Sesosok wanita bersetelan blus putih dipadukan rok spandek selutut terlihat keluar dari mobil fortuner silver. Setelah yakin mengambil semua pernak-pernik desain yang setengah jadi dari bangku penumpang, dirinya kemudian berjalan menutup rapat garasi dari arah luar.
Gita Niadanti, perempuan berusia 29 tahun menikmati hidupnya yang sibuk dan merepotkan. Kesibukannya sebagai arsitek di kantor swasta dan merangkap sebagai ibu rumah tangga dan istri yang siaga. Walaupun banyak waktu dan pikiran yang tersita untuk pekerjaan, Gita terus berusaha untuk selalu ada bagi suami dan putri semata wayangnya jika mereka sedang membutuhkan.
Suaminya yang bekerja sebagai owner perusahaan elektronik lebih memiliki waktu luang. Sebagian kegiatan yang seharusnya dikerjakan bergantian, seringkali di serahkan seluruhnya pada Gilang Abidarma. Termasuk mengantar jemput anak perempuannya –Sesilia Abidarma, di sekolah TK setiap hari.
Gita merasa sangat beruntung memiliki suami seperti Gilang, walaupun mereka nikah muda, tak menjadikan keduanya bersikap kekanakkan dan saling menyalahkan. Selama 5 tahun rumah tangganya berjalan, Gita merasa bahagia hidup bersama dengan lelaki itu.
Mereka dipertemukan 10 tahun yang lalu lewat kebetulan atau memang takdir Tuhan yang sudah digariskan? Tapi yang pasti mereka menikah atas dasar cinta. Bukan karena perjodohan paksa atau perjanjian di atas kertas.
Gilang memberi leluasa diri Gita untuk bisa berkembang dan terus menggali potensi diri walaupun mereka sudah berkeluarga serta memiliki seorang putri. Awal mula Gita kembali masuk menjadi arsitek pun karena dukungan Gilang yang merasa istrinya menjadi kurang ceria.
Namun akhir-akhir ini semua berubah, Gita tidak tahu kenapa, tapi segala hal yang menjadi bahan pembicaraannya dengan lelaki itu akan berakhir dengan pertengkaran.
Langkah cepat wanita itu perlahan melambat saat mencapai pintu, menghela napas banyak barulah Gita menggerakan engsel pintu. Setidaknya untuk hari ini, Gita berharap tidak ada pertengkaran dengan permasalahan sepele lagi.
“ Baru pulang jam segini? Di kantormu memang ngga menyediakan jam atau gimana?”
Suara bariton yang sangat Gita kenal menghentikan langkah wanita itu. Ternyata harapan Gita tidak terkabul, Gilang –suaminya, sudah terduduk tegak di sofa ruang tamu.
“ Kita bahas besok aja ya, Mas.” Alih Gita tidak mau memperpanjang masalah.
Sungguh dirinya sudah capek seharian ini berkutat dengan desain klien yang banyak revisi, tidak bisakah Gilang mengalah sekali saja dan membiarkan dirinya tidur lebih awal tanpa perlu bertengkar terlebih dahulu?
“ Kamu sadar ngga Git? Sudah semingguan ini kita bertengkar dengan masalah yang sama, kamu ngga bosen?”
Wajah tampan suaminya itu sudah mengeras, dan Gita tidak suka itu. Gita menghela napas, mengisi stok kesabaran lebih banyak.
“ Iya, tapi kamu juga tahu Mas, kerjaan arsitek memang begini.” Jawabnya lirih.
Lelaki berpakaian santai itu kini berdiri kemudian mendekat ke tempat Gita.
“ Terus dengan hal itu bisa membenarkan kebiasaan kamu yang pulang saat malam larut, Git? Ngga ada suami yang suka istrinya terlalu menomorsatukan pekerjaan dibanding keluarga! Kamu catat itu!”
Nada Gilang sudah mulai meninggi, membuat pelipis Gita berkedut. Pusing perlahan sudah merambat.
“ Mas, perlu aku ingatkan, kalau aku bekerja lagi atas izin dari Mas? Kenapa sekarang jadi masalah?” tanya Gita dengan suara kecewa.
Lelaki itu membalas dengan tawa hambar.
“ Terus aja salahin aku lagi. Iya, aku dulu yang menyuruh kamu kerja lagi, tapi dengan syarat kamu ngga lupa dengan kewajiban kamu sebagai istri.”
Mata Gita mulai memanas, “ Lupa gimana sih, Mas? Setiap ada waktu aku pasti urusin kerjaan rumah dan urus Sesil. Tolonglah Mas jangan memperbesar masalah. Aku capek habis pulang kerja.”
“ Hal ini ngga jadi masalah kalau kamu dengar perkataan aku Git.” Balas Gilang dingin.
Wajah Gita menengadah, menahan tangis yang akan tumpah.
“ Aku sudah bilang ke Mas, aku bakal resign tapi tunggu akhir bulan ini, sayang kalau aku berhenti ditengah-tengah kerjaan.” Sahut Gita bergetar.
“ Kenapa harus tunggu akhir bulan? Kamu sayang sama gaji yang diterima ngga full? Plis lah Git ngga usah mempermalukan diri kaya orang ngga punya, kamu anak orang berada dan aku pun bisa membiayai kamu.”
Suara Gilang terdengar biasa tanpa bentakan, tapi tetap saja mampu menusuk batin wanita itu.
“ Ngga begitu, Mas. Bakal banyak kerjaan yang ketunda dan dialihkan, pasti nanti perusahaan dapet protes banyak. Ngga enak akunya.”
Kini tawa Gilang kembali mengudara, tawa yang tidak bisa menarik Gita ikut tertawa.
“ Ngga enak sama perusahaan, tapi keluarga sendiri dianak tirikan. Heran jadi istri sama ibu kok ngga tau diri.” Balas lelaki itu sinis.
Genangan air mata yang terkumpul di pelupuk turun mengalir tanpa mampu Gita tahan lagi. Begitu tega suaminya mengatakan hal menyakitkan itu kepada istri yang sudah dibersamai selama ini?
Kemanakah sosok Gilang yang selalu berkata hangat padanya?
Gita menunduk dan mengelap cepat tangisnya dengan jemari. Tidak mau menunjukkan sisi lemah pada Gilang.
“ Udahlah, Mas. Ini sudah jam 12 malam, ngga baik bertengkar takut Sesil bangun. Aku bakal turuti perkataan Mas kok, tapi aku mohon sabar ya. Perlu proses juga untuk aku resign kantor.”
Untuk kesekian kalinya, wanita itu lebih memilih untuk mengalah.
Gilang hanya diam tidak menyahut. Membuat Gita akhirnya mampu melanjutkan langkah menuju kamar mereka yang berada dilantai atas. Baru saja langkahnya tepat menginjak anak tangga ke tiga, suara Gilang yang serupa peringatan jelas menerpa gendang telinganya.
“ Kalaupun kamu tetap kekeuh bekerja dan mengabaikan keluarga, aku sudah angkat tangan dan tidak peduli lagi, Git. Terserah kamu. Dan kalaupun nanti aku memilih berpaling, jangan salahkan aku saja, kamu pun punya peran sampai aku berubah.”
Tanpa berbalik, Gita mempercepat langkah menyusuri anak tangga menuju kamar mandi di kamarnya. Menyetel keran dengan volume paling kencang, membiarkan seluruh tubuhnya dihajar oleh air dingin. Barangkali bisa memadamkan api amarah yang kini bergumul di otak dan hatinya.
Gita masih tidak habis pikir, benarkah Gilang yang bicara tadi adalah sosok yang sama pernah berjanji akan membahagiakannya?