Melancholia

Melancholia

Leyla Hana

4.6

Prolog

 

Plak!

Pipi Archie memerah dan terasa panas. Lagi, sebuah tamparan mendarat di pipinya akibat kesalahan yang dilakukannya. Lelaki itu, ayah tirinya, sudah terbiasa melayangkan pukulan. Tak hanya itu, ia juga sering mendapatkan kata-kata kasar. Lelaki itu, suami kelima dari mamanya. Seorang pengangguran yang hobi mabuk, di saat mamanya sedang bekerja kerasa mencari uang.

Philip, lelaki bule bertubuh tinggi besar dengan tato di lengan kirinya, meminum lagi birnya kemudian melempar kaleng kosongnya ke arah Archie. Archie menghindar, tapi justru memancing kemarahan lelaki itu lagi.

“Siapa suruh kau menghindar?!” tanyanya dalam bahasa Inggris Amerika yang kasar. “Belikan aku bir lagi, atau kuceraikan ibumu!”

Archie mengepalkan tangan. Ingin melawan, tapi ia tahu tenaganya masih kurang. Usianya baru 15 tahun. Ototnya juga tidak sebesar Philip. Tunggu saja nanti kalau ia sudah lebih besar. Itupun kalau Philip belum bercerai dari mamanya.

“Cepat! Apa yang kautunggu?!” Philip berteriak lagi, membuat Archie terkejut. Archie berlari masuk ke dalam kamar dan mengambil simpanan uangnya. Lelaki itu hanya menyuruhnya membeli sesuatu, tapi tidak memberikan uang.

Philip tertawa puas. Selama ibu dari anak tirinya itu tergila-gila kepadanya, ia bisa hidup seperti di surga. Wanita tua itu yang mencari uang, sedangkan ia menghabiskannya untuk bersenang-senang.

Di kamar, sembari mengambil sisa tabungannya, mata remaja Archie membara. Api kemarahan berkobar-kobar di dalamnya. Ia menyesal ikut mamanya ke Amerika. Mamanya tidak pernah berubah. Berkali-kali menikah dengan lelaki yang salah. Ingin rasanya ia membunuh lelaki itu. Lelaki yang sudah menyengsarakan hidupnya dan mamanya.

***

 

Bab 1: Melodi

 

Waktu itu usiaku dua belas tahun. Aku dan dua saudara sepupu laki-lakiku biasa bermain di padang rumput di belakang rumah kami sepulang sekolah sampai sore hari. Siang hari di tempatku tidaklah panas. Kamu tahu kan di mana aku tinggal? Aku tinggal di daerah Bandungan di Ungaran dekat Semarang yang berhawa dingin di mana bunga mawar dapat tumbuh subur. Kamu bisa menemukan mawar di mana-mana dengan warna-warninya yang indah. Kamu juga bisa memetiknya tanpa ada orang yang melarang, karena mawar di sana seakan tak berharga saking banyaknya. Tapi aku tidak tertarik dengan mawar atau bunga apa pun, sebab waktu itu aku sangat tomboi. Maklum, aku anak tunggal, tak punya saudara perempuan, dan selalu bermain dengan dua sepupu laki-laki yang selalu bertengkar.

Bandungan adalah obyek wisata yang menarik. Setiap hari Sabtu dan Minggu, pasti ada saja orang-orang dari Kota Semarang yang datang berjalan-jalan ke Bandungan. Di Bandungan, memang ada tempat pemancingan yang enak karena ikannya besar-besar dan kalau kita melanjutkan perjalanan ke atas, kita akan menemukan candi-candi peninggalan orang-orang zaman dulu. 

Seperti biasa, hari itu adalah hari libur kami yang pertama setelah satu minggu bergelut dengan soal-soal ujian kelulusan SD. Aku bermain dengan dua sepupu laki-lakiku di padang rumput di belakang rumah.  Kami memanjat pohon besar sambil bernyanyi-nyanyi di atasnya, main kelereng, atau petak umpet. Kami main petak umpet dan kebetulan aku yang kebagian jaga. Ketika tiba giliranku mencari, tiba-tiba aku mendengar suara musik yang indah.

Aku tak pernah mendengar suara itu sebelumnya. Apakah itu suara angin yang bernyanyi? Atau, rumput-rumput? Entahlah. Yang pasti, untuk mencari jawabannya, aku berlari mencari asal suara dan menemukan seorang anak  laki-laki yang sedang duduk di atas pohon sambil meniup sebuah benda panjang. Suara itu sepertinya datang dari hati. Hati yang sepi.

Anak laki-laki itu menoleh ke bawah. Suara musik itu pun hilang. Kami bertatapan cukup lama. Ia hendak turun dari pohon, tapi aku mencegah.

“Aku naik saja, ya!” kataku, dengan sigap memanjat pohon dan duduk di sebelahnya.

“Kamu bisa manjat pohon juga?” wajah Taufan terlihat heran.

“Seriiing….” Aku cengengesan. Pohon adalah rumah keduaku.

 “Namaku, Taufan. Kamu?” Anak laki-laki itu menatapku. Aku jadi tahu kalau dia punya mata bening yang indah. Mata yang seperti kelereng. Kelereng terbagus yang aku punya. Kelereng yang setiap selesai kugunakan selalu kulap dengan ujung bajuku agar senantiasa bersinar.

Meskipun anak perempuan, aku menggemari permainan-permainan anak laki-laki. Maklum, sehari-hari aku bermain dengan dua sepupuku yang semuanya laki-laki.

“Aku… Alya. Alya Tsabita,” ucapku dengan bibir bergetar. Aku asing dengannya, sehingga merasa grogi saat berjabatan tangan. Taufan tersenyum. Perlu kuberitahu, dia juga punya senyum yang indah.

Hmmm… meski usiaku baru dua belas tahun, tak bisa kupungkiri bahwa aku sudah memiliki kekaguman kepada lawan jenis. Taufan adalah anak laki-laki tertampan yang pernah kulihat. Rambutnya pendek dan lurus, dengan potongan seperti Detektif Conan. Aku suka menonton film kartunnya di televisi, jadi hapal sekali. Kulitnya putih, agaknya jarang terbakar matahari. Dan tentu saja, wajahnya tampan. Oriental, seperti wajah aktor-aktor Korea. 

“Oh, Alya. Rumahmu di sini, ya?”

“Ya, tentu saja. Aku malah ndak kenal kamu.”

“Aku baru datang semalam. Aku dari Jakarta. Sekarang, aku sedang berlibur ke rumah nenekku. Itu, di sana!” Taufan menunjuk sebuah rumah berdinding putih yang lumayan besar. Rumah itu tergolong mewah di desa kami. Pantas saja jika dia terlihat terawat. Dia keturunan anak orang kaya. Tidak seperti aku yang ndeso. Kulitku hitam, seperti kebanyakan bocah Semarang.   

“Jakartanya di mana?” tanyaku lagi.

“Jauh. Aku dan Papa naik kereta lama... sekali. Aku saja sampai tidur di kereta.” Taufan bercerita seakan-akan dia telah mengenalku cukup lama.

“Kamu hebat sekali meniup serulingnya.” Aku memuji kemampuannya meniup seruling. Aku pernah belajar juga di sekolah, tapi tidak sehebat dia. 

“Kau mau coba?” Taufan mengangsurkan benda itu kepadaku. Baru saja aku mau mengambilnya, ia langsung menariknya kembali. “Jangan, deh. Ini kan tadi bekas mulutku.” Dia tertawa. Aku juga. Lalu, kami bicara panjang lebar .

 “Alya! Alya!” suara Sandi dan Amri-dua sepupuku-bersaut-sautan memanggil. Aku, yang masih asyik mengobrol dengan Taufan di atas pohon, merasa sangat terganggu. Sandi dan Amri mendongak ke atas. Keduanya terkejut melihat seorang anak lelaki duduk di sampingku.

“Alya! Ayo, turun!” suruh Sandi.

“Iya! Ngapain kamu di situ? Sopo bocah kuwi (Siapa anak itu)?!” Amri bertanya.

Piye to kowe (gimana kamu), Al? Kita kan lagi main petak umpet. Kok kamu malah main sama anak itu?!” Sandi mendengus kesal.

Aku menggaruk-garuk kepala. Kedua sepupuku itu memang suka mengganggu! Mereka tidak setampan Taufan. Kepala Sandi botak, karena sering dicukur. Kulitnya juga hitam seperti kulitku. Wajahnya selalu terlihat galak. Penampilan Amri lebih mengerikan. Hidungnya seperti tidak pernah berhenti mengeluarkan ingus. Dia memang mudah pilek, padahal tinggal di daerah dingin. Harusnya dia sudah kebal, ya…. Belum lagi kulitnya yang berbercak putih, katanya penyakit kulit karena dia malas mandi.

“Itu siapa, Al?”  Taufan bertanya.

“Itu saudara-saudara sepupuku. Aku turun dulu, ya,” pamitku sambil bergerak turun dari pohon. Taufan ikut turun.

“Huh! Dicariin dari tadi!” gerutu Sandi. Napasnya terengah-engah. Mungkin dia kecapaian karena berlari-lari mencariku tadi. Tiba-tiba aku merasa kasihan.

“Iya. Kamu malah main sama anak itu. Eh, sopo kuwi (siapa itu)?” Amri menatap Taufan.

 “Jenenge (namanya) Taufan. Taufan, kenalkan ini Sandi dan Amri.” Aku memperkenalkan Taufan kepada kedua sepupuku itu. Taufan mengulurkan tangan, tapi Sandi dan Amri tidak mau menerimanya. Aku rasa kedua sepupuku itu cemburu kepada Taufan. Maklum, aku kan perempuan satu-satunya. Malah sering kali Sandi dan Amri memperebutkanku dan sok menjadi pahlawan di hadapanku. Aku tidak mengerti, mengapa mereka begitu?

Wis (sudah), Al, ayo mulih (pulang)! Kita wis laper, ki!” suruh Sandi.

“Ya sudah, kalian pulang saja duluan. Aku masih mau main sama Taufan, kok.” Aku seperti mendapat kesempatan. Asyik kan kalau aku bisa bermain lagi dengan Taufan. Banyak ceritanya yang membuatku tertarik.

Ra oleh (tidak boleh)! Kalau dia nyulik kamu, piye?” Sandi menakutiku.

Aku bengong. Menculik? Apakah benar Taufan akan menyulikku?

“Alya, kita mainnya udahan aja, ya. Aku juga sudah lapar,” kata Taufan.

Aku tahu, Taufan pasti merasa tak enak kepada kedua sepupuku.

“Ya, sudah. Aku pulang dulu, ya,” pamitku dengan malas. Aku memang masih ingin bermain dengan Taufan. Aku masih ingin mendengar cerita-ceritanya. Sayang, kedua sepupuku datang mengganggu.

 

***

 

Keesokan harinya, aku kembali menemukan Taufan di atas pohon sedang meniup benda panjang yang bernama seruling itu. Melodinya masih sama seperti yang kemarin.  Aku segera berlari menghampirinya. Dia menghentikan serulingnya saat melihat kedatanganku.

“Hei, Alya! Ayo naik ke atas! Aku bawa seruling yang masih baru, nih!” serunya sambil mengacungkan seruling yang lain. Ada dua seruling di tangannya. Aku merasa kedua mataku berbinar melihatnya. Akhirnya aku bisa belajar meniup seruling sepertinya. Aku pun ingin mengalunkan melodi indah bernama itu. Lalu, aku naik ke atas pohon, menerima seruling pemberiannya, dan dia mulai mengajariku meniup seruling.

Hari demi hari berlalu. Tak terasa sudah dua minggu aku menghabiskan liburanku bersama Taufan. Dua sepupuku marah-marah karena aku melupakan mereka. Aku memang selalu pergi ke padang rumput sebelum kedua sepupuku datang menghampiriku ke rumah. Di sana, aku dan Taufan mencari tempat tersembunyi di mana kedua sepupuku tak dapat menemukan kami. Terpaksa aku dan Taufan pergi ke padang rumput yang lebih jauh dari tempat biasa.

Suatu hari, Taufan mengajakku main ke rumah neneknya. Aku mendengar suara merdu dari salah satu kamar. Kata Taufan, ayahnya memang sedang mencari nada-nada yang bagus untuk lagunya. Ia seorang komposer. Aku hanya manggut-manggut. Nenek Taufan menyambut kami dan menyuguhkan makanan kecil. Aku ngobrol banyak dengan nenek Taufan. Beliau orang yang pandai melucu. Tak terasa waktu berlalu, tahu-tahu sudah sore. Taufan mengantarku pulang. Aku tersenyum senang mengingat kegembiraanku hari ini bersama Taufan. Padahal di rumah, ibuku sedang menunggu dengan cemas dan mungkin aku akan kena marah sesampainya di rumah nanti. Ah, aku tak peduli.

Benar saja. Berkat provokasi Sandi dan Amri, aku kena marah. Kedua sepupuku itu cerita yang bukan-bukan tentang Taufan. Ibu mewanti-wanti agar selanjutnya aku berhati-hati. Aku mengangguk-angguk saja. Yang pasti, besok aku akan tetap menemui Taufan. Entah kenapa aku lebih senang main dengannya daripada dengan kedua sepupuku. Dan begitulah sampai hari perpisahan kami pun tiba. Taufan akan pulang ke Jakarta karena liburannya telah habis.

“Mungkin kita nggak akan bertemu lagi, Al,” kata Taufan, mengejutkan. Kami masih bertengger di pohon yang sama seperti hari-hari kemarin.

“Kok begitu? Kan kamu bisa main ke sini lagi kalau liburan, to?”

“Mungkin aku nggak ke sini lagi?”

“Kenapa?”

“Aku akan ikut mamaku ke Amerika.”

“Amerika? Di mana itu?”

“Amerika lebih jauh dari Jakarta. Jauh… sekali.”

“Jauhnya se-mana?”

“Pokoknya jauh sekali deh!”

“Masa kamu ndak balik-balik lagi ke sini?”

“Iya. Aku memang ikut mamaku. Begitu kata hakim.”

“Hakim?” Aku makin bingung.

“Iya. Papa dan mamaku sudah bercerai. Hakim memutuskan aku ikut mamaku.”

“Bercerai?”

“Bercerai artinya berpisah. Orang tua kita kan menikah, lalu karena sudah tidak cocok lagi, mereka berpisah. Hakim memutuskan anak mereka ikut siapa. Ternyata hakim memutuskan aku ikut mamaku.” Taufan menjelaskan seperti yang telah dijelaskan oleh papanya kepadanya.

Aku manggut-manggut, meskipun masih bingung. Di pikiranku berkecamuk beberapa pertanyaan. Mengapa orang tua Taufan harus bercerai? Mengapa Hakim yang memutuskan bahwa Taufan harus ikut mamanya? Hakim itu siapa? Tapi, aku tak mau banyak tanya. Sebab, pertanyaan yang lain masih ada.

“Lalu, kenapa harus ke Amerika, to? Kenapa ndak di Jakarta saja?”

“Karena pacar mamaku orang Amerika. Mamaku akan menikah dengan pacarnya dan tinggal di sana. Terpaksa aku ikut mamaku.”

 “Pacar? Pacar itu apa?”

“Pacar itu kekasih Mama. Calon papa baruku.”

“Jadi, kamu akan punya papa lagi?”

“Iya.”

“Kenapa kamu memilih ikut mamamu? Kenapa ndak ikut papamu saja?” pertanyaanku tak ada habis-habisnya.

“Aku kan masih kecil. Belum boleh memilih.”

“Kalau sudah boleh memilih, kamu akan memilih ikut siapa?”

Taufan diam sejenak. Setelah mengembuskan napas, ia berkata, “Aku ingin ikut Papa. Aku ingin main musik terus sama Papa,” ucapnya, lirih.

Aku diam. Aku bisa merasakan kesedihannya. “Berarti… kita ndak bakal ketemu lagi, ya?” tanyaku.

“Nggak tahu. Yah, kalau aku nggak kembali ke Indonesia, ya nggak bisa ketemu lagi.”

“Oh… gitu.”

“Alya… aku senang berteman denganmu,” kata Taufan, tiba-tiba. Ia menatap mataku dalam. Aku sampai takut ia akan menelan bola mataku. “Seruling ini untukmu saja, ya. Simpan baik-baik!” Taufan menyedekapkan seruling yang tengah kupegang ke dadaku.

 “Ah, masa? Tapi....”

“Buat kenang-kenangan. Siapa tahu kita bisa bertemu lagi? Nanti kalau kita bertemu lagi, tunjukkan saja seruling itu kepadaku. Aku pasti akan mengenalimu.”

Aku manggut-manggut, meskipun masih tak percaya. Taufan memberikan salah satu serulingnya untukku! Aku tak boleh menghilangkannya sampai bertemu kembali dengan Taufan, suatu hari nanti. Entah kapan. Pada seruling itu, terukir sebuah nama: Taufan A.

 

***

 

“Kamu naksir dia ya?” Ridha mengerlingkan sebelah matanya, setelah Alya menyudahi ceritanya. Malam ini ia memang menginap di rumah Alya untuk membicarakan proyek film pendek mereka. Saat istirahat, Alya bercerita tentang masa kecilnya.

 Alya tertawa kecil.  “Ya, ndak lah! Waktu itu aku kan masih kecil!”

“Ah, masa? Dari ceritamu tadi ketahuan kok kalau kamu ada hati.”

Ndak! Aku hanya senang bermain dengannya.” Alya bangkit dari ranjangnya, dan kembali menghampiri komputernya yang sempat menganggur.

“Hei, ceritamu tadi beneran nggak, sih?” Ridha mengejar.

Alya melotot. “Maksudnya… kamu ndak percaya dengan semua yang tadi kuceritakan?”

“Yah… harus ada buktinya, dong!”

Alya melengos. Ia tidak jadi menggerakkan jemarinya di atas keyboard, dan malah berjalan menuju ke lemari pakaiannya untuk mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.

“Lihat ini!”

Ridha terbelalak. Sebuah seruling!

“Jadi… benar-benar ada?!”

“Iyalah!”

“Atau, jangan-jangan... itu seruling yang kamu beli waktu masih kecil?”

 “Ah, Ridha. Kok kamu ndak percaya sama aku to…. Yo wis (ya sudah)….” Alya menunjukkan ukiran nama pada seruling itu: Taufan A.

 “Iya, iya... aku percaya....” Ridha memeluk Alya yang masih cemberut. “Asyik ya, punya teman masa kecil yang akrab. Apalagi kalau dia laki-laki dan tampan….” Ia mengerling jenaka.

Alya berdecak. “Sudahlah….”

“Hem.. coba Mia ada di sini, ya? Pasti akan lebih seru dengar ceritamu. Meskipun ekspresi wajahnya biasa-biasa saja. Sukar ditebak.” Ridha membayangkan teman mereka yang satu lagi.  

“Ah, Mia sih susah. Jangankan main ke rumah kita, wong kita yang main ke rumahnya saja ndak boleh…. Mia tertutup banget ya? Sampai hari ini aku masih ndak ngerti dia….” Alya mendesah.

“Ah, sudahlah. Emang dia gitu kali orangnya. Udah yuk, tidur! Aku sudah ngantuk nih! Besok kita harus berjuang lagi nih nyelesein film kita,” Ridha menarik selimutnya.

Wong naskah ceritane belum selesai, piye (bagaimana)? Skenarione piye?Yo wis, tidur saja. Aku mau lanjutin nulis ceritanya!” Alya duduk kembali di depan komputernya. Tidak lama, terdengar suara dengkur halus dari atas ranjang. Alya menggeleng-gelengkan kepala. Rupanya Ridha benar-benar sudah mengantuk. Begitu bertemu bantal, langsung tidur.

Alya memandang jam  dinding yang menggantung di atas komputernya. Baru jam sebelas malam. Masih lama waktunya untuk bergadang. Film pendek  bersama teman-teman kelompoknya harus segera diselesaikan. Syukurlah, ia terbiasa begadang. Jadi, tidak ada masalah dengan sindrom mengantuk.

 

***