Mesin Pemotong Rumput

Mesin Pemotong Rumput

Kyza MR

4.5

Sewaktu aku masih duduk di bangku SD, salah seorang temanku bercerita tentang sebuah kecelakaan tragis yang menimpa tetangganya. Suatu sore, laki-laki paruh baya yang tinggal di samping rumahnya itu sedang membersihkan halaman belakang menggunakan mesin pemotong rumput. Nahas, baling-baling tajam mesin yang tengah berputar kencang itu terlepas dari porosnya kemudian melesat kencang dan menebas putus kedua kaki laki-laki malang tersebut.

Terlepas dari cerita itu benar atau tidak, sejak saat itu aku selalu ketakutan saat melihat mesin pemotong rumput, terutama saat mesin itu menyala. Ketika melihat ada orang yang tengah memotong rumput di pinggir jalan, aku akan memilih memutar arah atau menunggu hingga ia selesai dengan pekerjaannya, baru kulanjutkan perjalanan. Melihat baling-baling tajam itu berputar kencang, otakku selalu membayangkan ia akan lepas dari porosnya kemudian terbang ke arahku dan memotong tubuhku menjadi beberapa bagian.

Suatu pagi di hari Minggu, aku diminta ibu pergi ke kedai di pertigaan jalan yang berjarak sekitar satu kilo meter dari rumah. Saat berangkat tidak ada halangan, namun di perjalanan pulang masalah besar itu muncul. Seorang petugas kebersihan kota tengah memotong rumput yang mulai memanjang di pinggiran jalan. Deru mesinnya terdengar jelas di telinga membuat seluruh bulu kudukku berdiri.

"Trrrrr!"

Petugas berpakaian oranye itu berjarak kurang dari lima puluh meter di depanku. Aku berhenti dan duduk diam di atas sepeda.

Otak konyolku mulai bekerja. Terbayang petugas itu terus maju dan semakin dekat lalu secara tidak sengaja ujung baling-baling tajam itu mengenai aspal dan patah, kemudian patahannya melesat dengan cepat ke arahku, dan, "Croot!" tertancap tepat di jantungku.

Deg. Jantungku berdegup, deru napasku pun mulai tidak teratur. Kutarik sepedaku mundur. "Oh tidak!" bisikku lirih. Petugas itu tampak bergerak maju semakin cepat. Jangan-jangan ia sengaja ingin mendekatiku.

Saat jarakku sudah cukup jauh, barulah aku sadar bahwa petugas itu hanya maju ke tumpukan rumput panjang berikutnya. Satu-satunya yang bertingkah konyol di sini hanya aku, ia hanyalah petugas biasa.

Satu jam lebih aku menunggu, akhirnya petugas itu berhenti. Ia duduk di bangku halte bus bersama seseorang berpakaian sama yang memegang gunting panjang. Kuperhatikan sejenak dari kejauhan, aku masih ragu untuk mengayuh sepeda, takut kalau tiba-tiba ia menghidupkan mesin itu lagi. Beberapa saat kemudian, kuberanikan diri untuk maju.

"Ya ampun!" Tepat saat sepedaku berada di depan halte, petugas itu kembali berdiri dan menghidupkan mesin. Kontan saja pontang-panting kukayuh sepeda sekencang-kencangnya.

"Bruk!" Sayangnya barang belanjaan yang kugantung di stang sepeda terjatuh. "Sial!" umpatku.

Aku menoleh ke belakang. Sebenarnya jarakku dengan petugas itu sudah cukup jauh, namun aku terlalu takut untuk kembali. Saking takutnya, aku bahkan sempat berpikir untuk segera pulang membongkar celengan dan membeli barang yang baru di kedai lain, konyol sekali. Untunglah seorang pejalan kaki berinisiatif mengambilkan barang-barang yang tercecer itu dan menyerahkan padaku. Betapa beruntungnya aku, ia bagaikan malaikat penolong yang turun dari langit. Aku sangat berterima kasih sampai mencium tangannya tiga kali. Lebih konyol lagi, padahal ia lebih muda dariku.

Berawal dari suara besi menggesek batu yang terdengar saat kukayuh sepeda kembali, kemudian seseorang berteriak.

"Aaaaak!!"

Petugas berpakaian oranye itu menjatuhkan mesinnya, lalu kedua tangannya menutup wajah. "Tolooong!" teriaknya lagi.

Orang-orang mulai berkerumun. "Apa ada? Kenapa?" Beberapa orang terdengar bertanya.

Napasku kembali sesak menyaksikan darah yang mengalir di sela-sela jari petugas itu. “Ohh tidak!” Bibirku gemetar. Jangan-jangan ini seperti bayanganku. Aku ketakutan, ingin segera pergi dari sana, namun otakku penasaran dengan apa yang sebenarnya telah terjadi.

Kakiku melangkah mendekat tanpa bisa kutahan menerobos kerumunan. “Ahh!” Lututku lemas melihat wajah petugas itu, bola mata kanannya hancur dan bergelantungan, darah mengucur hingga dagu.

Aku tak sanggup lagi, kakiku gemetar, seluruh tubuhku melemah. “Bruk.” Aku jatuh tak sadarkan diri.

***

Aku berada di salah satu ruangan rumah sakit, di atas tempat tidur putih. Sepertinya ada beberapa tempat tidur di sini, dibatasi dengan tirai-tirai putih. Namun ada yang ganjil, ruangan ini tidak begitu terang, sepertinya hanya sedikit lampu yang menyala, begitu temaram.

Aku mengerjap, penglihatanku sedikit kabur. "Ah." Kepalaku juga sangat pusing. Entah sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri.

Aku turun perlahan, kusibak tirai putih di sampingku. "Deg!" Jantungku berdegup. Seseorang berpakaian oranye terbaring di sana.

 "Petugas itu juga dibawa ke sini," bisikku.

Kondisinya benar-benar parah. Darah membasahi hampir seluruh bajunya, potongan baling-baling mesin itu menancap di antara kedua matanya. Aku bergidik ngeri, namun kakiku melangkah mendekat, penasaran, "Apa ia masih hidup?" bisikku lagi.

"Trek!" Kakiku menendang sesuatu. Mataku terbelalak melihat benda tak asing itu. Ternyata mesin pemotong rumput itu juga dibawa ke sini. Belum habis keterkejutanku, tiba-tiba petugas yang tengah terbaring itu duduk. Aku melangkah mundur. Mata kirinya yang masih utuh menatap tajam ke arahku.

"Kau!" teriaknya marah, tangannya menunjukku. "Kau harus merasakan apa yang kurasakan!"

Dadaku berdebar kencang, napasku pun mulai sesak. Kuputar badan dan kabur dari sana.

"Hei! Mau ke mana kau?!"

Aku mendengar suara deru mesin, petugas itu menghidupkannya. Aku berlari sekencang-kencangnya melewati lorong-lorong gelap rumah sakit. Tidak ada satu pun petugas yang kutemui untuk dimintai pertolongan, entah ke mana para penghuni rumah sakit ini. Semakin jauh ku berlari, ruangan semakin gelap.

Lampu lorong berkedip-kedip menambah seram suasana. Aku menajamkan penglihatan agar tidak menyenggol kursi-kursi panjang yang berbaris di sepanjang lorong.

Kudorong satu per satu pintu yang kutemui. Beberapa di antaranya terkunci.

Brak!

Salah satu pintu bisa terbuka. Tak menunggu lebih lama lagi, aku melangkah masuk. Namun, pemandangan di dalamnya membuatku lebih terperangah. Ada beberapa buah ranjang yang di atasnya terbaring tubuh-tubuh kaku. Sebagian ada yang tertutup kain putih, selebihnya dibiarkan terbuka dengan luka-luka yang masih menganga di beberapa anggota tubuh.

"Sial! Kamar mayat."

Tergopoh-gopoh aku kembali keluar, terus berlari ke arah belakang. Suara derap langkah berat dan deru mesin terdengar mendekat. Hanya beberapa meter di belakangku.

Langkahku berhenti di depan pintu bertuliskan "Ruang Perawat". Aku langsung masuk tanpa mengetuk, napasku tak beraturan. "Halo! Apa ada orang?" sapaku. Tak ada yang menyahut, ruangan ini kosong.

Suara langkah berat dan deru mesin itu terdengar semakin dekat. Sangat dekat. Panik, kututup rapat pintu dan mencari tempat persembunyian. Sebuah lemari besar tempat penyimpanan obat-obatan, aku masuk ke dalamnya, meringkuk tanpa suara. Tanganku menutup mulut, mencoba bernapas sepelan mungkin.

Krriieet!

Pintu depan terbuka pelan. Suara deru mesin itu semakin jelas. "Tap tap tap." Langkah berat mendekat. Aku mulai menangis. Berharap dalam hati semoga ia tak menemukan tempat persembunyianku. Mulutku komat-kamit membaca semua doa yang kuhapal.

"Sembunyilah. Aku akan menemukanmu."

Brak! Ia menendang sebuah meja hingga tumbang.

"Akan kucongkel matamu."

Brak! Ia menendang lagi.

Aku menahan napas. Mesin menderu tepat di depan lemari tempatku bersembunyi. "Tap." Langkah itu berhenti. Seketika hening, hanya deru pelan mesin yang terdengar.

Tap tap tap. Langkahnya terdengar menjauh, terus ke dalam. Dari celah pintu lemari bisa kulihat punggungnya yang terus melangkah. Aku mengembuskan napas lega.

"Syukurlah, ia tidak menyadari tempat persembunyianku," batinku. Aku mulai bergerak, mencari saat yang tepat untuk kabur.

Trash!

Oh tidak, sebuah botol kaca pecah di bawah kakiku, aku tak sengaja menginjaknya.

"Ketemu!" Sekejap mata, petugas itu sudah berada di depan lemari.

Braak!! Ia menghantam. Pintu lemari dibuka paksa. Deru mesin pemotong rumput semakin kencang dengan gas penuh. Bisa kulihat baling-baling tajam itu berputar kencang di keremangan.

"Rasakan ini!"

"Aaaaak!"

Dapat kurasakan benda tajam itu mengoyak wajahku. Kucoba halangi dengan tangan namun ia berpindah ke perut, merobek dan mengeluarkan ususku. Organ dalam berhamburan keluar.

"Hahaha. Rasakan!"

"A-ampuuun!!" teriakku.

Logam tajam yang berputar kencang itu menuju leherku, dengan leluasa memutuskan seluruh arteri-arteri. Darah berhamburan.

"Aaarrggh!" Sebagian cairan merah kehitaman yang kental itu mengalir dari sela-sela bibirku.

Inilah akhir hidupku. Aku menutup mata. "Selamat tinggal dunia."

Sebuah tangan lembut membelai pipiku. "Boo, Taboo! Bangun, Nak."

"Mama?" Aku membuka mata. Aku sudah berada di kamarku, ternyata aku bermimpi.

"Syukurlah kamu sudah sadar. Tadi beberapa orang membopongmu pulang, katanya kamu pingsan di pinggir jalan."

"Iya, Ma." Kucoba bangun, kepalaku masih terasa pusing. "Bagaimana dengan petugas itu Ma?" tanyaku.

"Tidak begitu parah. Mama dengar mesinnya mengenai kerikil, lalu kerikil itu terpental ke matanya. Sebelah matanya jadi buta. Kasihan sekali. Seharusnya ia memakai pelindung mata saat bekerja."

"Ohhh." Ternyata tidak semengerikan bayanganku.

***

Sepuluh tahun berlalu. Semenjak hari itu aku mencoba melawan ketakutanku akan mesin pemotong rumput. Saat ini aku menjadi ketua Pengawas Tata Kota. Aku selalu bersemangat mengawasi anggotaku membersihkan rumput-rumput di taman kota. Meskipun saat ini untuk pergi ke mana-mana aku harus menggunakan tongkat semenjak kaki kananku putus beberapa tahun yang lalu.

***