Menikahi Sopir Majikan

Menikahi Sopir Majikan

El Nurcahyani

0

Bab 1. Pergi ke Jakarta

Menjadi seorang single Mom itu tidak mudah, terlebih latar belakang yang menyebabkan seorang ibu harus berjuang sendiri untuk anak-anaknya karena perceraian dengan masalah yang besar. Salah satunya karena ada pihak ketiga yang merusak rumah tangga. Membuat status Ibu dan Ayah berujung tidak baik pula untuk sekedar melanjutkan merawat anak-anak mereka meski tidak tinggal satu rumah lagi.

Begitu juga dengan Kiara seorang single Mom dengan ketiga anaknya. Di usia mereka yang sedang begitu banyak membutuhkan biaya terutama untuk pendidikan. Sering terbersit untuk Kiara menikah lagi, supaya tidak terlalu berat mencukupi kebutuhan anak-anak, ditambah usia mereka masa remaja yang labil membuat Kiara cukup terkuras energi konsentrasi serta kesabaran menghadapinya. Mendidik anak sekaligus mencari biaya dalam keadaan kejiwaan belum stabil sering membuat Kiara ingin menyerah saja. Ya, Kiara masih mengalami dampak trauma dan tekanan mental akibat perlakuan mantan suaminya.

***


Malam itu sekitar pukul 21.15 Kiara berkumpul bersama ketiga anaknya di ruang makan. Sengaja berkumpul di sana supaya tidak terdengar oleh ibu Kiara atau nenek dari anak-anaknya. Sebab jika ibunya Kiara mendengar percakapan mereka selalu ada saja ikut nimbrung, hal itu membuat Kiara tidak fokus menasihati anak-anaknya yang akan ditinggal ke Jakarta, tepatnya besok dini hari.

Kiara berangkat ke Jakarta dini hari sebab agar tiba di kota tujuan masih pagi, karena dia ingin langsung ke rumah calon majikannya yang diberitahu oleh temannya yang sudah terlebih dahulu menjadi asisten rumah tangga di kota yang sama. Kiara adalah seorang janda berusia 35 tahun yang baru bercerai dua tahun lalu. Setelah pekerjaan di kampungnya tidak ada yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya, terutama untuk biaya anak-anak. Kiara nekat ke kota meskipun dengan hati waswas, khawatir karena harus meninggalkan ketiga anaknya yang sedang dalam masa pertumbuhan, terutama dari segi karakter. Takutnya jika jauh dari jangkauan Kiara, anak-anak menjadi lepas kontrol dan terbawa pengaruh pergaulan buruk.

“Ini kali terakhir Bunda ngumpulin kalian, untuk memastikan kesiapan setelah bunda tinggal ke Jakarta,” ucap Kiara mengawali perbincangan malam itu.

“Kan sudah jelas Bund, kami gak papa kok.” Si sulung Hendri, menyahut dengan gaya tengilnya. Dia memang sedang masanya labil sebagai remaja. Ini salah satu alasan yang membuat Kiara berat untuk pergi. Takut Hendri salah jalur.

Astagfirullah, Nak. Kamu belum berubah juga. Sudah sering bunda menasihati, jangan kaya ayahmu.’

Untungnya Kiara sudah bisa memahami Hendri di usianya sehingga rasa kesalnya tidak dia keluarkan.

“Oke, baiklah. Kali ini kalian benar-benar jaga diri baik-baik, ya. Jika ada masalah di sekolah, di rumah atau hal apa pun yang mengharuskan Bunda menangani atau hadir, kalian harus bisa memahami. Bahwa Bunda tidak bisa lagi semudah itu datang atau mengurusi permasalahan pada kalian. Karena sekarang Bunda kerjanya jauh dan saat nanti mengirim uang atur dengan baik ya.”

Kiara terus menasihati ketiga anaknya. Mereka harus saling menyayangi, saling memaklumi, jangan bertengkar apalagi hal sepele. Karena dengan siapa lagi mereka akan saling menguatkan jika sesama saudara tidak akur. Itu yang Kiara tekankan kepada ketiga anaknya.

“Katanya Bunda mau menikah lagi. Kenapa tidak jadi?” tanya Hendri sesaat sebelum diskusi itu ditutup oleh Kiara.

Kiara menarik nafas berat, bukan pertama kalinya Hendri membahas pernikahan. Lebih tepatnya menantang sang Bunda. Dahulu Kiara pernah menasihati saat dirinya sering disalahkan Hendri karena berpisah dari ayahnya. Mungkin Hendri mendapat pembicaraan buruk dari ayahnya saat bertemu liburan sekolah. Hingga saat pulang kembali ke rumah Kiara, perilaku Hendri kurang menyenangkan. Dia jadi pemalas, kalau disuruh suka melawan, apalagi saat neneknya berbicara atau mengingatkan Hendri, dia langsung marah.

Kiara niatnya memberi pandangan agar Hendri bersyukur bahwa Kiara masih bertahan tidak terbawa emosi karena ayahnya menikah lagi. Meskipun kebanyakan di luar sana mantan istri yang segera mencari suami lagi agar terbantu ekonominya. Namun, tidak semudah itu. Kebanyakan pula seorang istri yang bercerai menikah lagi malah masalah anak-anak terlantar, karena waktu dan perhatiannya harus terbagi dengan suaminya atau ayah sambung si anak. Dan Hendri pemikirannya belum sampai ke sana.

“Kamu belum cukup usia untuk memahami tentang hubungan kedua kali, Nak. Bahwa menikah itu bukan sekedar ijab kabul, tinggal bersama, lalu menjalani hari-hari dengan normal. Apalagi Bunda yang memiliki anak dari pernikahan sebelumnya dan suami Bunda nanti mungkin juga memiliki anak dari pernikahan sebelumnya juga. Kalau kita berdua tidak benar-benar siap, maka akan muncul masalah baru. Mungkin kalian akan merasa kurang perhatian dari Bunda, karena nantinya akan lebih memfokuskan kepada melayani suami bunda. Permasalahan lain, belum tentu suami Bunda bisa memperlakukan kalian seperti anak kandungnya, terutama dari segi biaya dan Bunda belum tentu bisa kerja juga kalau tanpa izin suami. Paham kalian?”


“Hendri biasa aja tuh, kan udah biasa nggak ada Ayah. Jadi nanti kalau ayah tiri tidak begitu perhatian ke Hendri, tidak jadi masalah. Yang penting banyak uangnya. Makanya jangan nolak kalau ada juragan-juragan yang ngelamar. Gak sayang ke Hendri gak papa, yang penting ke Bunda bisa kasih uang banyak.” Jawaban Hendri sungguh di luar dugaan Kiara.

Astagfirullah.’ Lagi-lagi Kiara menahan sabar di dalam hatinya. Semudah itu cara pemikiran Hendri, meski wajar karena belum tahu bagaimana beratnya tanggung jawab berumah tangga.

“Ya sudah, sekarang kalian tidur ya. Besok Bunda pamitan sekitar pukul 02.00 atau pukul 03.00 dini hari. Jika kalian sulit dibangunkan tidak apa-apa, yang penting Bunda sudah pamitan sekarang. Besok Bunda tetap membangunkan kalian, yang mau bangun silakan ,nggak juga nggak papa dan ini uang saku bonus dari Bunda. Dipergunakan untuk kebutuhan kalian, ya. Maksudnya boleh jajan apa pun, beli apa pun, asal jangan yang merugikan seperti merokok, kuota berlebihan, Hendri.” pesan Kiara yang diakhiri dengan tatapan tajam pada anak sulungnya, meskipun tatapan itu bukan tatapan kemarahan sebab disertai dengan senyuman.

***

“Aku pamit ya Bu doakan semoga lancar selamat dan mendapat majikan yang baik,” ucap Kiara kepada ibunya, tidak lupa mencium tangan dan kedua pipi.

“Semoga saat nanti kita bertemu lagi, kamu sudah semakin dewasa ya, Nak. Belajar yang rajin, jangan bersedih dengan keadaan. Kapanpun kalian boleh menelepon Bunda.” Kali ini Kiara berpamitan kepada kedua anaknya, Naina dan Farah.

Sedangkan Hendri dia masih tidur, sebenarnya tadi sudah dibangunkan oleh Kiara, bahkan tak hentinya sang nenek ngomel hanya untuk membangunkan Hendri. Namun, anak lelaki bertubuh kurus itu sudah kebal telinga dari neneknya, bahkan dia sama sekali tidak membuka matanya barang sejenak. Menurut Hendri, buat apa lagi berpamitan, toh kemarin malam sudah. Mengganggu tidurnya saja.

Kiara menoleh sejenak saat berada di atas motor milik salah satu ojek di kampungnya. Kiara akan menuju terminal terlebih dahulu untuk kemudian berangkat ke pool bis.

Bersambung...