Meski suasana di dalam ruangan ini sudah terpasang alat pendingin ruangan. Namun, tiba-tiba saja mendadak terasa panas bagi mereka. Bunyi keyboard yang ditekan dengan cepat mengisi kesunyian di antaranya.
"Revisi harga yang kemarin saya kasih sudah kalian kirim ke hotel yang lain?"
Mendadak semua berhenti dari kegiatan sebelumnya. Hingga suara dari kursi yang berada di sisi ruangan membuat kedua orang lainnya sedikit merasa tenang.
"Sudah, Bu. Tapi ada beberapa hotel yang enggak mau."
"Kenapa enggak mau? Bilang saja harga lagi naik barangnya juga susah. Kalau mereka enggak mau, berarti harus dikosongkan."
Suasana mendadak hening ketika wanita itu kembali membuka suara.
"Saya enggak mau kalau harga lagi naik, tapi mereka tetap order di kita dengan harga yang lama. Kalau caranya seperti itu saya bisa rugi."
Nita masih terlihat sibuk membaca lembaran kertas berisi list item yang akan dia tinggikan harganya.
Sementara di belakang tempat Nita berdiri, ketiga karyawan itu sudah saling bertukar pandang satu sama lain. Masih menunggu waktu yang tepat agar salah satu di antaranya dapat membuka suara.
"Nanti kalian kasih info lagi. Tapi kalau hotel yang rewel langsung dikosongkan saja. Jangan menaikkan harga."
"Kalau misalnya dikosongkan nanti barang yang keluar jadi enggak banyak seperti biasa, Bu. Soalnya revisi harga yang kemarin kami kirim sudah diterima oleh mereka,” terang Rahma.
"Bagus begitulah. Yang penting saya enggak rugi," ujarnya sembari berjalan menuju meja sisi ruangan.
"Kata Bapak, kamu cek lagi pembayaran yang masuk. Kayaknya bukan segitu, deh. Kalau misalnya mereka belum bayar, tagih terus setiap hari. Paham?"
Rahma hanya menganggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan satu kata pun. Mendadak degup jantungnya bergerak dua kali lebih cepat ketika mendapati sosok perempuan tengah berdiri tepat di samping tubuhnya. Pandangan wanita itu pun tak berpaling dari layar komputer.
"Isni juga. Langsung kasih info ke semua hotel hari ini saja. Dan kalau bisa sekarang, Is. Biar nanti yang belanja jadi tau barang apa saja yang sekiranya kosong," ujar Nita sembari menatap Isni yang berada di sisi kanannya.
"Iya, Bu." Hanya kata itu yang dapat Isni keluarkan.
Pandangan Nita segera berpaling menatap sosok pria yang terlihat sibuk dengan lembaran kertas menumpuk di atas meja kerjanya.
"Mu, antar saya ke Kasablanka, sekarang, ya. Pakai motor saja."
Melihat jika Ramu hanya menganggukkan kepalanya sebagai jawaban, Nita akhirnya putuskan untuk segera keluar dari ruangan tersebut. Suasana yang sebelumnya menegang mendadak mencair begitu saja setelah kepergiannya.
"Heran, gue di sini sebenarnya kerja jadi bagian apa, sih. Tiap hari kayaknya ngantar dia terus," gerutu Ramu.
Rahma dan Isni hanya dapat tertawa pelan mendengar pria itu yang terlihat tampak kesal. Bagi mereka ini bukan hal pertama kali melihat Ramu seperti itu.
"Merangkap jadi aspir, Bang," jawab Isni.
"Apa, tuh?"
"Asisten pribadi. Yang setiap hari ngurus urusan dia," sambung Rahma.
"Ogah. Lagian ribet banget kayak enggak ada supir yang lain aja. Dikira kerjaan gue cuma ngantar dia doang kali, ya."
Rahma dan Isni sontak tertawa mendengar jawaban dari Ramu. Membuat ruangan itu seketika berbeda menjadi lebih hidup dari sebelumnya.
Ramu yang melihat kelakuan kedua rekan kerjanya hanya dapat menggelengkan kepala. Pria itu lantas mengambil jaket yang disampirkan pada kursi kerjanya sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dengan wajah yang tampak kesal.
––– TO BE CONTINUED –––
13.5.22