“Anak – anak, tugas menulis not balok dikumpulkan semua di meja depan ya,” Kataku sambil membereskan buku ajarku untuk mengakhiri kelas hari ini.
“Lho belum selesai Bu, soal yang ibu berikan sangat susah,” cetus beberapa muridku dengan kompak.
“Dikumpulkan dulu ya, kalau masih bingung minggu depan Ibu review lagi,” kataku tegas. Dan benar saja, beberapa anak sudah mulai mengumpulkan tugasnya .
Setelah semua tugas terkumpul, aku segera keluar kelas dan menuju ke ruangan guru. Bel istirahat kedua saat itu sudah berbunyi dan siswa – siswa SMK tempatku mengajar sudah mulai berhamburan keluar. Jam istirahat ini akan berlangsung selama 30 menit, dan selanjutnya mereka akan kembali masuk untuk mengikuti pelajaran terakhir.
Aku masuk ke ruang guru yang sudah mulai ramai, lalu berjalan menuju ke mejaku dan menaruh semua berkas jawaban yang dikumpulkan murid-muridku tadi. Hari ini aku tidak ada jadwal lagi untuk pelajaran terakhir, tapi nanti sore aku masih harus mengikuti rapat guru yang diadakan kepala sekolah.
“Bu Naya, ini tahu petis pesanannya,” kata Mbak Ika tiba – tiba, sambil menyodorkan tahu petis pesananku.
“Oh iya matur nuwun Mbak Ika. Ini habis berapa?,” tanyaku.
“Hari ini gratis buat Bu Naya. Kata Bu Lala, besok Bu Naya ulang tahun. Lha besok sekolah kan libur, jadi hari ini saja Saya gratiskan,” kata Mbak Ika sambil tersenyum.
“Wah seharusnya enggak usah repot – repot Mbak,”
“Enggak papa Bu Naya. Hitung – hitung sebagai rasa terima kasih saya. Saya balik dulu nganter pesenan yang lain ya Bu,”
Setelah mengucapkan terima kasih kepada Mbak Ika, aku membuka bungkusan tahu petis sambil mengupat dalam hati. Dasar Lala! Masa semua orang di sekolah in harus tahu besok ulang tahunku. Aku cukup kesal dengan Lala, karena Ia menjadi sahabatku sejak aku pindah ke kota ini dan Ia sangat tahu kalau aku tidak ingin mengingat-ingat tanggal ulang tahunku.
Aku menatap kalender didepanku. Terdapat sebuah coretan berbentuk hati pada tanggal besok. 21 Juli. Tentu saja yang menandai adalah Lala. Meskipun aku tidak ingin mengingat tanggal ulang tahunku, tetapi aku selalu menghitung sudah tahun keberapa aku pindah ke kota ini. Dan sekarang adalah tahun ke sepuluh aku pindah. Seharusnya sesuai janji Almarhumah Mamaku, Papa akan menjemputku besok. Dan Mama juga berjanji, meskipun keluarga kami sudah tidak lengkap lagi, aku akan kembali merasakan kebahagiaan dengan Papa dan Mas Reza.
Tatapanku berpindah ke luar jendela. Hujan mulai turun rintik – rintik. Sudah bulan Juli, tetapi hujan masih sering turun di kota ini. Sepuluh tahun yang lalu ketika Papa pergi, hujan juga sedang turun. Dan itu tepat di hari ulang tahunku. Meskipun Papa, Mama, dan Mas Reza mengucapkan selamat kepadaku, tetapi di tahun itu tidak ada perayaan seperti tahun – tahun sebelumnya.
“Naya, dengarkan Papa, semua akan baik-baik saja. Naya dirumah jaga Mama, ya. Papa harus mengantar Mas Reza untuk mengejar mimpinya,”
“Tapi Naya juga pengen ikut, Pa. Mama juga kan?”
“Mama dirumah saja, Nak. Biar Papa yang mengantar Mas Reza. Naya dirumah bareng Mama ya,”
“Tapi Ma, nanti kita berpisah dong? Bukannya Papa sudah berjanji kalau kita harus selalu bersama,”
“Tidak Naya, kita hanya berpisah untuk sementara waktu. Suatu saat nanti kita akan bersama lagi. Papa dan Mas Reza akan kembali bersama Naya dan Mama. Jadi Naya harus berjanji juga untuk selalu jaga Mama ya,"
“Papa janji akan kembali lagi?”
“Iya Naya, Papa berjanji,”
“Eh Nay, ngelamun aja sih,” seru Lala sambil mencolek bahuku, membuyarkan lamunanku.
Aku menoleh sambil menatapnya datar, “Emang ada larangan ngelamun di jam istirahat ya?”
“Dih siapa yang ngelarang? Sensitif amat, sih,” kata Lala kesal, lalu duduk didepanku dan mencomot tahu petis yang ada di piringku. “Sakno tahu petise mbok anggurno,”
“Eh, kamu udah bercerita ke berapa orang kalo aku besok ulang tahun?,” kataku sambil menatapnya tajam. “Tadi Mbak Ika sampe bilang kalo ini hadiah buat ulang tahunku,”
“Cuma Mbak Ika kok,” jawab Lala cuek.
“Ya kan kamu tahu kalau aku enggak suka inget sama tanggal ulang tahun,”kataku kesal.
“Tahun ini spesial, umurmu sudah seperempat abad. Harus ada satu orang selain aku yang tahu kalau kamu besok ulang tahun,” kata Lala. “Lagian enak kan bisa dikasih tahu petis gratis,”
Aku mendengus kesal sambil menatap sahabatku yang malah dengan khusyuk memakan tahu petis sambil memainkan ponselnya. Lala adalah sahabatku sejak SMA. Kenyataan bahwa kami bersama sejak tingkat SMA, kuliah, hingga saat ini bekerja di tempat yang sama membuatku berpikir bahwa kami ditakdirkan untuk bersama selamanya. Lala yang selalu menemaniku setiap saat, terlepas dari tempat tinggal kami yang banya berbeda desa. Begitupula aku. Menurut Lala, aku juga selalu menemaninya disaat senang ataupun terpuruk. Meskipun terkadang aku merasa, kalau Lala tidak pernah menemaniku disaat aku bahagia. Karena sejujurnya aku lupa kapan aku merasa bahagia.
“Wes tak entekno ae tahumu iki yo,” tanya Lala sambil tetap mencomot tahu petisku.
“He em,” kataku cuek, sambil melanjutkan memeriksa tugas menulis not balok milik anak didikku, yang terbengkalai karena aku melamun tadi.
“Eh Nay, kamu jadi kan ikut audisi band itu?,” tanya Lala
“Mbuh yo, aku males kalau harus jauh – jauh ke Surabaya,” jawabku malas. “Sebenarnya aku sudah melengkapi semua persyaratan mereka sih. Tapi kok semakin kesini aku malah ragu ya,”
“Halah Nay, Lawang-Surabaya cuma dua jam ae lho,” kata Lala sambil menatapku gemas.
Aku tidak membalas perkataannya dan menarik napas panjang. Audisi yang Ia tanyakan adalah audisi Volva, band terkenal di Nasional yang sudah dua tahun ini pindah ke Surabaya. Audisi yang diselenggarakan adalah untuk mengisi posisi vokalis di band mereka.
“Aku enggak paham kok mereka bikin undangan padaku untuk ikut audisi itu ya,” kataku heran. “Aku kan cuma guru musik dari sekolah kecil. Sekolah yang berada di kabupaten lho. Bahkan mereka saja belum tentu pernah mendengar tempat Bernama Lawang,”
Belum sempat Lala membalas perkataanku, bel tanda istirahat berakhir berbunyi nyaring.
“Wes Nay, enggak usah mikir aneh – aneh. Ikut aja audisinya. Lumayan kalo kamu berhasil aku jadi punya sahabat artis,” kata Lala yang membuatku ingin menjitak kepalanya. “Aku ngajar dulu. Jangan lupa rapat sama kepala sekolah nanti sore,”
--------******-------
“Bu Naya, bagaimana perkembangan kemampuan anak – anak band?” tanya Pak Rachmat, kepala sekolah SMK memulai rapat denganku. Sore ini adalah rapat tengah bulan untuk para guru – guru menceritakan progress anak didiknya. Dan seperti biasa, bidang mata pelajaranku menjadi yang terakhir ditanyakan oleh Kepala Sekolah.
“Cukup baik, Pak. Mereka sudah siap untuk lomba di Jakarta minggu depan,” jawabku. “Hanya mungkin mental mereka yang harus lebih dipersiapkan, karena kadang mereka sering minder dengan lawan – lawan di Jakarta,”
“Baguslah kalau begitu. Saya cukup lega kalau anak – anak sudah siap untuk lomba minggu depan,” jelas Pak Rachmat. “Bu Naya juga harus bersiap untuk audisi besok ya,”
Aku menatap Pak Rachmat tanpa berkedip. Bagaimana Pak Rachmat tahu kalau aku mendaftar audisi itu.
“Tadi manajemen dari Volva Band menelpon sekolah, untuk mengonfirmasi pekerjaan Bu Naya. Mereka menanyakan apakah benar Bu Naya bekerja disini, mengingat mereka sangat concern terhadap background calon peserta audisinya,” kata Pak Rachmat seakan mengetahui kebingunganku.
“Maaf Pak saya belum menceritakan hal ini kepada Bapak,” kataku merasa tidak enak. “Meskipun saya sudah melengkapi pendaftaran, tetapi sampai saat ini Saya masih ragu untuk mengikuti audisinya. Karena itulah saya belum meminta izin kepada Bapak,”
“Tidak apa – apa, saya dapat memakluminya. Bu Karin jangan ragu untuk mengikuti audisi itu,” kata Pak Rachmat sambil tersenyum. “Bu Karin masih muda, mungkin ini bisa menjadi kesempatan Bu Karin untuk karir yang lebih baik,”
“Terima kasih Pak, akan saya pertimbangkan,”
--------******-------