Secara rasional, tidak ada satu orang pun yang bisa melihat kejadian di masa depan. Tidak ada pula yang bisa mengetahui masa lalu orang lain, selain kepunyaan diri sendiri.
Namun, terlepas dari itu, adakalanya terjadi fenomena luar biasa yang sukar dipahami akal sehat manusia. Fenomena di luar nalar tentang melihat masa depan atau masa lalu orang lain, yang tidak diketahui penyebabnya dan acapkali diragukan kebenarannya.
Hidup seorang gadis seketika berubah setelah dilanda satu fenomena di luar nalar. Gadis itu tidak tahu alasan dan awal mulanya, saat dia tiba-tiba diperlihatkan masa lalu satu keluarga asing yang tak pernah dikenalnya, bahkan diketahui keberadaannya. Bukan yang indah, masa lalu itu, tetapi yang penuh siksa dan berdarah-darah. Sebuah tragedi bengis dan penuh akan dosa.
Tidak ada yang istimewa dari gadis yang diperlihatkan tragedi berdarah itu. Clara—begitulah orang-orang memanggilnya—berperawakan semampai dengan bahu kurusnya yang cekung. Mata bulat yang menatap polos dan hidung mungilnya memberikan kesan pendiam yang kental.
Dua hal paling menarik dari Clara adalah rambut hazel alaminya yang bergelombang, tergerai sampai siku, dan tampak lembut juga bercahaya. Ada pula bibir merah jambu natural yang sukses menonjolkan keindahan khas dari wajahnya.
Tidak ada juga yang istimewa dengan waktu saat fenomena itu tiba-tiba terjadi. Hanya dini hari biasa di bulan Maret 2022.
Clara hanyalah kasir mini market yang terpaksa kerja sif malam karena kekurangan pegawai. Ini sudah hari ketiganya harus pulang kerja hingga hampir subuh.
Mungkin ini kali terakhirnya begitu. Mungkin juga dia harus bertahan sampai dua atau tiga hari lagi. Tapi dia tak peduli itu, juga tak pernah protes. Karena memang begitulah caranya demi melangsungkan hidup. Sambil menabung sedikit demi sedikit untuk biaya melanjutkan pendidikan yang sudah lama terbengkalai.
Dini hari menjelang subuh ini, mata lelah Clara memandang jauh lampu-lampu jalan yang meliriknya redup. Pandangan gadis 22 tahun itu seakan kosong, tak bersemangat. Langkah kakinya pun berat dan gontai. Pengalaman sif malamnya beberapa hari ini tidak berjalan dengan baik.
Mini market itu tidaklah sepi seperti yang dia harapkan, tapi malah sebaliknya. Ramai, bahkan melebihi ramainya pagi sampai sore hari. Terlebih dengan aneka tingkah-tingkah aneh beberapa pelanggan itu. Dari yang kerjanya marah-marah sampai yang tujuannya menggoda. Namun, semuanya wajib disambut senyum oleh Clara, meski dengan terpaksa.
Betapa terkurasnya fisik dan pikiran gadis itu. Dia hanya ingin berbaring, memejamkan mata sambil menikmati alunan lagu-lagu pelipur lara, hingga akhirnya terlelap begitu saja. Akan tetapi, segala angan itu seakan berteriak keras padanya, menolaknya mentah-mentah dengan munculnya fenomena itu.
Indekos Clara berada di Jalan WR. Supratman—agak masuk ke dalam gang tanpa nama—tepat di seberang STIKES dan sebelah pom bensin. Sedangkan mini market tempat kerjanya berada di seberang terminal Sungai Carang kawasan Bintan Center.
Jarak kedua tempat itu tidaklah begitu jauh. Dengan berjalan kaki, dia hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit saja untuk sampai ke tempat kerja dari indekos. Namun, saat ini, sepuluh menit itu terasa begitu panjang bagi Clara.
Dia tak ingat tepatnya kapan dan di mana, saat sekonyong-konyong langkah kakinya menapak di sebuah ruangan asing. Remang-remang sekitarannya. Pengap hawanya. Juga busuk aromanya. Seketika napas gadis itu tertahan, bersamaan dengan detak jantungnya yang menggebu perlahan.
Bergeminglah dia. Namun sekujur badannya bergetar bukan main. Tak jauh di depan sana, satu acara komedi yang tak diingatnya terputar enggan di televisi. Suara tawa yang keluar dari situ seakan tak berhumor, menambah kegentaran si gadis.
Di hadapan televisi, tepatnya di sofa mewah berbentuk antik itu, bayang-bayang menyerupai kepala mulai mengusik nyali Clara. Ada tiga jumlahnya. Yang satu—di tengah—tampak lebih kecil dari dua lainnya.
Enggan rasanya si gadis melangkah mendekat, tetapi dua kakinya yang gemetar itu seakan ada yang mendorongnya. Pelan, jauh terlalu pelan langkah itu, sampai-sampai entakan sepatunya pada lantai berkeramik tak kunjung terdengar bunyinya.
Langkah Clara menuju ke sisi kiri sofa, sementara pandangannya tak bergerak dari bayang-bayang berbentuk kepala itu. Oh, betapa tak berdayanya kedua lutut si gadis saat tahu akan pemandangan ngeri yang ada di depannya.
Itu memang bayang dari tiga kepala. Namun bukan yang hidup. Mereka sudah mati! Bekas sayatan menghiasi leher satu keluarga malang itu—ayah, ibu, dan satu gadis kecil. Rembesan darah mengalir dari sana, menuju ke hampir seluruh badan mereka.
Clara roboh detik itu juga. Dia terduduk, lemas kedua dengkulnya. Akan tetapi, setengah badannya bagian atas seakan membeku, keras dan tak bisa digerakkan. Bahkan kedua matanya seperti dipaksa melihat ke satu titik saja.
Itu adalah wajah tak bernyawa sosok lelaki paruh baya. Dua matanya yang terbelalak itu tak mengarah pada Clara, tetapi bukan untuk seterusnya. Kedua bola mata itu sekelabat berputar. Cepat. Melirik si gadis yang semakin menegang sekujur badannya.
Sosoknya berdiri, tiba-tiba, begitu cepat dan bagai tak terlihat oleh Clara. Gadis itu berusaha menggerakkan tubuhnya menjauh, tetapi semua sia-sia, dan sosok itu sudah makin dekat darinya. Alunan tawa dari televisi menggelegar ke segala penjuru ruang temaram.
Lebih dekat lagi sosok tak bernyawa itu, lebih keras pula cengkeraman tak terlihat itu pada sekujur badan Clara. Kedua tangan si gadis yang bertumpu pada lantai itu terasa sekali getarannya, tapi tetap saja sukar buat dia menggerakkannya.
Tinggal satu langkah lagi. Hanya jarak sedekat itu saja untuk sosoknya menyentuh ujung kaki Clara. Begitu gentar nyalinya. Terlalu gaduh sekitarannya. Tawa-tawa tak perperasaan itu semakin menggila dan menusuk gendang telinganya. Clara berteriak tanpa suara, saat wajah sosok itu kini tepat di depan kedua mata yang enggan mengeluarkan airnya. Lalu semua menghitam.[]