"Kenapa, cita-cita itu perlu?" Pertanyaan Bu Guru di depan kelas tak ditanggapi seorang pun. Manusia penghuni kelas 12 IPA 2 di sana, justru sibuk saling menyikut, melempar pertanyaan Bu Guru hingga ada yang mengangkat tangan.
"Kalau gak ada cita-cita, gak bakal ada lagu Sakitnya tuh Di sini, Bu!" jawaban super ngasal dari Haechan, sukses menggelak tawa.
"Anak-anak, cita-cita itu adalah impian atau tujuan hidup yang hendak kita capai. Punya cita-cita itu artinya kita punya gambaran mimpi kita di masa depan. Dan jika kita punya mimpi, pasti kita akan memperjuangkannya meski gagal berkali-kali."
"Tapi mimpi kayak doi, Bu! Udah diperjuangin malah jatuh ke pelukan orang lain."
"Jaemin curhat?" cibir Jeno yang kembali mendera tawa seisi kelas.
Beruntungnya, Bu Irene berusaha sabar mengajar di kelas IPA rasa IPS ini. "Apa yang Jaemin bilang itu bener kok! Coba kalian bayangin mimpi kalian itu adalah gebetan, target yang mau kalian jadiin pendamping hidup! Pasti kalian bakal lebih semangat ngejarnya."
"Percuma Bu, gebetanku terlalu sulit buat di capai!"
"Memang gebetannya Haechan siapa?"
"Bidadari Syurga!"
"Heh! Setan gak boleh jatuh cinta sama Bidadari, cinta terlarang namanya!"
Haechan mendelik pada Renjun yang tengah tersenyum lebar, hampir ada perang dunia ketiga jika Bu Irene tak kembali membuka suara. "Renjun, tolong mulutnya di jaga, ya!"
"Maaf, Bu!"
"Ibu bakal bagi form cita-cita juga rencana belajar yang bakal kalian lakuin kedepannya. Tolong diisi dan di kumpul ke Jeno hari Jum'at nanti," kata Bu Irene sembari memberikan kertas kosong pada Jeno selaku ketua kelas untuk dibagian pada teman-temannya.
"Dijadiin bungkus gorengan boleh, nih."
"Ini termasuk tugas wajib, jangan ada yang skip, apalagi jadi bungkus gorengan. Paham?!" Ucapan Bu guru sukses membungkam telak gumaman Haechan—yang sayangnya terdengar jelas.
"Paham, Bu!"
***
Haechan duduk lesehan di teras pos satpam sembari menunggu jemputan Renjun dan Jaemin datang. Jeno sudah siaga di atas motornya sembari bermain game online, sementara Haechan tengah membaca satu persatu form 'Rencana Mimpi' yang Bu Irene beri tadi.
Teman-temannya sudah mengisi, namun jawaban mereka sangat jauh dari makna mimpi yang harus di capai. Termasuk, mimpinya sendiri.
"Kang Parkir masih ngeliatin itu?" Haechan menoleh pada Jaemin.
"Gue aneh aja."
"Sama mimpi kita?" timpal Jeno tanpa mengalihkan pandang dari ponselnya.
"Yaiyalah, lagian kenapa kalian pada ngisi ngasal, sih?"
"Kayak sendirinya enggak aja. Apa-apaan cita-cita kok tukang parkir?" dengus Renjun setengah mencibir.
"Eh, emang apa yang salah dari tukang parkir? Jadi tukang parkir itu enak. Punya banyak mobil sama motor padahal kerjanya cuma niup peluit dan teriak maju-mundur kiri-kanan. Buat ngambil lagi kendaraan yang di tahan juga gampang, tinggal ngasih duit kembalian, kita udah boleh pergi. Mulia banget gak, tuh?!"
"Ya emang itu jobdeksnya, dodol!" dengus Jeno, menonaktifkan ponselnya dan fokus pada obrolan mereka.
"Terus korelasi antara kerjaan kang parkir sama cita-cita lo apaan?" tanya Renjun.
Haechan tersenyum tipis, pandangannya mengawang pada burung gereja yang mulai pulang ke peraduan. "Gue mau kayak tukang parkir, yang gak pernah ngerasa tinggi sama apa yang dia milikin. Karena apa yang saat ini dalam genggaman, cuma titipan yang suatu saat nanti bakal di ambil kembali oleh pemilik-Nya. Gak perlulah gue mimpi jadi pemimpin. Toh, jadi tukang parkir pun belum tentu amanah, gimana mau jadi pemimpin walau jaminannya syurga?"
Hening seketika, suasana obrolan sore yang Haechan bangun mendadak terlalu dalam untuk membicarakan mimpi yang katanya harus dibuat setinggi mungkin.
"Lo gimana, Min? Serius mau langsung nikah abis lulus SMA dan jadi ayah yang baik?"
Jaemin mengangguk semangat. "Soal nikah gue gak tau mau nikah sama siapa, sih." Ia tertawa sesaat. "Tapi gue beneran mau jadi ayah yang baik buat anak-anak gue nantinya."
"Jadi bapak rumah tangga maksud, lo? Kerjaannya di rumah mulu. Kalau gak makan, tidur ya ngurus burung atau ayam!"
"Gak gitu, Jun!" dengusnya, "tapi jadi seorang ayah itu kayaknya hebat banget. Mungkin ayah gak punya syurga di telapak kakinya, tapi ayah itu bisa jadi cinta pertama buat anak perempuannya juga pahlawan buat anak laki-lakinya. Dengan kata lain, ayah artinya pelindung, tameng terbesar dalam keluarga. Dan gue mau jadi ayah yang kuat buat ngelindungin keluarga gue di masa depan sampai tua."
Senja seolah mendukung deeptalk para siswa kelas 12 itu. Menjadikan waktu sepi sebagai peluang untuk mengungkap rasa yang selama ini terpendam di hati.
"Kalau lo, gimana No?" Jaemin mengganti topik, menjadikan Jeno alih atensinya. "Kenapa pengen jadi badut? Padahal lo ganteng."
"Dan gak bisa ngelucu," tambah Renjun berdasar fakta.
"Kenapa ya?" Jeno enggan menatap sahabatnya, mengalihkan pandang pada pagar sekolah untuk menutup air mukanya yang mulai berubah. "Mungkin karena badut itu simbol kebahagiaan, dia bisa bikin orang ketawa sama make-upnya yang selalu senyum lebar."
"Tapi dulu lo takut sama badut! Pas SD lo pernah nangis kejer karena liat badut, kan?"
Jeno menoleh, menggeleng dan tersenyum tipis. "Justru itu salah satu alasan gue pengen jadi badut. Mereka adalah orang yang paling kuat dalam menjalani kehidupan yang berat. Meski banyak orang yang takut sama mereka, meski banyak orang yang nganggap mereka remeh, meski kita gak tau gimana perasan mereka di balik topeng ceria itu, tapi masa kecil kita gak akan berwarna tanpa badut. Hayo ngaku lo pada pasti punya pengalaman foto bareng badut atau ngejar-ngejar badut keliling, kan?!"
"Gue pernah tuh pas masih bocah ingusan! Ngikutin badut sampai kecebur selokan!" Memori masa lalu Haechan menggelak tawa keempatnya.
Sore yang sebenarnya penuh emosi, kini berurai bahagia. Berbagi tawa guna menutup air mata yang hampir keluar.
"Tapi masa kecil kita juga diperindah dengan adanya Dora!"
"Nah, bener tuh! Cita-cita lo paling absurd, sumpah! Mana ada mau jadi Dora!"
Renjun cemberut kala teman-temannya menertawakan mimpinya menjadi Dora. Mereka ini perlu diberi pemahaman mendalam tentang makna kartun anak-anak.
"Eh, jadi Dora enak tau! Punya temen monyet tapi gak ngerepotin, punya ransel yang isinya serba guna, punya peta yang ngasih dia jalan ke tempat tujuan, juga orang tua yang sayang banget sama Dora! Seolah, gak masalah gitu anaknya berpetualang di hutan kayak gitu!"
"Ya namanya juga keluarga petualang! Wajarlah!" sela Haechan, mendengus pelan.
"Tapi kalian coba pikir baik-baik dong, korelasinya di kehidupan kita. Zaman sekarang, mana ada orang tua yang ngebiarin anaknya keliaran bebas, punya temen manusia tapi kelakuan kayak monyet. Juga ... Dora itu selalu tau bakal kemana dia, alias punya tujuan. Karena itu gue mau jadi Dora, yang bebas dalam ngejalanin kehidupan tapi tau arah tujuannya."
Haechan tersenyum tipis, menepuk bahu Renjun pelan dan mengusapnya. "Jun ... Kita masih bergantung sama orang tua, jadi selama itu gue minta lo buat bertahan, ya! Gue yakin, lo pasti bisa kayak Dora!"
Anak itu tengah dalam mode waras. Karena biasanya, hanya ada keributan antara Haechan dan Renjun. Namun bagaimana pun juga, yang namanya sahabat sudah seperti kerabat sedarah. Dan Renjun balas tersenyum, mengangguk yakin nan penuh semangat dengan mata berkaca-kaca kala sebuah mobil hitam muncul di depan gerbang sekolah.
"Hore! jemputan gue udah datang," katanya lesu namun masih memaksakan senyum.
"Yaudah sono pulang, lo!" Haechan kembali dalam mode musuhnya, mendorong pundak Renjun setelah tadi bersikap lembut.
"Ngusir, lo?" desis Renjun, membawa tas gendong super beratnya—yang Haechan taksir setara gas elpiji tiga kilo—dan berjalan menjauh.
"Hati-hati tasnya meledak, Jun!"
Renjun mendengus, membalas lambaian tangan teman-temannya, menyapa sang sopir yang sudah membukakan pintu penumpang untuknya.
"Kita langsung ke tempat les kan, Den?"
"Tapi Mama sama Papa baru pulang dari Bali, mereka gak minta aku buat skip les?"
Sang sopir menggeleng. "Tuan Chanyeol cuma nyuruh saya ngikutin jadwal biasa."
Genggaman Renjun pada tali tasnya mengerat. Ia menghela napas berat, menggigit bibir bawahnya untuk menahan sesak yang mendorong tangis untuk keluar dan menggantinya dengan senyum getir.
Renjun harus bertahan, sebelum benar-benar siap menjadi Dora.
Sesaat setelah mobil Renjun menghilang dari gerbang sekolah, dua mobil lain datang. Satu berwarna putih dan silver. Mobil Silver tiba lebih dulu, memunculkan seorang pria baya yang tampak bahagia menatap ke area halaman sekolah.
Bertepatan dengan itu, siswa SMA lain yang merupakan adik kelas Haechan tampak berlari penuh semangat, menyambut sang pria baya dengan meneriakkan kata Ayah yang membara.
Jeno dan Haechan buru-buru melirik Jaemin yang tampak mengeraskan kepalan tangannya. Mengelus pundak remaja itu, membantunya menguatkan.
"Ayah kenapa gak bilang mau jemput Minhee?" tanya adik kelas itu, memeluk sang pria baya.
"Kan biar kejutan!"
"Ayah ini suka banget bikin kejutan buat aku, ya!"
"Oh tentu ... jagoan kesayangan ayah!"
Jaemin tak tahu bagaimana ia harus berekspresi. Perasaannya campur aduk, marah, kesal dan rindu. Terutama kala pria baya itu melirik ke arahnya dan memberikan senyum tipis yang dulu Jaemin pikir adalah hal termanis dalam hidupnya. Kini rasanya, Jaemin ingin berlari dan melayangkan tinjuan manis pada pria yang bahkan tak ingin ia sebut sebagai seorang ayah.
"Nana! Ayo pulang!" teriakkan Bunda dari mobil putih menyadarkan Jaemin. Mengurungkan niat jahat yang selalu terpendam dalam pikirannya.
Namun Jaemin harus tetap tegar demi masa depannya dan Bundanya juga, balasannya nanti ia harus menjadi ayah yang baik bagi anak-anaknya.
"Tinggal kita nih ..." gumam Haechan, melirik Jeno yang sudah memakai helm dan menyalakan mesin motor.
"Yaudah pulang! Mau nginep di sekolah, lo?"
Haechan berdecak, bersiap memakai helm jika ponselnya tak mendadak bergetar pertanda telefon masuk.
"Ummi, ya?" terka Jeno tepat sasaran.
Haechan mengangguk, sedikit menjauh dari Jeno untuk mengangkat telefon dan meloudspekernya. Paham betul yang pertama muncul pasti—
"ASTAGHFIRULLAH, HAECHAN! GEURA BALIK MANEH! (Cepet pulang kamu!)"
—Teriakkan dari Ummi.
"Otw jeung Jeno, Um. (Otw sama Jeno, Um.)" balas Haechan setengah berteriak.
"Aa, pang meserkeun batagor heula di parapatan, nya! (Kak, tolong beliin dulu batagor di perempatan, ya!)"
"Nitah, miwarang, ngajajah? Meuli weh sorangan! (Nyuruh, nyuruh (halus), ngejajah? Beli aja sendiri!)" desisnya tajam.
"Ummi si Aa na tah, Um! (Ummi, Kakaknya nih, Um!)"
"Haechan, teu jadi di benerkeun siah motorna ku Abi! (Haechan, gak jadi dibenerin loh motornya sama Abi!)"
"Otw!"
Haechan mematikan sambungan telefon sepihak begitu mendengar sahutan dari dua adiknya yang lain. Punya tiga adik yang berisik memang merepotkan. Tidak heran sih, turunan dari Ummi. Namun akibatnya, sebagai anak pertama Haechan yang selalu di repotkan.
Meskipun begitu, Haechan selalu bersabar. Karena bagaimana pun juga, dari sahabatnya yang lain hanya keluarganya yang tampak normal dan biasa. Bukannya membandingkan, Haechan hanya bersyukur. Sesuai mimpinya menjadi tukang parkir, ia akan menjaga apa yang saat ini masih ada karena suatu saat nanti, kehilangan salah satu anggota keluarga yang ia cintai pasti terjadi.
"Yuk balik, Jen!"
Jeno mengangguk, mengantar Haechan pulang ke rumah dengan kecepatan tinggi bahkan sampai kena damprat dan ceramah Ummi. Namun setelah dari rumah Haechan, ia memelankan laju motornya. Mengulur waktu untuk segera tiba di rumah.
Bagi teman-temannya, rumah mungkin tempat berpulang dan tempat aman untuk berlindung. Namun hal itu tak berlaku bagi Jeno karena begitu ia membuka pintu rumah.
***
Pranggg
... Bunyi benda pecah yang pertama kali menyapa kehadirannya.
"Jeno udah pulang?" Wanita baya yang terduduk di lantai dengan penampilan berantakan itu menyapanya dengan senyum.
Jeno mengulum bibir bawahnya dan mengangguk pelan sebagai jawaban.
"Kok kamu gak bilang ayah mau pulang sore?" Pria baya itu menghampiri Jeno, merangkulnya dan membawanya ke ruang keluarga yang sudah kacau.
"Tadi nemenin Renjun nunggu jemputan dulu."
"Ada cerita lucu apa hari ini di sekolah?" Ibu memulai topik pembicaraan yang sudah menjadi makanan sehari-hari Jeno tiga bulan terakhir ini. Dan selalu, beliau melakukan hal itu sembari mengambil sapu.
"Hari ini ... bu Guru nyuruh kita buat nulis cita-cita ... Eh, masa Haechan mau jadi tukang parkir, Jaemin jadi ayah, terus paling nyeleneh Renjun! Mau jadi Dora!"
Seketika, ruang keluarga yang kacau itu dipenuhi gelak tawa dengan cerita Jeno.
"Terus cita-cita Jeno mau jadi apa?"
Senyum palsu itu lagi-lagi terkukir di wajahnya. "Polisi dong, biar sama kayak Ayah!"
Nyatanya, Jeno telah menjalani mimpi yang ia tulis. Kehidupannya kini layaknya badut. Dan tak pernah ada yang tahu atau peduli tentang isi hati, juga mimpinya.
Namun dari semua mimpi yang sahabatnya utarakan hari ini, ia memperoleh kesimpulan. Bermimpilah dari hal terkecil yang ada di lingkungan sekitar. Dari sana, mimpi bisa ditemukan. Mimpi yang akan membuka pintu pada sebuah kesuksesan.
Jadilah pemimpi bukan pemimpin.
***
TAMAT