Modern World: The HXA

Modern World: The HXA

Riani S

4.5


Abad ke-24, Jumat, 07.15 A.M

Di sebuah gedung sekolah yang berdesain futuristik dan megah, sekolah yang bernama "Guardians HERO Academy" atau disingkat menjadi "GHA", terlihat sangat sepi dan hening karena jam pelajaran sudah dimulai. Para murid sudah memasuki kelas masing-masing. Mereka siap sedia untuk mendengarkan pelajaran yang akan diterangkan oleh guru.

Di dalam salah satu kelas yang berdesain futuristik dan berukuran sangat luas, yaitu kelas 2-B, tampak seorang guru sedang mempresensi muridnya. Guru laki-laki yang berambut coklat sewarna dengan matanya. Namanya lengkapnya adalah Ryan Dwitama.

Dia adalah wali kelas yang memimpin kelas 2-B dan sekaligus mengajarkan pelajaran Biologi. Dia juga termasuk komandan yang memimpin salah satu tim di organisasi pasukan pelindung bumi, Guardians HERO – atau bisa disingkat menjadi G-HERO.

Sang guru sedang duduk di kursinya sambil mengecek daftar presensi murid melalui layar virtual digital yang tertampil dari dalam lubang bulatan sebuah benda sebesar kartu remi bernama techno book. Di dalamnya memuat berbagai macam informasi, bahkan digunakan sebagai pengganti buku bagi para pelajar, dan bisa digunakan untuk keperluan apa saja. Bisa dikatakan sebagai komputer saku yang bisa dibawa kemana-mana dan sangat pas jika disimpan di dalam kantong.

Pak guru Ryan terus membacakan nama-nama murid yang hadir di kelas itu. Kelas yang hanya diisi sekitar 12 orang dan 12 HERO. Lalu, sang guru menyadari bahwa ada satu orang yang tidak ada di dalam kelas itu. Padahal, semua orang sudah mengangkat tangannya saat namanya disebutkan oleh sang guru.

"Hmm... Chiko Ramadhiko tidak ada, pasti dia terlambat lagi, dasar!" gumam Pak Guru Ryan sambil terus mengecek daftar presensi murid.

Dengan tenang, pandangannya di arahkan pada murid yang mengangkat tangan saat nama murid itu disebutkan. Dia mengutak-atik sesuatu pada layar virtual digital techno book-nya setelah selesai mengecek daftar presensi muridnya.

Salah satu gadis dari sekian murid di kelas itu, namanya Sasi Lavina. Dia berambut pirang sebahu dan bermata indigo. Memasang ekspresi khawatir karena menyadari temannya yang belum juga datang. Padahal jam pelajaran akan dimulai sebentar lagi.

"Gawat, dia terlambat lagi, dasar Chiko," kata Sasi dengan nada yang lirih.

Sedetik kemudian, Pak Guru Ryan mematikan techno book-nya. Layar virtual digital menghilang dari atas lubang bulatan techno book itu. Pak Guru Ryan segera mengawali pelajaran Biologi.

"Anak-anak, pagi ini Bapak akan membahas pelajaran...."

FYUUUUSH!! Pintu kelas terbuka secara otomatis. Seorang anak laki-laki masuk dengan tergopoh-gopoh dan menghampiri Pak Guru Ryan. Itulah Chiko Ramadhiko.

"Maaf, saya terlambat, Pak!"

Semua mata tertuju pada anak laki-laki yang bernama Chiko itu. Spontan, mereka membelalakkan kedua mata masing-masing. Terlihat rambut merah kehitaman Chiko berantakan, mata ruby merahnya yang sayu, dan ditambah wajah bangun tidur dengan suara napas yang sangat tersengal-sengal. Sepertinya dia sehabis berlari sekuat tenaga dari rumah sampai ke sekolah ini. Tanpa menyadari jika penampilannya masih bobrok seperti itu. Mengundang perhatian bagi orang-orang yang melihatnya.

Tentu saja, Pak guru Ryan terkejut ketika memerhatikan penampilan Chiko dengan teliti.

"Eeeh!" Mulut Pak Guru ternganga dan menunjuk ke arah Chiko sambil memasang wajah aneh. "Chiko Ramadhiko, Bapak maklumi kalau kamu terlambat, tapi lihat dirimu."

Chiko mengerutkan keningnya dan kelihatan bingung. "Hmm, apa yang salah pada diriku?"

Dia kemudian melihat pada dirinya sendiri. Spontan, dia kaget setengah mati disertai kedua matanya yang melotot habis.

"Apaaa?! Aku masih memakai piyama...?!" Adegan ini membuat semua penghuni kelas tertawa heboh. Suara mereka menggema nyaring.

Sungguh, hal ini membuat Chiko terdiam. Wajahnya malu dan tertawa cengengesan sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Maaf Pak, saya terburu-buru. Hehehe...."

"Chiko... Chiko, anak yang aneh." Pak Guru menahan tawanya sambil menutupi mulutnya dengan tangannya.

FYUUUSH!! Pintu kelas kembali terbuka otomatis. Muncul kucing putih yang berlari dengan tergesa-gesa sambil menggigit sesuatu di mulutnya. Kucing itu segera menghampiri Chiko dan Pak Guru Ryan. Kucing tersebut bernama Kibby.

"Hei, dasar majikan bodoh! Bisa-bisanya meninggalkan HERO-nya dan berangkat sekolah masih memakai piyama!" Kibby menghentikan larinya tepat di samping Chiko. Memindahkan sesuatu yang digigit di mulutnya pada kedua tangannya. Dia sangat kelelahan bercampur marah.

Chiko mendelik ke arah kucing robot itu. "Apa kau bilang?! Dasar HERO BAWEL!!"

"Aku bilang majikan payah... payah... payah!! Buktinya sampai lupa tidak bawa seragam!! Nih, seragam dari Ibu!!"

Kibby berwajah geram sekali dan menyodorkan pakaian seragam itu pada Chiko. Chiko langsung menyambar pakaian seragam itu dengan cepat dari dua tangan Kibby. Lantas mengatakan sesuatu dengan nada yang sangat kesal.

"DASAR MAKHLUK BAWEL MENYEBALKAN!!"

"JANGAN BILANG AKU MAKHLUK BAWEL! SUDAH BERAPA KALI AKU BILANG PADAMU?! AKU TIDAK SUKA DIBILANG MAKHLUK BAWEL!!"

Chiko dan Kibby bertengkar, semua murid melongo.  Melihat adegan tersebut, puncak kesabaran Pak guru Ryan sudah hampir ke ubun-ubun dan akhirnya meledak. Wajahnya memerah padam saking kesalnya.

"Berhenti kalian berdua!!" Chiko dan Kibby berhenti. Mereka kaget melihat wajah Pak Guru Ryan yang seram. Pak guru Ryan memelototi mereka sambil berkacak pinggang.

"Sebagai hukuman karena kalian berdua terlambat dan ribut di kelas, silakan berdiri di depan kelas sampai jam istirahat makan siang...."

Keduanya membelalakkan kedua mata masing-masing. "APAAA!?"

"Kenapa? Apa hukumannya masih kurang? Apa ditambah lagi hukuman yang lebih berat?"

Tatapan sang guru semakin tajam pada mereka. Sangat membuat Chiko dan Kibby ketakutan. Chiko pun menyahut, "Tidak... Tidak pak. Ini saja sudah cukup."

"Kalau begitu, jalani hukuman kalian dengan baik. Saya ingin melanjutkan pelajaran."

"Baiklah... Pak."

Keduanya menjawab kompak dengan tampang yang lesu. Mereka menjalankan hukuman yang diberikan oleh Pak Guru Ryan. Tampak teman-teman sekelas tersenyum geli melihat mereka berdua. Kibby mengembangkan kedua pipinya sambil membuang muka dari hadapan Chiko. Chiko pun membuang muka dari hadapan Kibby. Mereka sama-sama merasa kesal antara satu sama lainnya.

***

Kantin Sekolah, 12.30 PM

Jam istirahat tiba juga.

Di kantin yang berbentuk kubah dan berdesain futuristik, berlantai mengkilap seperti kaca ini, terdapat lampu-lampu menyerupai kepala senter yang terpasang di langit-langit. Sehingga memberikan pencahayaan yang cukup di tempat ini dan ditambah udara yang terasa sejuk karena adanya alat pendingin ruangan.

Saat ini, orang-orang dan para HERO sedang berkumpul untuk makan siang. Semua kursi terisi penuh. Tampak robot-robot pelayan sedang mondar-mandir untuk mengantarkan pesanan para pelanggan. Ada juga robot-robot yang sedang membereskan meja, membawa setumpuk peralatan makan yang kotor dan mencatat sebuah pesanan baru. Selanjutnya robot itu akan mengambil pesanan yang tertulis di layar virtual digital yang sempat dia catat di sistem memonya – sistem memo itu terdapat di tangannya yang bisa mengeluarkan layer. Dari hasil catatan itu, sistem memo akan mengirim sinyal ke otak robot pelayan dan menggerakkan robot pelayan untuk mengambil pesanan di dapur kantin. Makanan dan minuman akan dibuat oleh robot koki yang ahli dalam memasak.

Suasana sangat ribut dan bising karena sahut-sahutan orang-orang dan para HERO. Juga suara robot-robot pelayan yang sibuk bekerja untuk melayani semua pelanggan yang menghabiskan waktu mereka sampai jam istirahat makan siang selesai.

Di antara penghuni kantin itu, ada Chiko dan teman-temannya yang juga makan siang bersama. Dia duduk berhadapan dengan Sasi dalam satu meja yang sama. Sedangkan HERO mereka, Kibby dan Klorisa, duduk tepat di samping mereka. Di atas meja tersebut, terdapat makanan dan minuman yang mereka pesan. Mereka makan dengan tenang, lalu Sasi memulai percakapan setelah terdiam selama beberapa menit.

"Chiko, kenapa sih kamu bisa seceroboh itu?" tanya Sasi yang sangat penasaran tentang kejadian tadi pagi itu.

"Aku sendiri tidak tahu, Sas. Aku selalu buat kesalahan, dan selalu ceroboh. Aku memang payah," jawab Chiko sambil menunjukkan wajah lesu.

Datang Kibby yang menyela dalam perkataan mereka. Dia sedang mengunyah sandwich ikannya yang tersisa. Suaranya keras dan bernada mengejek.

"Baru sadar, ya? Malangnya nasibku, HERO sehebat aku, mendapatkan majikan bodoh macam dirimu, hmm...."

"APA KAU BILANG?! Justru aku yang sial mendapatkan HERO macam kau!? Yang lebih menyedihkan lagi, kau itu HERO stock sisa terakhir!!"

Tiba-tiba, Chiko memegang ekor Kibby dan menjungkir balikkan Kibby. Kibby meronta-ronta sambil meringis kesakitan. Makanan yang dikunyahnya, sukses masuk dulu ke dalam perutnya.

"Hei, lepaskan ekorku, jangan menjungkir balikkan diriku seperti ini, sakit tahu!!"

"Tidak akan kulepaskan sebelum kau meminta maaf padaku dan berhenti mengejekku!!"

"Aku tidak mau! Memang kenyataannya kamu BODOH!! PAYAH!!"

"Dasar, kucing keras kepala...!"

Laki-laki berambut merah kehitaman itu menjadi kesal dibuatnya. Apa lagi melihat ekspresi Kibby yang mengejek ke arahnya. Membuat perasaan kesal itu semakin meningkat drastis di hatinya. Ingin rasanya membabat habis si kucing bawel itu.

Tidak tahan melihat semua ini, Sasi ikut campur dan mencoba melerai mereka sebelum sempat memanas ke tingkat berbahaya. Suara Sasi yang keras menggema ke seluruh penjuru tempat itu. Semua penghuni kantin tertarik untuk memerhatikan mereka. Sehingga aktivitas makan siang terhenti kecuali para robot pelayan yang terus mondar-mandir.

"Sudah cukup kalian berdua! Berhentilah bertengkar! Malu dilihat yang lain!!"

"Oke, kalau kau tidak melepaskan ekorku, rasakan ini!!"

Tiba-tiba, Kibby menyemburkan api ke wajah Chiko.

Semburan api Kibby berhasil mengenai Chiko. Chiko spontan berdiri dan melepaskan ekor Kibby sehingga Kibby terjatuh di atas meja.

"GYAAAAAAAA, PANAAAAASSS!!" teriak Chiko yang sangat keras menggelegar. Tubuhnya gosong dan kesakitan. Urat persimpangan muncul di kepala Sasi. Wajahnya merah padam dan pada akhirnya lahar kemarahannya meledak hebat. Mengguncang tempat itu bagaikan dilanda gempa vulkanik.

"CUKUP!! HENTIKAN SEMUA INI!!"

Chiko dan Kibby berhenti bertengkar. Chiko terpana kepada Sasi dan badannya gosong. Kibby terdiam dalam keadaan tengkurap dengan pantat menungging. Mereka membatu dan melihat Sasi yang berkacak pinggang. Sasi berdiri sambil menunjukkan raut wajah marah yang berapi-api.

"Kalian berdua memalukan sekali! Bertengkar terus! Apakah pantas calon pasukan pelindung bumi tidak akur dan bertengkar terus-terusan?!" Chiko dan Kibby melongo melihat Sasi mengomel.

"Kalian harusnya malu pada diri kalian sendiri. Ayo, cepat! Kalian berdua harus saling bermaafan!" Sasi memelototi wajah mereka secara bergiliran. Mengisyaratkan agar mereka berbaikan dan kembali akur sedia kala.

Tiba-tiba, Chiko dan Kibby saling berpelukan dan menangis konyol. "Huwaaaa... Maafkan aku, Kibby. Aku memang majikan yang bodoh."

"Huwaaaa... Maafkan aku, Chiko. Aku HERO yang tidak tahu diri. Huhuhu...."

"Nah, begitu dong. Sebagai calon pasukan pelindung bumi, majikan dan HERO harus kompak dong, jangan bertengkar terus!"

Sasi tersenyum melihat mereka yang sudah saling bermaafan dengan cara yang konyol. Dia merasa lega karena sudah berhasil mendamaikan dua sahabatnya yang aneh itu. Sungguh, hal ini membuat hatinya senang sekali.

Chiko dan Kibby mengangguk-angguk sambil mengeluarkan ingus belepotan dan sisa air mata. Mereka mengerti dengan apa yang dinasehati Sasi pada mereka.

"Hihihi, kalian berdua tuh aneh sekaligus lucu ya." Sasi tertawa dengan wajah yang berseri-seri.

"Hihihi...." Klorisa tertawa kecil. Chiko dan Kibby tersenyum lebar sambil tersipu malu.

Tiba-tiba, seisi kantin sekolah menertawakan Chiko dan Kibby, tawa menggema dan efek suara yang keras menggema. "HAHAHAHAHA!!"

***

Tempat yang tidak diketahui

Kibby berada di ruang kosong yang gelap dan suram. Ruang yang tiada bertepi dan tiada ujungnya. Tiada batasnya. Tiada cahaya maupun suara. Entah di mana ini.

Kucing putih itu berdiri dengan dua kakinya yang terbungkus sepatu mekanik berwarna merah. Dasar kegelapan yang dipijakinya, terasa keras. Dia tidak tahu entah bagaimana caranya dia bisa sampai ke tempat seperti ini. Dia ingin berjalan, tapi seakan-akan kakinya terbelenggu sesuatu. Mengikatnya kuat agar tidak bisa pergi dari sana.

"Di mana aku? Tempat apa ini?"

Dia bersuara sangat keras. Sangat bingung. Namun, tidak ada yang menyahut perkataannya itu. Terasa hampa, sunyi dan sepi. Hanya ada dia seorang saja di tempat asing ini.

Diputuskan untuk menyalakan api dari tangannya yang terbungkus sarung tangan mekanik berwarna merah, berniat ingin melihat dengan jelas keadaan tempat kegelapan ini.

Tiba-tiba...

"KIBBY...." Muncul suara besar yang menakutkan, menggema tatkala api dinyalakan oleh Kibby. Suara besar seperti mesin. Sangat mengejutkan Kibby. Kedua mata kuning Kibby membulat sempurna.

"Siapa itu?"

Sekali lagi, suara besar itu menggema dan memanggilnya. "KIBBY...."

"Hei, suara siapa itu? Jangan menakutiku! Akan kubakar kau!!"

Kibby menunjukkan wajahnya yang garang. Siap sedia untuk menghadapi kemungkinan yang terjadi.

Suara misterius itu terdengar lagi. Semakin besar dan menakutkan. Bahkan suara itu menunjukkan nada tertawa terkekeh-kekeh.

"Khu... Khu... Khu..." Tiba-tiba muncul pria berjubah besar dan latar belakang dari gelap berubah menjadi merah. Dia mengeluarkan suara besar yang menggema seperti pria dewasa.

"Aku adalah penciptamu! Hahahaha!!"

Kibby kaget setengah mati mendengarkan pengakuan sosok jubah misterius itu. Kedua matanya kembali membulat sempurna.

"Penciptaku??? Yang benar saja. Siapa kau sebenarnya?!"

Kibby mulai marah dan api mulai keluar dari dalam tubuhnya. Menerangi tempat yang serba merah itu. Api merah berkobar di seluruh tubuh Kibby, menari-nari tidak beraturan. Sosok jubah misterius itu hanya tertawa terkekeh-kekeh sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar. Suaranya semakin besar dan sangat menggema.

"Khuu... Khuu... Khuuu... Api yang indah. Kibby, kelak kau dan apimu yang indah itu akan menghancurkan bumi ini! Hahahahahahaha!!"

Setelah mengatakan itu, tiba-tiba sosok berjubah itu perlahan-lahan hilang dan suasana menjadi gelap dan suram lagi. Kucing itu terperanjat dan  kemarahannya semakin naik dratis sehingga dia kelepasan kontrol.

"Hei, tunggu! Siapa kau dan apa maksud perkataanmu itu?! Huwaaaaaagrrrhhh!!!"

Dia membabi buta dan menyemburkan api ke segala arah. Api merah menjalar dan berkobar hampir memenuhi tempat kegelapan itu.

***

Rumah Chiko, 05.55 AM

"Wuaaaaah....!" Kibby berteriak sangat keras. Dia meronta-ronta di atas bantal bulat besar berwarna putih. Sehingga menuntun Chiko untuk membangunkannya.

"Hei, Kibby, kenapa kau berteriak begitu? Sadarlah!"

Chiko menggoyang-goyangkan tubuh Kibby agar Kibby bisa bangun. Kibby berhenti meronta-ronta dan membuka matanya dengan cepat.

"Ah, Chiko, di mana aku? Apa aku ada di surga?" Dia celingak-celinguk seperti kucing bodoh begitu.

"Surga apanya? Ini di kamar. Aku terbangun gara-gara teriakanmu, tahu!" Chiko berlutut di dekat bantal Kibby. Dia mengangkat salah satu alisnya sambil memasang ekspresi heran.

Kibby linglung sebentar lalu membuka mata selebar-lebarnya. "Ah, benar ini di kamar, aku kira aku benar-benar sudah mati tadi. Maafkan, aku sudah teriak tidak jelas."

"Iya, tidak apa. Santai saja. Memangnya kau bisa mimpi? Sampai menggigau juga."

"Tentu saja bisa, bodoh! Walaupun aku robot, tapi aku hasil dari mutasi genetik hewan. Jadi aku punya sel hewan dan evolusi tingkat kecerdasan setara manusia, makanya aku bisa mimpi."

Kibby berdiri di atas bantalnya dan berlagak sok menjelaskan dengan gaya profesor. Chiko mengangguk-angguk seperti orang bodoh. Muncul sudut perempatan di kening Kibby. Dia sewot seketika.

"Dasar bodoh! Kau itu benar tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, sih?"

Dia menjitak kepala Chiko dengan keras. Otomatis Chiko memegangi kepalanya yang benjol akibat dipukul keras oleh Kibby. Dia juga ikut berwajah sewot.

"Aduh, sakit! Jangan memukul kepalaku dong! Aku memang benar-benar tidak tahu."

Kibby menghelakan napasnya sambil berbisik, "Aku benar-benar bernasib buruk mendapatkan majikan yang bodoh sepertimu."

"Eh, kau bilang apa?"

"Dasar majikan bodoh! Hahahaha!!"

Dia melompat dan berlari menuju ruang makan sambil tertawa cengengesan. Pintu kamar terbuka otomatis saat dia keluar. Kamar Chiko berada tepat di ruang keluarga yang bersatu dengan ruang makan dan dapur. Sang majikan segera mengejarnya. Pintu kamar terbuka lagi.

"Hei, tunggu kau, dasar kucing jelek!"  Dia berlari mengejar Kibby dengan hati yang sangat dongkol.

***

Senin, 06.00 AM

Ayah sedang membaca koran digital di ruang makan dan Chiko mengejar Kibby yang berputar-putar mengelilingi Ibu yang sedang memasak. Sehingga membuat ibu bingung melihat mereka.

"Eeehh... eeehh, jangan berlarian begini dong. Mengganggu Ibu sedang memasak ini!"

"Habis si Kibby nakal, Bu."

"Chiko yang nakal, Bu. Bukan Kibby."

"Iya deh, kalian berdua yang nakal."  Ibu tersenyum sambil memegang mangkuk yang berisikan makanan mentah. Sehingga Chiko dan Kibby berhenti berlari.

"Lho, kenapa begitu sih?" kata Chiko dan Kibby bersamaan dengan ekspresi terkejut dan bingung.

Sang ayah menghentikan aktivitas membacanya sejenak. Dia duduk di kursi di dekat meja sambil ditemani secangkir teh hangat. Kedua tangannya memegang techno book yang menampilkan informasi kabar terbaru melalui koran digital yang dimuat di suatu situs internet. Dia sudah berpakaian rapi karena akan bersiap-siap pergi bekerja sebagai wartawan. Dia melihat ke arah Chiko dan Kibby.

"Hahahaha... Tumben pagi-pagi kalian sudah bangun?"

"Iya nih tumben, tuh sudah jam 6, Chiko cepat mandi, nanti telat ke sekolah lho."

"Baik, Bu!"  Chiko mengangguk pelan dan berjalan cepat menuju kamar mandi.

***

Kota Mika, 06.30 A.M

Pagi yang cerah. Matahari muncul menyinari kota lalu tersenyum pada seisi alam. Suasana masih terasa dingin. Di jalanan kota tampak masih sepi. Hanya beberapa orang yang lalu lalang. Lampu jalanan masih menyala. Satu persatu kendaraan lewat di jalan lebar yang hening.

Kota itu bernama Mika. Kota besar yang dipenuhi pepohonan hijau dengan gedung-gedung futuristik. Kendaraan-kendaraan terbang tampak lalu-lalang melintasi atas kota.

Udara pagi terasa segar sekali. Jauh dari pencemaran udara karena tidak ada industri-industri yang dibangun di kota Mika. Berbeda dari kota-kota lainnya, yang masih dikepung dengan polusi. Terlihat Chiko dan Kibby lewat menyusuri trotoar yang sepi. Kibby kelihatan sangat lesu. Ia memilih berjalan gontai. Chiko memprhatikan kucing peliharaannya dengan seksama dan bertanya.

"Kibby, kenapa kau? Aku perhatikan dirimu aneh tidak seperti biasanya."

Biar pun bodoh begitu, Chiko peka dan jeli dalam mengamati objek. Dia sangat perhatian jika mendapati sesuatu yang menurutnya aneh. Terutama pada Kibby yang mendadak diam seperti ini.

Biasanya Kibby akan berjalan dengan penuh semangat jika dia pergi ke sekolah bersama Chiko. Bahkan dia akan berceloteh sepanjang perjalanan hingga membuat Chiko kewalahan mendengarnya. Dia sangat bawel dan cerewet. Lebih banyak berbicara tentang apa saja dan Chiko tidak akan bisa mendapatkan kesempatan untuk berbicara sedikit pun. Chiko akan memilih diam dan menutup telinganya rapat-rapat agar tidak mendengar ocehan panjang si kucing menyebalkan itu.

Tapi, hari ini, Kibby kelihatan lesu sekali. Ada apa gerangan yang terjadi padanya? Hal itu mengundang rasa penasaran Chiko muncul. Kibby tertawa kecil sambil melipat tangannya dan disanggah di belakang lehernya. Menjawab pertanyaan Chiko dengan nada riang.

"Wah, tumben, majikanku yang bodoh ini perhatian padaku. Hihihi... Tidak ada apa-apa kok."

"Ah, jangan bohong. Biar bodoh begini, aku bisa lihat sorot matamu sedang memikirkan sesuatu. Apa yang kau pikirkan?" Sang majikan menatapnya dengan intens. Membungkam mulut si kucing untuk beberapa menit. Si kucing terdiam dan membatin di dalam hatinya.

“Waduh, kenapa dia tahu ya aku sedang memikirkan tentang sosok jubah misterius tadi malam, bahaya nih kalau dia bisa tahu pikiranku.

Menepis perasaan gelisahnya akan mimpi itu, Kibby berwajah sewot dan berkata kasar pada Chiko, "Ah, kau sok tahu...."

"Dasar, HERO menyebalkan!"

Tiba-tiba, terdengar suara teriakan yang keras, "TIDAK....TIDAK!" Teriakan itu sangat mengagetkan mereka berdua. Mereka berhenti berjalan sebentar.

"Suara apa itu tadi?"

"Kelihatannya, asal suara itu ada di kerumunan orang itu. Ayo, Kibby, kita ke sana!!"  Chiko menunjuk ke arah kerumunan yang berada di depan suatu gedung. Dia segera berlari menuju kerumunan itu.

"Oke!"  Kibby juga mengikuti Chiko dari belakang sambil berlari menuju kerumunan.

Beberapa menit kemudian, Chiko dan Kibby menerobos kerumunan dan melihat hologram pelindung transparan berbentuk sinar laser merah yang bertuliskan ‘police line’  untuk tanda keamanan polisi di gedung TKP. Suasana sangat ribut karena telah terjadi sesuatu di depan gedung yang telah dibatasi oleh hologram pelindung transparan itu. Orang-orang tampak penasaran dan ingin mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" Chiko berwajah keheranan.

"Apa-apaan ini!?" Kibby memelototkan kedua matanya saking kagetnya setelah melihat semua ini.

Dari arah dalam gedung, seorang wanita muda meronta-ronta dikawal dua petugas kesehatan dan ada polisi yang masuk ke gedung. Wanita muda itu tampak ketakutan sekali. Wajahnya syok.

"Tidak... Tidak... Tolong aku! Mata merah besar telah membunuh kekasihku! Dia akan menyerangku lagi nanti, tolong aku!!" Dia terus meronta-ronta seperti orang gila  dan seluruh pakaian yang dikenakannya sudah sobek-sobek.

"Tenanglah, Nona. Kami akan menjaga Anda," ucap salah satu petugas menenangkan wanita muda itu dan memasukkannya  ke dalam ambulans yang terparkir di tepi jalan besar. Mendengar perkataan wanita muda itu, semua orang kaget sekali. Terutama Chiko dan Kibby.

"Pembunuhan? Penyerangan? Mata merah besar? Apa arti dari semua ini?" seru Chiko dan Kibby bersamaan disertai kedua mata yang membulat.

***