Melawan Jarak

Melawan Jarak

Ayu Hidayah

0

"Ningrum! Bangun sudah jam 7!"

Suara perempuan itu selalu terngiang jelas ditelingaku setiap pagi. Hal yang paling aku tidak suka adalah, perempuan itu tidak pernah jujur dengan waktu yang ditunjukkan. Dia lebih sering mempercepat waktu. Bahkan dua jam lebih cepat dari waktu yang sebenarnya.

"Bu, jam 7 dari mana? Ini kan masih jam 5 pagi. Bentar ya, lima menit lagi aja. Ning masih ngantuk banget nih."

Aku mencoba merayu perempuan yang masih membulatkan matanya itu. Berharap sesekali ia berubah menjadi bidadari yang lemah lembut.

"HEH NGGAK ADA ALASAN! BANGUN SHOLAT SHUBUH!"

Astaga rasanya aku ingin teriak. Tapi, kalau aku teriak, perempuan itu akan lebih keras bicara. Lebih parahnya aku nggak akan dikasih uang jajan. Alhasil, aku harus bangun secepat mungkin sebelum ocehan Ibu menggemparkan isi rumah.

"Bu, nggak usah marah - marah. Masih pagi, lagian masih lama juga masuk sekolahnya."

Aku mendengar jelas, kalau Bapak membelaku. Tentu saja aku senang, masih ada Bapak yang bela aku. Sayangnya, Bapak jarang ada di rumah. Ia sering ke luar kota untuk bekerja. Bukan sebagai pekerja kantoran, melainkan sebagai buruh bangunan. Sudah hampir dua tahun Bapak ikut dengan Om ku yang kerjanya sebagai pimpinan project. Kalau orang kampung menamainya dengan sebutan mandor.

"Biarin, Pak. Anak perawan pamali bangun siang. Dia juga harus belajar, kalau nanti sudah nikah dan jadi ibu, jangan sampai punya sifat malas."

Jika orang-orang kaya lebih sering mendengar musik instrumen, maka tidak denganku. Setiap pagi aku harus mendengar Ibu bernyanyi dari mulai aku bangun hingga berangkat sekolah.

"Ya masih lama juga Ningrum buat nikah. Sekarang aja dia masih kelas sembilan kok."

"Udah, Pak. Jangan belain anaknya terus. Bapak juga harus siap-siap buat antar Ningrum ke sekolah!"

Begitulah hal yang sering terjadi di rumah setiap pagi. Ocehan ibu yang tidak pernah berhenti, juga Bapak yang tidak pernah kehabisan alasan untuk membelaku.

Jujur aku lebih nyaman tinggal di sekolah dari pada di rumah. Meskipun berat untuk bangun pagi, itu hanya awalnya saja. Sebenarnya aku senang. 

Ada satu hal yang membuatku senang ke sekolah, yaitu aku bisa bertemu dengannya. Entah perasaan ini muncul sejak kapan, yang jelas aku selalu bahagia, meski hanya berkesempatan untuk menatap punggungnya dari kejauhan.

***

"Bapak jemput jam berapa nanti?"

"Nggak usah jemput, Pak. Ningrum naik angkot aja sama teman-teman nanti."

"Lho kenapa? Mumpung Bapak lagi di rumah lho, Nak."

"Nggak apa-apa, Pak. Tapi, Ningrum memang sudah ada janji dengan teman-teman buat pulang bareng."

"Hmm, ya sudah. Ini..."

Bapak mengeluarkan beberapa lembaran uang hijau dan ungu dari saku celananya, kemudian memberikannya kepadaku. Jelas saja, itu membuatku senang. Kalau ada Bapak di rumah, aku seperti menjadi Ratu. Kalau Bapak nggak ada di rumah, ibu hanya memberiku uang jajan sepuluh ribu. Zaman sekarang, uang sepuluh ribu cukup untuk apa. Ahh, kalau ingat tentang Ibu tak akan ada habisnya aku kesal.

"Makasih ya, Pak."

"Iya, yang pinter ya belajarnya. Inget sudah mau SMA, jadi harus sungguh-sungguh."

"Iya, Pak."

Bapak membelai kepalaku dan itu membuat tatanan rambutku sedikit berantakan. Namun, tak apa, aku suka diperlakukan seperti ini. Tak lupa, aku pun mencium punggung tangan Bapak. Lelaki pertama yang selalu membuatku bahagia. 

Selepas berpamitan dari Bapak, aku berjalan menuju kelas. Perlahan, aku menatap bangunan sekolah yang akan segera kutinggalkan. Bangunan bertingkat dua, dan beberapa kelas yang memanjang di sampingnya. Di hadapannya, terdapat lapangan basket yang dihalangi dengan jaring-jaring. Namun, penghalang itu tidak bisa menghalangi aku melihat siapa saja yang berada di dalamnya.

"Hey, Ning!"

Suara itu, jantungku langsung berdetak dengan cepat saat suara berat itu memanggil. Rasanya ingin menoleh, tapi leher dan kepalaku mendadak berat.

"Ningrum, lo mau ke kelas kan?"

Aku tahu siapa pemilik suara itu, tetapi aku terlalu mengkhawatirkan kondisi diri sendiri. Gimana dengan wajahku, penampilanku. Aaarrrh harusnya tadi aku lebih lama berdiam diri di depan cermin, kalau tahu aku bertemu dengannya sepagi ini.

"Lo denger gue kan?" sapa dirinya lagi.

Aku mendengarnya. Aku mencoba menghela dan mengatur napas. Sebiasa mungkin aku tampil baik di depannya. Jangan sampai ia melihat aku yang panik seperti saat ini.

"Hey, sorry sorry, gue lagi nggak fokus."

Aku berbalik badan, dan dia persis berada di belakangku. Tubuhnya yang tinggi, berhasil menghalangi sinar matahari pagi.

"Lo mau ke kelas kan?"

"Iya, gue mau ke kelas nih."

"Oke, bareng lah sama gue."

DEG. Jantungku kembali berdetak. Mimpi apa aku semalam, sepagi ini jalan bareng sama dia. Fix, aku bakal jadi hot topic di sekolah karena jalan sama dia.

"Kok masih diem? Aneh banget lo pagi-pagi udah banyak ngelamun. Nggak lucu kan sepagi ini udah kesambet."

"Hehehe, iya sorry. Mungkin karena masih pagi, jadi agak lama ini otak koneknya."

Aku hanya bisa menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Kami berjalan berdampingan. Mungkin baginya ini biasa saja, tapi tidak denganku. Rasanya aku ingin terbang dan mengepakkan sayap ke langit ke tujuh. Ternyata virus merah jambu itu benar-benar sedang menyerangku sekarang.

Kami menaiki tangga satu persatu. Selama tiga tahun aku sekolah di sini, untuk pertama kalinya di tempatkan di lantai atas. Kata guru-guru supaya kami lebih fokus belajar untuk menghadapi ujian. Lagi pula anak kelas tujuh dan depalan masih terlalu agresif untuk ditempatkan di lantai atas. Alhasil, sebagai kakak kelas, kami yang paling senior menjadi tumbal. 

Dulu aku kesal dengan keputusan para guru itu, tapi pagi ini aku senang. Untuk pertama kalinya aku pro sama para guru. Soalnya aku bisa lebih lama jalan bareng sama dia.

"Ning..."

"Hmm, ya?"

Kali ini aku harus lebih cepat menjawab, supaya tidak dijudgei lola (loading lama) sama cowok yang tepat berada di sampingku.

"Lo udah lihat hasil Try Out ke dua?"

"Udah." 

Aku menjawab biasa saja. Sudah bisa aku tebak, pasti dia ingin membanggakan dirinya karena lagi lagi dia menjadi peraih skor tertinggi dalam beberapa try out. Sedangkan aku, masuk juga ke dalam kategori tiga besar. Lebih tepatnya, tiga besar dari bawah.

"Gimana hasilnya?"

"Buruk. Lo tau gue di kelas kek mana, kan? Pasti lo mau ledek gue lagi kan?" 

Aku bertanya kepadanya dengan kesal. 

"Hahaha nggak lah! Nggak ada sombong dalam kamus hidup gue! Papa selalu bilang, kita nggak bolehh sombong dalam hal apapun. Itu cuma akan buat kita terpuruk dan membuktikan bahwa kita bukanlah orang yang berkuallitas."

"Ya terus? Ngapain lo tanya nilai sama gue?"

"Ya mau tau aja. Masa nggak boleh, siih?"

"Ya pokoknya urutan satu, dua atau tiga deh."

"Woiii serius lo!"

"Iya tapi dari bawah! Hahahaha!"

Aku tetawa terbahak-bahak. Entahlah kalau sama dia, rasanya bisa selepas itu. Aku juga tak paham, kenapa orang seperti dia bisa nyaman berdekatan dengan perempuan sepertiku. Padahal perempuan lain di kelas, jauh lebih cantik dan glowing. Intinya, aku nggak mau banyak ngarep. Ngalir aja seperti air.

"Ning, lo harus serius belajar mulai sekarang! Waktu kita nggak banyak lho!"

"Buat apa? Gue mau belajar kaya apa juga ya tetep gini. Perkalian aja kadang masih jari. Penjumlahan dan pengurangan aja masih mikir keras. Gue pasrah aja, deh."

Jarak kelas semakin dekat, tapi lelaki itu memutuskan untuk berhenti sejenak. Sejenak ia menatap aku dengan tatapannya yang dalam. Kondisi koridor kelas yang masih sepi membuat aku merasa tegang seketika.

"Gue tahu lo lemah di hitungan. Tapi gue juga tahu lo jago banget sama sastra. Mulai sekarang kita harus berjuang, buat masuk SMA impian. Emang lo nggak mau satu SMA sama gue?"

DEG.

Pertanyaan yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Jangankan masuk SMA, membayangkan Ujian Sekolah saja sudah membuatku lemas sekujur tubuh.

"Nggak mau kejauhan mikirnya. Udah ah, yuk masuk kelas!"

"Gue mau masuk SMA Tumbuh Abadi. Gue udah punya target masuk ITB. Semoga kita bisa bareng-bareng lagi kaya sekarang ya."

Dia bicara dengan lembut, tapi penuh dengan harapan. Aku tahu dan bisa merasakannya. Namun, aku lebih memilih berjalan ke kelas dan meninggalkannya.

Kami dekat, nyaman, tapi aneh jika harus saling mengungkapkan...