Meine Sonne

Meine Sonne

Yatik16

0

Zahra. 


"Kalau yang ini merah nya lebih terang mbak," jelas seorang pramuniaga ramah, seraya mengoleskan lipstik di punggung tangannya, dan menunjukkannya ke hadapan ku. 


Aku mengangguk mengerti, dan membandingkan, dengan lipstik merah yang berada di gengamanku.


"Ya Allah, Ra. Kamu ambil saja dua-duanya. Biar kamu, enggak galau, enggak jelas begitu, cuma gara-gara lipstik doank. Toh, pada intinya, warnanya merah," ucap Verrel yang berdiri di dekatku. Sore ini Verrel menemaniku pergi ke mall. Sedari tadi, teman kecilku itu ikut mondar mandir dar tempat make up satu ke yang lainnya.


Hari ini mall tidak terlalu ramai. Karena mungkin ini bukan akhir pekan.


Kaum adam tidak akan pernah mengerti perbedaan merah terang, merah nyonyor, merah hati dan merah merah yang lainnya.


"Sebentar Verrel. Kamu enggak akan pernah tau bedanya dua lipstik ini, meski kelihatan nya sama sama warna merah," terangku. 


"Ya iya lah, aku enggak pernah lipstikan ini."


Aku dan pramuniaga itu pun tertawa kecil mendengar gerutuan Verrel. Setelahnya, dia berlalu begitu saja, meninggalkan ku di konter kosmetik ini sendirian. Aku biarkan saja dia pergi. nanti aku tinggal menelponnya kalau sudah selesai dengan urusan make up. Karena sudah bisa ditebak. Dia akan berkeliling mall, tanpa tujuan yang jelas, sampai bosan. Tapi itu tidak akan berlangsung lama, karena Verrel tidak menyukai hal hal yang berbau jalan-jalan sendirian atau solo traveling.


Verrel sudah kembali ke konter make up dan aku sudah selesai dengan urusanku. Sebelum meninggalkan konter make up, aku mengajak Verrel mirror selfie terlebih dahulu. Setelahnya aku meratapi nasib uangku yang tersedot habis, karena aku berakhir, tidak hanya membeli lipstik. Aku juga membeli eye shadow dan juga primer.


"Yang kamu beli online kemaren lipstik juga kan, Ra?" tanya Verrel yang hari ini memakai pakian serba hitam, mulai dari kaus lengan pendek warna hitam dan juga celana pendek yang ia kenakan. Sedangkan aku memakai kaus oversize warna fushia dan legging hitam panjang. Kami berdua berjalan beriringan meninggalkan konter make up. Karena aku tidak mau, Verrel mengomel panjang kali lebar, kalau aku tinggal lebih lama di konter make up. 


Mungkin dari luar, Verrel adalah laki-laki cool. Namun kenyataannya adalah sebaliknya. 


"Iya." Jawab ku singkat sambil menahan tawa. Aku yakin, Verrel akan mengungkit hal ini. Banyak orang bilang, kalau perempuan adalah ahli sejarah paling handal, karena bisa mengingat hal-hal yang terjadi di tahun-tahun yang sudah lalu, terutama masa lalu. Verrel mah lebih lebih dari ahli sejarah, kalau itu menyangkut diri ku, bukannya aku kepedean, memang begitu kenyataannya. 


"Emang yang beli online warnanya apa an Ra?"


"Nude Rel,"


"Nyut warna apa an?"


Tawa ku meledak, melihat ekspresi varrel yang, entahlah. Ekspresi bingung bercampur dengan ekspresi gilani yang bikin gemes.


Varrel juga menahan tawanya. 


"Mana ada si Ra warna nyut? nyutnyutan yang aku tahu itu, saat jempol kaki ku kemaren enggak sengaja tersandung ujung meja, duh rasa nya Ra."


Tawa ku masih tersisa, sampai bungkusan lipstik di tangan ku bergoyang. 


"Sakitan mana ama patah hati Rel?"


Seketika itu Verrel diam. Langkah nya pun terhenti di ujung eskalator yang akan membawa kami ke lantai paling atas mall ini. Dia memanatabku sekilas. 


"Lebih sakit, sakit gigi si Ra,"


"Diiiiihhhhh. Enggak nyambung banget."


Eskalator pun membawa ku dan Verrel menuju lantai paling atas. Aku dan Verrel pun saling diam, seraya tangan Verrel menggandengku. Aku selalu suka Verrel yang diam seperti ini, tapi tangannya menggandengku erat.


Tidak perlu segalanya di utarakan.


"Mau makan apa Rel?" aku bertanya saat kami sudah sampai di lantai paling atas dan melihat para penjual berbagai makanan berjejer di sana. Dia sudah merong rong ku dari kemarin, kalau dia akan meminta di traktir setelah ia menemaniku membeli lipstik.


Dia yang suka rela menawarkan dirinya mengantarku pergi ke mall, dia juga yang minta di traktir.


"Nasi goreng seafood," jawab nya cepat, dengan senyum semringah di bibir nya. 


"Enggak bosen ya makan nasi goreng sefood mulu?"


Mall ini terkenal mempunya nasi goreng seafood yang begitu enak. Verrel pun tidak pernah absen makan nasi goreng sea food tersebut.


"Kalau suka mah enggak akan pernah bosen Ra," jawab Verrel seraya tersenyum manis ke arahku, matanya yang teduh selalu menatapku intens. Aku suka hal sederhana itu.


Aku pun balas tersenyum.


Verrel bukan tipe laki-laki yang ribet soal makanan. Seperti saat ini, pasti di otak nya sudah ada nasi goreng yang melayang - melayang.


"Rel, aku pesenin minumannya yang rasa taro ya?" perintah ku pada Verrel. Saat aku mengantri di nasi goreng.


Hanya anggukan yang Verrel berikan untuk ku. Sebelum pergi ke stand minuman.


"Lho, aku kan minta rasa taro Rel, kenapa kamu beliin rasa vanilla? Taro nya kosong ya?" tanya ku penasaran. Setelah Verrel datang kembali ke meja dengan minuman di tangan. 


"Memang sengaja aku beliin rasa vanilla, karena kesukaan kamu itu rasa vanilla. Nanti setelah rasa taro nya kamu minum sedikit. Kamu enggak mau minum lagi, dan kamu pasti bakal order kembali rasa vanilla. Boros, buang-buang duit." jelas Verrel panjang lebar. 


Aku hanya nyengir. Verrel tidak salah, dia benar seratus persen. Karena itu memang kebiasaan burukku. Aku suka makanan atau minuman yang berbau vanilla.


"Kan aku juga pingin rasa taro Rel,"


"Rasa kok taro, Rasa enggak jelas!"


"Terus yang jelas rasa apa memangnya?"


"Yang jelas rasa ku padamu Ra,"


Aku pun tertawa terbahak-bahak.


"Rasa taro itu rasa apa si Ra?"


"Maksudnya rasa apa Rel?" aku mulai menyendok nasi gorengku dan melahapnya.


"Kek es jeruk kan rasa jeruk. Nah, kalau taro itu apa?"


"Talas Rel,"


"Talas? Maksud kamu talas ubi-ubi an itu?"


Aku mengangguk, karena mulutku yang sibuk mengunyah.


"Mau kemana Ra?" tanya Verrel heran saat melihatku beranjak dari tempat dudukku.


"Beli es taro Rel,"


"Ya Allah ya Rabbi. Ini uangnya Ra," Verrel menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribu.


"Enggak usa Rel. Aku ada uang kok,"


"Bawa saja."


Aku pun mengalah, demi kelancaran dan kedamaian hidup, dan mengambil uang tersebut, karena aku tidak ingin lebih lama untuk mencicipi minuman taroku.


*****


"Mau nyoba enggak?" aku pun menyodorkan minumanku ke hadapan Verrel. setelah kembali duduk di hadapannya.


Tanpa pikir panjang Verrel pun menyeruput minuman tersebut.


"Bagaimana?" tanya ku penasaran. Aku pun menyeruput minuman ku.


"Enak si Ra. Tapi rasanya itu rasa apa gitu,"


"Rasa enaknya enggak jelas ya?"


Verrel tertawa seraya mengangguk.


"Kan aku sudah bilang. Yang jelas hanya rasaku padamu,"


"Ya ya ya."


Sambil menikmati makanan, aku dan Verrel pun mengobrol ringan. Aku tidak bisa tidak tertawa, saat Verrel bercerita tentang adiknya Fano yang tidak sengaja masuk ke dalam toilet perempuan.


"Gimana ceritanya Fano masuk ke dalam toilet perempuan? tanya ku penuh dengan rasa penasaran. Nasi goreng di piringku sudah tinggal separuhnya saja. Entah kenapa, hari ini aku merasa begitu lapar.


"Pas pulang dari pacitan kan dia tidur. Nah, pas sampai di rest area di sudah enggak bisa nahan pipis. Keluarlah dia dengan enggak sabaran. Matanya masih sedikit terpejam. Aku kan masih jalan di belakang,"


"Ada orang enggak pas Fano masuk toilet perempuan?" aku menyeruput es taro ku sampai habis.


Verrel pun tertawa ngikik mendengar pertanyaanku.


"Ada. Mata Fano benar-benar terbuka saat perempuan di dalam toilet menjerit karena Fano yang masuk gitu aja,"


Aku pun tertawa.


"Lah terus Fano kenapa marah sama kamu?"


"Ya karena aku enggak ngasih tahu dia kalau itu toilet perempuan."


"Habis ini kemana lagi Ra?" Verrel mengelap bibirnya dengan tissue, dan meminggirkan piringnya yang sudah kosong.


"Ke stand baju,"


"Ok."


Sampai detik ini seperti ini saja dulu r

Rel, karena detik selanjutnya aku tidak tahu, apa bisa kita masih bisa seperti ini?


Verrel.


Namanya Zahra doank. Enggak ada lanjutannya, singkat, padat dan jelas. 


Aku mengenalnya sejak jaman pak soeharto masih menjabat sebagai presiden Indonesia. Lebih tepatnya sejak kita berdua duduk di bangku kelas 1 SD. 


Zahra ya Zahra. Enggak ada yang spesial dari diri nya. Dia cantik, tapi hidung nya pesek, suaranya cempreng, kulitnya kuning langsat. Aku yang lebih putih, ketimbang Zahra. Tapi aku cinta sama dia. 


Seperti hari ini, aku menemaninya pergi ke mall untuk membeli lipstik, hampir satu setengah jam dia milih lipstik doank, membandingkan warna merah yang satu dengan yang lainnya, yang di mataku semua warna merah sama saja.


Sekian jam berada di konter make up, berakhir lah sudah kegalauan yang di akibatkan oleh sebuah lipstik. Aku melongo saat Zahra memilih lipstik yang sama sekali tidak ia pilih sebelumnya. Lipstik itu hanya Zahra lihat sekilas dan langsung saja membelinya. Aku masih tidak habis pikir, kenapa dia tidak memilih dari awal lipstik yang Zahra beli sekarang?


Namun semua protes itu hanya mampu aku suarakan dalam hati saja, aku tidak mau Zahra merepet panjang lebar. 


Setelah selesai makan di foodcourt, Zahra menyeret ku ke stand baju - baju laki-laki.


Mungkin dia mau membelikan baju untuk kekasihnya atau gebetannya.


Harap sabar Rel, ini ujian. Mungkin seperti ini definisi dari sakit tapi tak berdarah. Ucapku dalam hati.


"Batik ini bagus Rel, cocok buat kamu. Habis ini kan kamu mau pergi ke nikahan kakak nya Intan," Zahra berbicara seraya menempelkan baju batik bermotif batik liris berlengan panjang di badan ku, aku hanya bisa pasrah saat dia mengepaskan batik itu di tubuh ku. 


"Kamu mau beliin aku baju ra?" tanya ku heran. 


Zahra menganggukkan kepalanya. Lihat, dia selalu punya kejutan untukku.


"Mas ada ukuran yang lebih besar enggak?" Zahra bertanya santai kepada penjaga toko.


See. Bagaimana aku enggak semakin cinta coba sama dia, kalau perhatiannya ngalahin makku. Makku perhatian kalau aku main dan enggak pulang dua hari, baru dia nyariin. 


"Mungkin size yang ini cukup sama mas nya mbak, yang ini ukuran XL, itu ukurannya L." Penjaga toko itu mengangsurkan baju batik yang ukurannya lebih besar ke hadapan Zahra. Zahra pun kembali sibuk mengepaskan baju batik di tubuhku, namun aku hanya bergeming tidak bergerak menatab Zahra yang begitu telaten mengurusi ku. 


Cinta itu semakin tumbuh subur dalam jiwaku, mengakar menyatu tumbuh tidak terbendung di setiap jengkal nafasku, namun senyuman ku lenyap, terhempas ke dalam jurang saat sadar, siapa aku di mata Zahra, hanya sahabat dari SD. 


"Kamu jangan pake baju batik yang itu lagi itu lagi, udah bulukan tau, kamu tuh anak juragan, kamu tu cakep Rel. '


Kapan coba Zahra bilang, "kamu itu juga milik ku Rel." aku ingin sekali mendengarnya.


"Rel kok kamu diem aja? Enggak suka ya sama baju nya?" Zahra menatabku dengan wajah penuh tanda tanya. 


"Suka kok Ra, sekalian habis ini beliin aku roti ya?" kupaksakan bibirku tersenyum, untuk menyembunyikan rasa pedih yang menjalar di hati ku, saat kenyataan sudah berbicara. 


"Diiiihhh, ngelunjak. Enggak tau terima kasih, beli sendiri sono,"


"Ayo lah Ra, roti doank ini, ya ya?" aku sengaja mencair kan suasana ini, kenyataannya aku udah enggak nafsu sama apapun. Nafsunya sama Zahra doank. 


"Iya iya, dasar. Cobain sana baju nya!"


*****


Pukul setengah delapan malam aku dan Zahra meninggalkan kan mall. Lebih tepatnya aku menyeretnya keluar dari mall. Karena aku merasa kaki ku sudah sangat lelah. Berbeda dengan Zahra, dia bisa berkeliling mall, sampai mall tutup.


"Kamu harus dateng ke nikahan kakaknya Intan, Rel,"


"Iya," hanya itu jawaban ku, sambil menjalankan mobil. Meninggalkan tempat parkir mall.


"Jangan iya iya mulu," Zahra memukul lenganku. "Intan baik kok, cantik banget pula,"


"Kamu juga cantik dan baik Ra, apa bedanya coba?" aku menginjak rem mobil karena mobil di depanku yang berhenti mendadak.


"Verrel! Please! Enggak usah ngarang, Intan itu cantik banget. Dia mirip nabila syakib."


"Kamu tahu kan alasannya Ra, kenapa aku enggan ketemu Intan atau keluarganya?" ucapku telak, dan membuat Zahra diam.


Mau mirip nabila syakib, priyanka kopra, gigi hadid sekalipun, kalau akunya suka yang modelan kucing persia, mau gimana? 


Jadi Zahra itu selain hidungnya yang pesek pipinya juga tembem, tapi badannya kurus. Tapi mata, dia juaranya, mata nya super duper bagus banget, seperti boneka, aku tidak bisa lupa soal mata Zahra yang begitu memikat. 


Jatuh cinta itu tidak pernah bersyarat harus seperti apa, seperti aku yang tidak tahu sejak kapan jatuh cinta sama perempuan jelmaan kucing persia ini. 


***


Sabtu, 50920