Merelakan yang Pernah Disayang

Merelakan yang Pernah Disayang

Cabaca.id

4.6

Kamu, Zahra Nisa

di Ciomas

 Assalamu'alaikum,

Hai, Ra, apa kabar? Pertanyaan pembuka yang klasik, tapi memang umumnya begitu. Aku berdoa semoga kamu sehat wal ' afiat, selalu berada dalam lindungan Allah, beserta kedua orang tua dan keluargamu. Aku menulis rangkaian kalimat ini kala hujan, senja, dan empat menit lagi akan terdengar panggilan-Nya. Seperti yang kamu tahu, aku orang yang independen, dalam bahasaku. Beda sorangan kalau orang-orang bilang. Misal sedang kumpul dengan teman-teman, mereka pasti membuka telepon genggamnya lalu ber-mabar ria. Tapi aku? Menarik resleting tas, mengobok isinya, mengambil buku, lalu kubaca. Mencari pojok yang sepi, dan ber-usro ria. Aku curiga sih, saat aku bercinta dengan buku, teman-teman mengghibahi, "Di kelas cicing-cicing bae, di imah aing ente ge saruana."

Bersama tulisan ini, aku lampirkan unek-unek yang aku pendam selama setahun terakhir. Aku takjub. Kesan pertama saat memandangmu di pertemuan perdana pengurus baru DKM Al-Ikhlas. Baru kali ini melihat seorang gadis belia mampu sefasih itu mengutarakan argumen terkait ikhwal agama, bahasannya berat pula, tafsir Qur'an! Maa syaa Allah. Mungkin karena aku ingin dilirik olehmu, aku memberanikan diri berbicara. "Sebaiknya kita tidak membahas perihal makna ayat ini, lebih baik membicarakan hal yang lebih mendasar." Semua anggota mengangguk takzim, mengiyakan. Aku heran. Selain hafal ayat-Nya, mengapa bisa tindak tandukmu itu sedewasa dan searif itu? Kau ini dibesarkan dan dididik bagaimana oleh ayah ibumu? Oleh keluargamu? Saat kawan-kawan lain berjumpa dengan guru, mereka bersalaman, mencium tangan, walau kepada lawan jenis, tapi kau? Mengisyaratkan tangan dan tersenyum kepada guru dan bukan mahrammu, tidak peduli siapa mereka, selama bukan mahram, tidak ada hakmu.

Orang yang tidak sepaham denganmu mengejek, "Dasar sok suci! Kenapa sih lu ngga salim aja biasa gitu, aneh!", kau tersenyum dan menjawab, "Gua cuma berusaha taat sama Allah dan Rasul, sami'na wa atho'na, maaf kalau kalian nggak suka, gapapa ko, gua terima." Aku setuju. Masih ingat tidak kepulangan kita saat bersama naik kereta dari Kota Tua? Bersama anak kelasan itu, loh. Ashar bisa dihitung seperempat jam. Kawan lain karena sudah lelah, ya, dan tidak ingin menunggu lagi, memutuskan mau pulang secepatnya. Tapi kau bilang, "Gaes, tar lagi Ashar, nih, sholat dulu, kuy!" Lalu Rhesna kesal menjawab, "Udah eh, di Stasiun Bogor weh atuh, udah cape, cape jalan cape nunggu kereta, keburu ini sholat di sana." Dengan santun kau menolak, "Sholat di sini aja ya, Rhes, Gaes. Kalau di tempat kita berdiri udah adzan, ya dirikan di situ juga. Selain itu, umur ngga ada yang tau kan?" Kawan lain dengan wajah lesu mengiyakan saja, tapi aku beda. Bedanya, aku semakin. Dari beragam kejadian selama tiga tahun ini, pada satu tahun terakhir, aku menaruh hati dan harap padamu. Pada awalnya, aku bersikap biasa saja dengan rasa ini, lumrah, fitrah soalnya.

Tapi, mendekati masa akhir sekolah, benar-benar akhir, terhitung dua puluh tiga hari lagi menuju perpisahan, aku gamang. Sebanyak apapun kuhadapkan wajah pada sajadah, yang ada hanya wajahmu. Sesering apapun aku menyebut-Nya, suara lembutmu yang menyahut. Sekeras apapun aku membunuh rasaku, semakin ia menguasai jasadku berkali-kali lebih. Sesedih inikah ternyata yang dinamakan kebahagiaan? Bahagiaku karena mencintaimu. Bukan wajahmu, bukan. Bukan molekmu, bukan. Bukan juga karena ayah ibumu terpandang, bukan! Bukan itu semua! Aku mencintaimu karena yang kutahu engkau berusaha sekuat yang kau bisa menempatkan Allah dan Rasul-Nya di urutan pertama. Itu. Aku ini bukan apa-apa selama dihadapkan, disandingkan dengan dirimu, Ra. Aku hanya remahan roti, pemuda ingusan, kutu buku yang sok, dan anak pintar yang tanggung. Sangatlah egois jika aku menyatakan ini padamu. Menyatakan cinta padamu? Cuh! Yang ada hanya merusak indah bunga, merusak indah Zahrah, merusak indahmu. Jika benar itu akan terjadi, baiknya aku pendam saja, biar sakit aku yang tanggung, walau pedih tiada berperi. Biar hancur, lebur, menyatu dengan debu, mengalir bersama air, terbawa angin barat, menuju palung Laut Karimata. Yang terpenting aku saja yang rusak, kau jangan. Aku saja yang hilang, kau wajib untuk tenang. Aku saja yang musnah, kau terus mekar indah. Kau harus bahagia, harus. Bersama atau tanpaku, kau harus senantiasa baik-baik saja. Aku lihat di percakapan grup angkatan, mengalir deras ucapan selamat atas diterimanya kau di universitas islam ternama, dengan beasiswa di jurusan Tafsir Qur'an! Mantap jiwa! Selamat ya. Doakan aku yang harus menghadapi ujian tes masuk perguruan tinggi di jurusan favorit, Kedokteran!

Aku yakin tidak ada yang tidak mungkin selama Allah mengizinkan. Aku akan berusaha giat mengejarnya. Dan pada suatu hari nanti, jika jiwaku ini tetap sama, saat aku sudah merasa yakin dengan diriku sendiri, sudah faqih dalam agama, sudah hafal Al-Qur'an sepertimu, aku akan memakai kemeja abu warna kesukaanku, celana bahan hitam, sepatu pantofel, dan jas dokter. Bersuci dengan wudhu, menyisir klimis, dan diwangikan minyak kasturi. Mengucap bismillah dan naik angkot nol lima, jurusan Ciomas-Pagelaran yang biasa, turun di depan gang rumahmu. Mengetuk pintu, memberi salam, dan jika, hanya jika yang membuka itu ayahmu, aku akan mengatakan, "Mohon maaf, Pak, saya mengganggu. Perkenalkan saya dr. Bintang Yahasri. Maksud saya datang ke sini, saya berniat melamar putri Bapak, Zahra, Zahra Nisa." Namun justru jika Bapakmu berkata, "Mohon maaf, Dik, putri saya telah dikhitbah oleh si Fulan," Aku pasrah. Apapun yang terjadi di depan, aku tidak bisa memperkirakan, pahit atau enaknya. Yang penting intinya yang bisa aku lakukan sekarang adalah mengendalikan jiwaku, yang penuh akan nafsu, untuk memilikimu. Sekuat mungkin akan aku taklukkan ia. Memendam seperti ini termasuk dalam jihad, dan jika setelah ini, kapanpun waktunya, sebelum aku bertemu kau lagi ternyata aku dipanggil Ilahi, Insyaa Allah, matiku syahid. Begitu yang dikatakan Buya Yahya. Maaf kalau aku sok tahu, sok suci.

Hanya itu yang bisa aku sampaikan kepadamu, Ra. Kurang lebihnya mohon kau maafkan, dan semoga Allah memaafkan hamba yang kurang ini. Semoga aku ridha menerima, ikhlas melepasmu. Biar kisah kita, maksudku kisahku, menjadi kisah tentang kasih yang tak sampai, dan pasti takkan sampai isi suratku, karena setelah titik pada penutup ini, segera, pada malam hari ini, pukul setengah dua belas, aku akan berdiri di Jembatan Merah, dari sebelah lapas, mendekat ke sungai, dan kulempar gumpalan kertas putih ini. Semoga sekarang bebanku dibawanya mengalir ke laut. Wassalamu'alaikum.

Tertanda, Bintang Yahasri