Mengejar Sasi

Mengejar Sasi

Kireina Enno

5

Pemuda itu hampir melemparkan gunting rumput di tangannya ketika adiknya datang berlari-lari memberinya kabar yang mengejutkan.

 “Sudah Mas, cepat ke sana! Siapa tahu Mbak Sasi masih belum berangkat!”

 “Kamu nggak bohong?”

 “Aku nggak bohong, Mas Wira! Aku dikasih tahu Bu Rini barusan. Rumah anaknya Bu Rini di belakang rumah Mbak Sasi, kan? Kata Bu Rini, Mbak Sasi pindahan!”

 “Kamu bilang Sasi pindahan sekeluarga?” Ia masih tidak yakin. Sasi tidak pernah bilang apa-apa padanya, kecuali bahwa ia akan berangkat ke Jakarta bulan depan untuk berkuliah. Sasi diterima di Fakultas Sastra Indonesia Universitas Indonesia. “Sasi mau berangkat ke Jakarta untuk kuliah. Enggak sama ayah ibunya, Fadil!”

 “Lho, yang aku dengar mereka pindahan sekeluarga kok. Makanya aku suruh kamu ke rumah Mbak Sasi sekarang! Cepetan, Mas! Kok malah bengong!”

 Sekarang gunting rumput itu benar-benar dilemparnya ke tanah. “Kalau gitu tolong gantikan Mas dulu ya, Dil. Pangkas rumputnya yang benar soalnya yang punya halaman perfeksionis. Nanti kalau Om Tinus datang nanyain Mas, bilang Mas lagi ada perlu dulu. Oke?”

 Adiknya mengangguk dan memungut gunting rumput itu. Wira bergegas menghampiri motor tuanya, menekan gas dan ngebut menyusuri jalan yang telah dihapalnya luar kepala selama tiga tahun bersama Sasi. Rumah Sasi termasuk salah satu rumah yang paling besar dan megah di antara rumah lainnya di kawasan itu. Wira berhenti di depan pagarnya yang tertutup. Rumah itu lengang.

 Ia menekan bel. Sayang sekali ponselnya terpaksa ia jual dua bulan lalu karena butuh uang untuk menebus obat. Penyakit jantung ayahnya kumat, ditambah sakit syaraf terjepit di pinggang sehingga nyaris tidak bisa bergerak. Karena itulah Wira sibuk bekerja sana sini agar keluarganya masih bisa makan. Hari ini Om Tinus akan membayar upahnya membersihkan halaman rumahnya. Upah itu akan menggenapi uang tabungannya untuk membeli ponsel bekas.

 Wira menekan bel di dekat gerbang. Ia menunggu beberapa menit, tetapi tak ada seorang pun yang keluar. Ini hari Minggu pagi. Biasanya Sasi ada di rumah. Ia baru akan keluar setelah Wira menjemputnya agak sore untuk jalan-jalan. Mereka akan memilih taman umum untuk duduk mengobrol sembari jajan. Itu adalah kegiatan hari libur yang mereka sukai. Terkadang beberapa teman bergabung sehingga acara sore mereka lebih meriah.

 Ia menekan bel lagi. Berulang-ulang, tetapi rumah itu begitu sepi. Tirai-tirai jendela juga tertutup. Bahkan sandal-sandal yang biasa berserak tak beraturan di depan teras tidak ada.

 “Wira?”

 Ia menoleh dan melihat Bu Darman keluar dari rumahnya di seberang jalan. “Ya, Bu? Saya mau ketemu Sasi. Kok rumahnya sepi ya, Bu?”

 Bu Darman menatapnya lekat-lekat. Anehnya sorot mata tuanya tampak prihatin. “Wira mau duduk dulu di rumah Ibu? Nanti Ibu jelaskan.” Bu Darman meraih lengan Wira dan membimbingnya ke rumahnya. Ia mendudukkan pemuda itu di kursi beranda, berhadapan dengan kursinya. Setelah menghela napas, ia baru bicara. “Nak, keluarga Pak Jati Ugraha sudah pindah ke Jakarta semalam. Rumah itu sudah terjual. Ibu yang membelinya. Maafkan Ibu nggak bilang sama kamu dari kemarin. Semua tetangga di sini disuruh Pak Jati jangan bilang sama kamu. Katanya demi kebaikan Sasi.”

 Wira terhenyak lemas di kursinya. Segala emosi bergulung di dadanya. Terbayang di benaknya wajah Sasi. Sasi, kekasihnya. Ia ditinggalkan begitu saja tanpa pamitan.

***