Lawang, Oktober 1942
“Fien, jangan cepat-cepat!” Adikku terengah, setengah berlari di belakangku. Ia berhasil meraih ujung lengan gaun terusanku dan menyejajarkan langkahnya denganku. Sementara di depan kami, babu kami si Ijah berdiri menunggu dengan wajah takut-takut. Di tangannya ada tas anyaman pandan besar berisi hasil belanjanya di pasar. Sejak tadi aku menyuruhnya berjalan duluan karena koki kami orang yang tidak sabaran. Ijah tidak mau dan aku memaksanya.
“Sana!” teriakku pada Ijah. “Kubilang kau duluan saja. Mintarsih akan memasak pindang serani hari ini. Dia pasti sudah menunggu-nunggu ikannya!”
“Kenapa kita harus pulang cepat-cepat, Fien?” tanya adikku. “Kita sampai tidak sempat membeli getuk dan kue putu. Jarang-jarang kita bisa pergi ke pasar bersama-sama sejak kau sekolah di kota.”
“Kita jangan membuat orang-orang di rumah cemas, Bertha. Kalau pulang terlalu siang, mereka akan panik dan mungkin akan menyuruh beberapa jongos menyusul kita ke pasar. Lagipula salah siapa kita tidak berangkat cukup pagi?” Aku mencubit pipinya yang bulat menggemaskan. “Kita kesiangan karena menunggu kau mencari-cari dulu pita rambutmu yang jelek itu. Karena sudah terlalu siang, Ijah jadi tidak kebagian sayuran yang bagus-bagus.”
“Enak saja! Pitaku tidak jelek!” Bertha meraba pita dari satin dan renda ungu di puncak kuncir ekor kudanya. “Ini oleh-oleh Tante Connie dari Batavia!”
"Ya, ya, ya.” Aku memutar mata berlagak bosan.
Sepanjang jalan pulang Bertha begitu riang. Dia bersenandung, dan menggandeng lenganku sambil diayun-ayunkan. “Oh, Fien! Kau tahu tidak, Fien! Aku senang kau tidak sekolah lagi. Kau kembali ke perkebunan kita. Tidak usah jadi perawat Fien. Kau membantu Papa saja. Jadi kita sekeluarga bisa berkumpul seperti dulu.”
“Hus!” tukasku. “Apa kau lupa kenapa aku tidak sekolah lagi? Tentara Jepang menutup sekolahku. Kudengar mereka juga menangkap Tuan Bouman, kepala sekolahku.”
Bertha terdiam dan tampak malu. Aku menepuk lembut bahunya. Sebenarnya aku maklum ia berkata begitu polos. Adikku hanya seorang anak kecil berumur 12 tahun. Ia belum begitu mengerti bahwa Perang Dunia Kedua dimenangkan Jepang sejak serangan udara mereka berhasil menghancurkan pangkalan militer Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, tanggal 7 Desember 1941. Sekutu telah dikalahkan. Bertha bahkan belum mengerti bahwa saat ini Hindia Belanda sudah menjadi milik Jepang, dan hidup kami menjadi penuh ketidakpastian.
“Fien, Fien, Fien!” Bertha mendendangkan namaku dengan nada ceria sembari melompat-lompat dari batu ke batu di jalan yang kami lalui. Jalan itu membelah perkebunan kami dan perkampungan di sekitarnya, melewati beberapa perkebunan tetangga dan akan berujung di kota Malang.
“Ijah!” Suara adikku melengking. “Ijah, Fien bilang kau harus lari ke rumah supaya tidak dimarahi Koki!”
“Dia tidak bisa lari,” sergahku. “Tasnya berat.”
Lalu, tiba-tiba kudengar suara itu. Suara menderu dan gemeretak. Serupa suara ban yang melaju di atas jalan berbatu, datang dari arah belakang kami.
“Fien, dengar!” Bertha menarik tanganku. “Suara apa itu?”
Aku menoleh ke belakang. Belum terlihat apa pun karena jalan itu berkelok. “Itu suara mobil,” ujarku cemas. “Lebih dari satu.”
“Ijah!” seruku. “Sembunyi! Cepat!”
Aku mendorong Bertha ke tepi jalan. Ada semacam gundukan tanah yang ditumbuhi sesemakan liar berduri, dan di sanalah kami merunduk. Duri-duri itu menggores kulitku, tetapi aku tidak peduli. Sebuah perasaan takut yang luar biasa tiba-tiba menguasai diriku. Kugenggam tangan Bertha erat-erat. Meremasnya sedikit sebagai isyarat supaya dia tahu aku menjaganya. Tangan adikku terasa gemetar. Rupanya dia juga merasa ketakutan yang sama.
Deru kendaraan terdengar semakin dekat. Kami semakin merunduk dan merapat di balik gundukan. Meski demikian, kami masih bisa mengintip sedikit ke jalan itu. Sebuah truk militer melewati kami dengan terguncang-guncang, gemeretak bannya yang menggilas kerikil diiringi suara-suara teriakan yang membuatku tertegun.
Lalu, tampaklah bagian belakang truk itu, yang membuatku ternganga dan nyaris berseru ketakutan. Bertumpuk-tumpuk keranjang bambu, dimuat berjejalan di bak belakang. Itu adalah jenis keranjang bambu untuk babi yang akan dipindahkan atau diangkut untuk dijual ke pasar. Namun, kali ini isinya bukan babi, melainkan manusia. Mereka semua lelaki-lelaki dewasa setengah telanjang, hanya mengenakan celana dalam. Posisi mereka setengah terbaring bergulung di dalam setiap keranjang, yang di atasnya ditumpuk lagi dengan keranjang berisi manusia lainnya. Kudengar suara mereka berteriak-teriak parau dalam bahasa Belanda dan Inggris.
“Water! Water, please!”
“Water! Ik heb dorst!”
Truk-truk berikutnya lewat di depan kami, membawa keranjang-keranjang dengan isi yang sama. Para pengemudi truk dan pendampingnya adalah tentara-tentara Jepang. Tatapan mereka lurus ke depan. Sama sekali tak peduli dengan teriakan-teriakan itu. Kemudian truk ketiga lewat, itu adalah truk terakhir. Suaranya menghilang di kejauhan. Jalanan itu kembali sepi.
“Fien….”
Aku seperti tersadar dari sihir, kembali teringat adikku. Bertha masih berjongkok di tanah. Wajahnya pucat, matanya terbelalak.
“Bertha,” ujarku seraya bangkit berdiri dan mengulurkan tanganku padanya. “Bertha, kita harus cepat pulang! Ayo!”
“Fien! Fien, tadi itu apa? Siapa orang-orang yang di dalam keranjang itu?”
Mereka tentara-tentara kami, pikirku. Yang kulihat tadi adalah orang-orang kulit putih dengan potongan rambut pendek tentara. Mereka menjadi tawanan Dai Nippon! Berapa banyak yang sudah ditangkap? Aku memejamkan mata, seketika gemetar karena bayangan yang mengerikan melintas di benakku. Tanpa tentara kami, bagaimana nasib warga sipil Nederland seperti keluargaku?
“Fien!” Adikku mengguncang tanganku. “Mereka mau dibawa kemana?”
“Jangan dibicarakan di sini, schatje . Kita harus segera kembali ke rumah.” Aku menariknya berdiri dan membantunya turun kembali ke jalan. Ijah sudah muncul kembali dari tempatnya sembunyi. Wajahnya sepucat mayat.
“Pulang, Ijah!” seruku padanya. “Ayo, kita pulang! Cepat, Bertha! Kita harus memberitahu Papa!”
Kami berjalan cepat-cepat, bahkan setengah berlari. Tanganku menggenggam tangan Bertha erat-erat. Ijah di belakang kami, sama cepatnya, seolah-olah isi tas belanjanya mendadak menjadi ringan. Aku ingin segera sampai di rumah, berdoa seiring derap kakiku agar tentara-tentara Jepang itu tidak membawa Papa juga.
***
Bahasa
Water! Ik heb dorst! (Air! Saya haus!)
Schatje (sayang)