang angkutan umum yang pertama kali dilihatnya, lalu berganti angkutan lain yang juga pertama kali dilihatnya.

Ke mana pun, gadis kecil itu tak peduli. Ia hanya ingin pergi sejauh mungkin. Ia tak ingin lagi mendengar umpatan-umpatan Mirna—istri pamannya. Ia juga tak ingin lagi merasakan sakit karena cubitan, hantaman sapu, atau pecutan sabuk.

Ayya duduk memeluk lutut di selasar masjid, memandang jalanan yang mendadak lengang. Satu dua kendaraan melintas di tengah guyuran hujan yang makin lebat. Kilatan petir sesekali menyambar,  ia menunduk ngeri sembari menarik hoodie hingga menutupi dahi.

Perutnya sudah berkali-kali bersuara karena lapar. Rasa itu makin menjadi ketika embusan angin mengantarkan aroma nasi goreng dari warung kaki lima di seberang jalan. Ia meringis, lalu merogoh tas, mencari-cari roti yang dibelinya tadi pagi. Dalam sekejap, roti itu sudah berpindah ke dalam perutnya. Air mineral yang tinggal seperempat botol diteguknya hingga tandas. 

Sebenarnya ia masih lapar, tetapi di tasnya tak ada lagi makanan. Uangnya pun sudah habis. Akhirnya ia meringkuk menghadap dinding sambil memeluk boneka beruang cokelat. Ia berharap kantuk segera datang sehingga tak lagi merasa lapar. Sayangnya, setelah kantuk datang, ia terbangun lagi oleh gelegar guntur yang susul-menyusul dengan kelebat petir.

Makin malam, angin berembus makin kencang, membawa tempias hujan membasahi punggung Ayya. Menjelang dini hari, gadis kecil itu menggigil, sedangkan sekujur tubuh dan napasnya terasa panas. 

Malam itu, Ayya rindu yang teramat sangat pada mendiang sang ibu dan hangat peluknya. Ia berpikir seandainya saja ibunya tidak pergi ke surga. Malam itu, ia juga merindukan ayah yang belum pernah dijumpainya. Jika ibunya tak mungkin lagi memeluknya, ia berharap masih ada ayah yang tak akan membiarkannya kedinginan. Malam itu, ia menangis sangat lama hingga akhirnya jatuh tertidur.

Ayya terbangun ketika azan Subuh berkumandang. Tubuhnya gemetar hebat. Denyutan di kepala memaksa matanya tetap terpejam. Tak lama kemudian, sayup-sayup terdengar suara anak-anak mengaji. Namun, tiba-tiba saja semua suara itu hilang, berganti denging nyaring, lalu hening.

Di dalam masjid, ketika teman-temannya berlarian pulang, Reza beranjak ke belakang. Ia mengambil alat pengepel. Ia memutari masjid untuk membersihkan sisa-sisa air hujan di sepanjang selasar. Anak laki-laki itu terkesiap ketika tiba di tempat Ayya meringkuk. Ia segera menyandarkan alat pengepel, lalu mendekat.

Reza menepuk pelan pundak Ayya. “Hei, kamu kena—eh, ya ampun, sweter kamu basah,” serunya sembari menyapukan pandang ke tubuh kecil itu, dari arah kepala hingga ujung kaki. “Kamu tidur di sini semalaman, ya? Badanmu menggigil.”

Suara Reza mengembalikan kesadaran Ayya. Gadis kecil itu memicing, lalu memaksa matanya terbuka sepenuhnya. Dengan mata sayu, ia menatap laki-laki berpeci putih yang berjongkok di dekat kakinya. Ia hendak mengucapkan sesuatu, tetapi yang keluar dari bibirnya hanya sebuah rintihan. Denyutan di kepalanya terasa makin hebat.

“Kamu ikut aku aja, yuk!”

“Ke—ke—mana?”

“Nanti kamu akan tahu. Ayo, kamu harus ganti baju dan minum obat.” Reza membantu Ayya bangun, lalu memapahnya menuju sepeda di halaman masjid. “Pegangan ke pinggangku, yang kencang,” katanya setelah duduk di atas sadel.

Ayya menurut, dicengkeramnya pinggang Reza sekuat mungkin. Sepanjang perjalanan, ia menyandarkan keningnya di punggung anak lelaki itu.

Reza mengayuh sepeda dengan cepat. Setelah dua kali berbelok, ia menghentikan laju sepedanya di halaman sebuah rumah. Papan nama bertuliskan Panti Asuhan Al-Kautsar berdiri di dekat pagar.

“Mbak Asih! Mbaaak!”

Seorang wanita berkerudung merah, Kinasih, datang tergopoh-gopoh. Di belakangnya, anak-anak berusia antara 5 hingga 7 tahunan mengikuti sambil berkasak-kusuk.

“Kenapa, Za? Siapa dia?” tanya Kinasih. Namun, tanpa menunggu jawaban, ia segera membopong Ayya ke dalam panti.

“Nggak tahu, Mbak. Tadi aku lagi ngepel, dia ... badannya panas dan menggigil. Kayaknya dia semalaman di sana,” jawab Reza sambil mengikuti Kinasih menuju kamar.

“Tolong ajak adik-adikmu keluar, Za. Mbak harus ganti bajunya dulu. Oya, minta air hangat sama Bi Sumi, bawa handuk dan kayu putih juga.”

Reza mengangguk, lalu melaksanakan semua yang diperintahkan Kinasih. 

Suara Kinasih, Reza, dan anak-anak itu sampai ke pendengaran Ayya. Ia ingin melihat mereka. Ia juga ingin tahu di mana dirinya berada saat ini. Namun, ia tak berdaya. Ia bahkan tak sanggup membuka mata. Ia hanya bisa mengaduh ketika Kinasih menyentuh memar di punggungnya. Tiga hari lalu, Mirna memukulnya dengan gagang sapu karena tak sengaja menyenggol pot bunga.

Ayya tidak tahu berapa lama dirinya tertidur. Yang jelas, saat bangun, ia mendapati wajah teduh Kinasih di sisi tempat tidur. Wanita itu tersenyum lembut, membantunya duduk, menyuapinya bubur, lalu memberinya obat. 

“Sekarang kamu istirahat aja lagi supaya lekas baikan. Nanti kalau sudah baikan, kamu bisa main sama Reza dan semuanya.” Kinasih menoleh ke arah pintu. Reza sedang berdiri di sana, tersenyum lalu melambaikan tangan pada Ayya.

Tiba-tiba saja mata Ayya berkabut. Ia teringat senyum kecut dan tatap tajam istri sang paman saat menyambut kedatangannya. Saat itu, kaki kecil Ayya segera melangkah mundur, bersembunyi di belakang pamannya sambil memilin-milin ujung kaus. Sementara di tempat baru ini, Ayya mendapat sambutan yang sangat berbeda. Padahal, tak ada satu orang pun yang dikenalnya.

Selama satu pekan, Ayya terbaring di tempat tidur. Selama itu pula, Kinasih merawatnya dengan telaten. Setiap kali wanita itu memeriksa keadaannya, Reza dan anak-anak lain ikut muncul. Reza-lah yang paling sering muncul dan menanyai keadaannya.

Di panti, Ayya mendapatkan kehangatan dan kasih sayang yang tak didapatkan di rumah pamannya. Itulah yang membuat Ayya tetap tinggal di sana meskipun sang paman menemukan jejak pelariannya. Ketika Kinasih memberi tahu bahwa sang paman ingin membawanya pulang, Ayya memilih bersembunyi di dalam lemari.

***