Ayah.
Sosok pria perkasa yang ceritanya hanya ku dengar lewat Ibu dan Kakak.
Dulu, mereka sering bercerita tentang kegemaran Ayah yang pergi memancing dan berkemah, atau tentang dongeng-dongeng tidak masuk akal yang diceritakan setiap malam.
Orang-orang selalu bertanya, “Apa aku merindukan Ayah?”. Tapi, aku selalu menggeleng. Bagaimana bisa aku merindukan seseorang yang bahkan tidak pernah ku ingat?
Meskipun begitu, aku selalu suka cerita-cerita tentang Ayah yang selalu dilontarkan Kakak setiap malam. Bagiku, Ayah seperti pahlawan super yang hanya bisa; dilihat gambarnya, didengar kisahnya, dibuat menerka-nerka seperti apa sosoknya.
Sekarang aku sudah cukup dewasa untuk mengerti apa makna dari kata ‘rindu’, yang sering ditanyakan orang-orang itu. Tapi anehnya, aku tetap tidak punya apa pun. Rasa rindu ataupun kenangan itu, semua hanya ku lihat dari Kak Adhista.
Kakak selalu menangis saat bercerita tentang Ayah. Katanya rindu ingin bertemu, sedangkan aku hanya bisa menghela napas panjang dan memeluknya erat-erat.
13 April 2022
Nayya menyobek lembar buku harian yang baru dibacanya itu. Bagaimana mungkin semua berubah dalam kurun waktu satu tahun?
Sekarang tidak ada lagi cerita-cerita tentang Ayah, karena kini Kakak dan Ibunya sama-sama bungkam. Dia tahu ada rahasia yang hanya diketahui mereka berdua. Entah apalagi yang tidak boleh diketahui olehnya, tapi Nayya benar-benar sudah muak.
Dirinya tak mau tahu dan memihak salah satu di antara keduanya.
“Kakak antar kamu berangkat sekolah, ya?” Begitu cara Adhista menyapa Nayya yang baru saja ke luar dari kamarnya.
“Tidak perlu! Aku bisa berangkat sendiri. Lagipula sejak kapan Kak Dhista peduli padaku?”
“Apa maksud dari perkataanmu? Kapan kakak tidak peduli? Sampai sekarang kakak masih tidak mengerti apa alasanmu selalu bersikap dingin. Sebenarnya apa masalahmu?” Adhista berusaha menahan Nayya, menuntut penjelasan dari perubahan sikapnya.
“Setiap hari Kakak selalu menghindari Ibu. Lalu aku harus apa? Kalian juga tidak pernah memberiku penjelasan tentang pertengkaran malam itu. Rahasia apalagi yang tidak boleh aku ketahui?”
“Kamu tidak perlu tahu.”
“Ini pasti ada hubungannya dengan Ayah, ‘kan? Apa haknya membuat keluarga kita seperti ini? Dia pergi tanpa meninggalkan kenangan apa pun untukku. Sampai aku tidak punya apa pun untuk dirindukan dan sekarang Ayah membuatku hidup sebagai gadis paling kesepian di dunia ini.”
Plakkk
Tamparan keras mendarat di pipi mulus Nayya. Gadis itu hanya bisa meringis pelan sambil memegangi pipinya yang memerah.
“Jaga bicaramu, Nayya! Kamu tidak tahu apa-apa tentang Ayah! Jika tidak bisa mencintai Ayah, setidaknya jangan membencinya.” Nada bicara Adhista meninggi, dia paling tidak suka seseorang yang berkata buruk tentang Ayahnya, termasuk Nayya.
“Aku memang tidak tahu apa-apa tentang Ayah! Bahkan saat ini kalian berdua saling diam? Lalu bagaimana aku bisa tahu? Kakak beruntung punya banyak kenangan tentang Ayah, tapi tidak dengan aku. Kakak selalu berkata bahwa Ayah adalah pria paling hebat, dan menjadi cinta pertama Kakak. Aku tidak punya kesempatan untuk melihat punggung perkasanya itu, Kak! Jika aku membenci Ayah, itu semua karena Kakak.”
Nayya pergi sambil menangis. Sekarang orang yang dibencinya bertambah satu.
Adhista hanya bisa mematung di sana. Nayya benar, semua adalah salahnya. Dirinya terlalu egois dan hanya dibutakan oleh rasa benci terhadap Ibunya. Ayahnya mungkin adalah cinta pertama dan akan selalu dirindukannya, tapi tidak bagi Nayya.
“Maaf, Ayah. Maaf karena membuat Nayya membencimu begitu banyak.”
***
Pagi Nayya hancur total setelah pertengkarannya dengan Adhista. Dia memasuki kelas dengan mata sembab; tidak punya semangat untuk memulai pembicaraan dengan siapa pun atau memikirkan menu makan siang di kantin hari ini.
Rio—sahabat Nayya satu-satunya—meletakkan susu coklat di meja Nayya tanpa mengajukan pertanyaan apa pun. Karena menyadari kehadiran seseorang di sekitarnya, Nayya mendongak. Dirinya mengusap matanya yang basah.
“Aku bertengkar dengan Kakak.”
Rio memberikan sapu tangan yang ada di sakunya, “Minum dulu baru bicara.”
Nayya kembali mengusap air matanya dan mulai meminum susu coklat pemberian Rio.
“Kak Dhista jahat, tapi aku juga tidak lebih baik darinya. Aku bahkan berbicara hal buruk tentang Ayah.”
“Nanti sepulang sekolah langsung minta maaf, biar rasa bersalah mu berkurang. Kapan-kapan kita bisa pergi menemui Ayahmu bersama, sekaligus minta maaf di sana.”
Hanya di hadapan Rio, Nayya berani menunjukkan sifat yang sesungguhnya. Marah, tangis, bahkan rengekan layaknya anak kecil, semuanya pernah Nayya lakukan di hadapan Rio. Berbeda dari Kakaknya atau gadis remaja yang menjadikan sang ayah sebagai cinta pertama mereka, bagi Nayya, Rio adalah cinta pertamanya yang sempurna.