Misi Empat Cinta

Misi Empat Cinta

KejoraAnaphalisia

5


Hening ruangan UKS yang beraroma mint ini semestinya menenangkan siapa pun yang tengah beristirahat. Alih-alih memejamkan mata, Kiana justru begitu gelisah karena perawat UKS yang berada di mejanya terus saja melemparkan pertanyaan yang membuat gondok.

Masing-masing ranjang disekati dinding tipis sementara bagian depan terbentang tirai yang kapan pun bisa disibak. Namun, Kiana tetap membiarkan ruangannya tertutup demi menghalau gangguan Bu Winda. Sayang, beliau tidak menangkap sinyal keengganan Kiana.

“Kamu benaran enggak pengin pulang? Ini menstruasi pertamamu, loh. Bisa-bisa, kamu cuman rebah sepanjang waktu, sulit untuk beraktivitas seperti biasanya karena tertahan kram perut yang menyiksa.”

Kiana merasa semakin merasa buruk dan ingin kembali saja ke kelas. Ini bukan tempat terbaik seperti yang direkomendasikan sebagian teman-teman. Sejak tadi, Bu Winda terus saja mengungkit tentang kram perut, pusing, dan sejenisnya. Kalau semua diungkit, nyeri yang dideritanya mana bisa berkurang.

Sepertinya Kiana membutuhkan saudarinya. Untuk itu dia meraba-raba ranjang agar bisa menemukan ponselnya. Ketika mengetikkan chat untuk Chiara, terdengar derap langkah yang mendekat. Lekas, dia meletakkan lagi ponsel dan memejam.

Tirai tersibak, disusul suara khas yang membosankan. “Kiana, kamu tidur, ya?” Di dalam hati, Kiana berharap akting tidur ini cukup meyakinkan.

Mulanya, tangan Kiana disentuh dengan lembut. Kemudian diguncang beberapa kali oleh Bu Winda. Itu membuatnya melepas lenguhan dan membuka mata. Seraya mengerjap, Kiana mencicit. “Aduh.”

“Oh, syukurlah. Saya kira kamu pingsan, loh. Dari tadi saya ajak ngobrol enggak direspons sama sekali.” Napas lega terembus dari Bu Winda. “Ya, ampun. Mukamu sampai pucat. Trus, perutmu masih sakit?”

Bolehkah Kiana menjawab bahwa Bu Winda yang membuatnya makin tersiksa? Akan tetapi, dia masih harus melanjutkan akting tadi. “Sudah waktunya pulang, ya, Bu?” Kiana mengedip beberapa kali, lantas memicing ketika melihat ke belakang bahu Bu Winda.

Perawat yang sedang mendekati nakas tersebut mengulum senyum prihatin. “Belum. Sebenarnya, kamu malah belum ada sejaman di sini.” Dengan kepala terteleng, Bu Winda mengajukan sebuah usul. “Mungkin sebaiknya saya menelepon orang tuamu agar datang menjemputmu.”

Itu bukan solusi terbaik. Papa pasti cemas dan berpikir yang macam-macam. Dengan halus, Kiana menolak. “Makasih, Bu. Kayaknya aku pengin lanjut tidur lagi, deh.”

“Kian, jangan terlalu memaksakan diri.” Bu Winda mengeluarkan ponsel dan menatap. “Jam segini, papamu mungkin masih mengajar. Saya mengirimkan pesan saja kalau begitu.”

Refleks, Kiana melirik di sekitarnya. “Eh, anu.” Dia melihat ponsel tak jauh dari pinggangnya. Setelah berhasil menjangkau, bendah pipih tersebut ditunjukkan pada Bu Winda yang tampak kebingungan. “Papa kalau ngajar biasanya matiin ponsel. Lagian, aku masih bisa tahan, kok. Chia juga bisa kuminta ke sini.”

Bu Winda diam. Ada ketidaksetujuan terlihat dari dahi yang berkerut di wajah beliau. Kiana menekan nomor Papa. Terdengar suara operator yang menjawab. Dia menjelaskan, Papa akan mengecek ponsel saat tengah hari. Setelah berhasil meyakinkan bahwa dia sungguh bisa bertahan, Bu Winda tidak lagi merecoki. Beliau pun mengamini keinginannya untuk menelepon Chia agar ke tempat ini.

Tak lama, Bu Winda izin ke koperasi sebentar. Sepeninggal beliau, Kiana mengirimkan chat pada Chiara. Lalu, dia rebah sembari memandang langit-langit ruangan bercat biru ini. Adegan pagi tadi berputar di benaknya. Saat upacara, perutnya sakit. Padahal, tidak ada yang salah dengan sarapannya. Begitu upacara berakhir, dia bergegas ke toilet. Bercak darah di pakaian dalam mengejutkan Kiana. Begitu saja, dia menjeritkan nama Chiara keras-keras.

Chiara lantas menyarankan agar Kiana tak perlu hadir saat jam pelajaran pertama. Tentu saja, Kiana patuh. Bagaimana pun juga, Chiara sudah mendapatkan pengalaman haid pertama. Hanya saja, Kiana tidak betah di ruangan ini.

Beruntung, Chiara muncul jauh sebelum Bu Winda datang. Kembarannya langsung mendekatkan punggung tangan di kening Kiana. “Oh, enggak demam.”

“Aku memang enggak demam, kan?” Kiana perlahan bangkit.

“Ngecek doang. Kamu lemes begitu. Eh, ngapain bangun segala? Mending tidur lagi. Mumpung sepi, nih.”

Kiana memberengut. “Sudah enggak mood. Lagian, aku lapar. Yuk, aku pengin kabur sebelum ketahuan Bu Winda.”

Mereka tidak kembali ke kelas, melainkan menuju taman belajar yang jaraknya begitu dekat dengan gedung kelas sepuluh. Area yang lebih sering difungsikan sebagai tempat tongkrongan siswa kelas sepuluh tersebut mulai ramai. Kursi beton di sana-sini mulai terisi. Kiana menunjuk dudukan melingkar berundak yang diteduhi Pohon Cinta.

Kiana duduk bersila sembari menjangkau isi kotak bekal Chiara. Sandwich isi tuna buatan Papa. Kalau tadi Chiara tidak berinisiatif membawa sedikit, mungkin salah satu dari mereka harus berdesakan di kantin.

“Papa kehabisan baterei kayaknya, nih.”

Walaupun masih tidak nyaman, sandwich yang kini dilahap Kiana mengisi perut kosongnya. Dia menggigit sandwich, lalu melengak pada Chiara yang memainkan ponsel. Setelah berhasil menelan, Kiana bersuara. “Tadi Bu Winda, sekarang kamu juga punya inisiatif pengin menelepon Papa.”

“Percaya, deh, kamu enggak bakalan sanggup bertahan di sekolah.”

Kiana yakin tidak sedang ditakut-takuti. Chiara berkomentar berdasarkan apa yang pernah dialami. Kiana melihat sendiri, sepanjang waktu, kembarannya lebih banyak berbaring. Rasa ngilu itu kini menghantamnya.

Ponsel dalam genggaman Chiara diletakkan di sisi kotak bekal. Dia bersuara, “Kalau pun keukeuh tetap di sini, Papa harus tahu kamu lagi dapet. Aku bisa mengurusmu dengan baik, kok.”

Saudarinya memang terbiasa mengurus orang lain. Jadi, Kiana semestinya tidak khawatir. Namun, apa yang sedang dirasakannya pasti dirasakan pula oleh Chiara.

“Enggak senyeri itu, kok.” Chiara kemudian tertawa. Dia menangkap dengan jelas keresahan Kiana. “Beneran! Justru, aku tuh bingung. Kamu ngotot enggak pengin memberitahu Papa, tapi sekarang, kamu gelisah.”

Pundak Kiana melorot. Kegelisahannya sulit lenyap karena… kejadian ini malah menimpanya di sekolah. Dia jauh dari Papa yang dapat menghadapi apa pun dalam keadaan sigap. Kondisi yang dialaminya akan menjadi bencana andai tak ada Chiara. Jujur, dia senantiasa bersikap tenang padahal yang ingin dilakukannya adalah mengeluh dan menangis sepuasnya.

 “Coba kejadiannya kemarin atau pagi sebelum kita berangkat.” Kiana memperhatikan daging tuna yang tercampur sosis bakar.

 “Oke, aku chat Papa. Semoga bakal dibaca secepatnya.”

 “Eh, sekalian aku pengin nitip–”

Chiara tersenyum semringah. “Shasimi sama kentang goreng! Mending sepaket sama minumannya, Kian. Um, jus avokad, kan?”

Makanan memang bisa mengembalikan suasana hati Kiana, tetapi, “Tadi aku pengin bilang dibeliin perlengkapan itu. Tapi, Shasimi kedengarannya enak. Minumannya ditambah dong, Chia. Cokelat hangat gitu.”

Alis Chiara berlekuk. “Papa enggak menganjurkan cokelat. Katanya bisa bikin enggak mood.”

Dalam diam, Kiana mencatat informasi tersebut seraya mengulurkan tangan demi menjangkau sandwich berikutnya. Teringat jika Chiara belum menyentuh makanan semenjak tadi, Kiana mendadak menarik lagi tangannya.

“Habisin aja, Kian. Aku kenyang, tadi makan soto ayam di kantin.”

“Loh? Tadi ada jam kosong sampai kamu ada waktu buat makan segala?” Wah, bisa-bisanya Chiara malah melipir ke kantin, bukan menjenguk dirinya di UKS.

“Pak Awal cuman ngasih satu soal, lalu pamit karena harus mengurus hal yang mendesak. Soal satu nomor itu pun aku ngerjainnya asal-asalan karena kelaparan pengin banget ke kantin. Maaf, kalau aku enggak sadar kamu justru tersiksa di UKS.” Benda pipih kepunyaan Chiara kini ditegakkan agar Kiana bisa membaca chat yang ditujukan pada Papa. “Kelar makan, kamu pengin ngapain? Saranku jangan ke kelas.”

“Aku enggak mau balik ke UKS.”

“Ke perpus kalau begitu?”

 Perpustakaan terdengar jauh lebih menarik. Pegawainya ramah dan begitu mengerti kondisi pengunjung yang biasanya sekadar ingin menumpang untuk rehat. Tentunya, Kiana bisa melepas bosan dengan mencari bacaan terbaru kalau dia tidak tidur.

“Di UKS saja, ya. Kalau ada keluhan, kan, bisa diatasi sama Bu Winda,” Chiara membujuk.

Helai daun jatuh bersamaan dengan Kiana yang mengembuskan napas. Daun berwarna hijau segar tersebut menyedot perhatiannya untuk melengak pada batang pohon yang menjulang di hadapan mereka. Spot paling menarik dari taman ini adalah keberadaan Tabebuya pink ini. Namun, istilah Pohon Cinta lebih familier. Bukan karena beragam mitos yang menyertainya, asal-usul penamaan tersebut lebih karena ranting-ranting tidak simetris yang jika dilihat sekilas akan membentuk hati. Saat lagi lebat-lebatnya, dari jarak jauh pun, bentuk hati tersebut begitu jelas terlihat.

“Bu Winda memang agak nyebelin, sih.” Suara Chiara kembali terdengar. “Dia terlalu suka ngomong, enggak peduli pasiennya pengin goleran tanpa diganggu dengan obrolan enggak jelas.”

“Aku bukannya enggak suka sama kebiasaannya.” Chiara pasti tahu bukan gangguan seperti itu yang membuat Kiana tidak betah berdiam lebih lama di UKS. “Kamu enggak tahu apa yang tadi ditanyain Bu Winda.”

“Aku punya gambaran.” Chiara menyimpan ponsel dan menjawab. “Terakhir kali ke sana, beliau nanya kenapa Papa kita yang ganteng bisa-bisanya masih jomlo.”

Decakan panjang tersembur dari mulut Kiana. Dia tak menyangka Chiara akan menyembunyikan fakta itu. Dua tangannya kini terjulur demi menjawil pipi saudarinya. “Trus, kamu masih nyuruh aku ke sana, padahal ada orang super nyebelin yang kepo banget sama urusan orang lain?”

“Kian!” Chiara melepas tangan adiknya. “Aku tuh cemas. Kalau kamu ke perpus, ujung-ujung bakal disaranin ke UKS juga, loh. Aku cuman enggak pengin kamu drop.”

“Seenggaknya, kamu wanti-wanti gitu biar aku menyiapkan diri dan enggak bete.”

“Ya, aku lupa.” Ponsel Chiara mendering. Dua pasang mata bersaman terpaku pada benda tersebut.

Tanpa disangka, Kiana yang merampas ponsel dan menjawab. “Papa!”

***