Mayat di Kamar B32

Mayat di Kamar B32

Yuttayutta

0

"Kamu tidak mendengarnya lagi? Semalam suara itu terdengar lebih jelas."

"Tidak."

"Bagaimana mungkin."

"Sudah kuduga, kamu ini mengigau. Sepertinya sebagian besar orang yang jatuh cinta bisa mendadak gila."

"Maksudmu aku gila? Yang benar saja! Aku terjaga dan sangat sadar tadi malam."

"Hei aku bercanda, lagi pula bagaimana bisa aku tidak mendengar suara aneh yang sudah kamu ceritakan tiga kali itu. Letak kamarku tepat berada di samping kamar itu, tepat! Sedangkan kamarmu berjarak lima kamar dari kamar B32 itu. Ayolah."

"Aku sangat yakin suara itu berasal dari sana, ada yang tidak beres. Tiap malam aku ke kamar mandi dan melewati kamar itu, kemudian . . . suara itu terdengar sangat jelas."

"Sudahlah, lebih baik cepat selesaikan makanmu. Aku ingin mencuci piringnya."

"Tunggu, bagaimana kalau malam ini kamu berjaga denganku?"

"Terserah padamu yang mulia tukang ngigau, aku ikut saja apa yang kamu bilang. Tapi ingat, ini untuk membuktikan kalau pujaan hatimu itu penyebab benturan dan igauanmu ini."

"Enak saja!"

Qinan berdiri dan berjalan menuju galon, lalu menuangkan segelas air mineral dan meneguknya. Beberapa kali ia menggelengkan kepala karena memperhatikan Sasya yang masih bergumam pelan sendirian.

"Dasar tukang ngigau," celetuk Qinan tapi Sasya tidak mendengarnya.

"Hei ayolah, Sya! Cepat habiskan makanmu," teriak Qinan.

Sasya yang sedikit terkejut tidak berkomentar apa-apa, ia langsung fokus pada makannya dan segera menghabiskannya.

Desas-desus tentang suara yang sering terdengar di kamar B32 ternyata tidak hanya menjadi bahan obrolan sarapan Qinan dan Sasya saja, beberapa penghuni kamar lain juga membicarakannya.

"Yang semalam suaranya lebih jelas loh."

"Iya kamu benar, aku juga mendengarnya."

Qinan menghela napas pelan sambil memutar bola matanya.

"Kamar B32 lagi," gumamnya pelan, dua orang yang sedang berbincang tadi menatap Qinan secara spontan lalu keduanya kembali fokus pada cucian piring masing-masing karena Qinan tak menghiraukan keduanya.

Ricik air keran dan gosokan spons berbusa pada piring mengisi keheningan tempat cuci piring berukuran 3 × 4 m yang disediakan kos. Beberapa saat kemudian, tinggalah Qinan sendirian di ruang cuci piring. Sedikit terdengar lagi bisik-bisik dari keduanya saat mereka hendak keluar.

"Bukannya itu Qinan?"

"Iya benar."

"Kamarnya tepat disamping kamar B32."

"Serius?"

"Iya."

"Gila! Aku tidak bisa membayangkan kalau jadi dia."

"Hei, kecilkan suaramu. Dia bisa mendengar kita."

Keduanya berlalu, setelah Qinan menambah laju air kerannya.

Lima menit kemudian, Qinan selesai dengan cucian piringnya. Ia mematikan keran air lalu bertumpu dengan kedua tangannya di wastafel.

"Lelucon macam apa ini," keluhnya, ia lalu menghela napas pelan.

"Qinan!" Seseorang menyapa Qinan sambil menepuk pundaknya.

"Harus berapa kali kubilang?"

"Hehe iya maaf."

Itu Sasya, ia lalu meletakkan piring dan gelas bekas makannya.

"Sebelum aku kesini, di teras ada Diana dan rombongannya."

"Lantas?"

"Mereka membicarakan tentang suara di kamar B32."

"Aku tahu."

"Kamu tahu?"

"Tadi Diana juga membicarakannya dengan Mila di sini."

"Terus-terus?" Sasya mendekatkan wajahnya ke Qinan.

"Terus aku tidak peduli. Jangan dekat-dekat, Qinan menyalakan keran air.

"Pokoknya malam ini kamu pasti akan mendengar suara itu," seru Sasya.

"Terserah padamu tukang ngigau."

Qinan lanjut membilas piring dan gelas yang sudah ia sabuni.

****

Qinan merebahkan badannya, jendela kamarnya ia buka, dipersilakan sinar matahari pukul 09:15 masuk ke dalam kamarnya. Ia menatap kosong langit-langit kamar yang asik menonton isi kepalanya.

"Suara ya, hmm."

"Ayolah Qinan, jangan bercanda," sangkalnya pada dirinya sendiri.

Tok tok.

"Qinan."

"Masuk, Sya."

"Kamu sedang apa?"

"Tidak bisa kamu lihat?"

Sasya membuka pintu lalu masuk, duduk di samping kaki Qinan.

"Ada apa?" Tanya Qinan dengan posisi yang tidak berubah.

"Soal kamar itu . . ."

"Kamar lagi, sudah kubilang aku akan ikut denganmu."

"Bukan begitu,"

"Lalu apa?"

"Justru itu aku ingin membatalkan janji kita."

"Maksudnya gimana, Sya?" Jawab Qinan sambil bangun, ia menyandarkan punggungnya ke tembok.

"Malam ini kau tak perlu ke kamarku. Dan anggap saja kita tak pernah membicarakan kamar B32 itu," Sasya sedikit terlihat cemas, kepalanya menunduk dan dahinya sedikit tampak bulir-bulir keringat.

"Sasya, kenapa? Apa yang terjadi?"

"Tidak, aku tak apa."

"Jujurlah Sya."

"Pokoknya jangan pernah membicarakan tentang suara di kamar itu lagi," Sasya memohon, ia merendahkan intonasi suaranya.

Qinan mengerutkan dahi lalu mengangguk pelan.

"Kamu tak apa?"

Sasya tak menjawab, ia mengangkat kepalanya yang sejak tadi ia tundukkan lalu menatap Qinan. Sorot matanya jelas memperlihatkan kecemasan, namun ia paksa kepalanya untuk mengangguk. Qinan turun dari tempat tidur, meraih gelas di meja lalu menuangkan air. Ia menyentuh lembut pundak Sasya.

"Sya... Tenang, minum dulu,"

Sasya tak berkomentar, ia menyambut segelas air yang disodorkan Qinan lalu menghabiskannya dalam satu kali teguk. Qinan kembali duduk lalu menatap sendu sahabatnya.

"Aku tadi tidur siang . . ."

Sasya menghentikan kata-katanya sejenak, Qinan yang paham mengusap lembut punggung Sasya.

"Saat tidur siang tadi, aku bermimpi, kita berdua berjaga untuk mendengar suara aneh di kamar itu, tapi hal buruk terjadi."

Sasya diam beberapa saat, Qinan pun demikian ia belum berkomentar apa-apa dan tangannya masih mengusap lembut punggung Sasya."

"Hal buruk terjadi, Rian menelponku. Aku keluar untuk mengangkat telpon, sekitar 15 menit aku diluar saat aku selesai dengan Rian aku masuk kamar. . ."

Sasya berhenti lagi, kali ini ia menatap Qinan dengan sangat cemas.

"Aku hendak masuk kamar, namun suara aneh itu malah terdengar sangat nyaring dari dalam kamarku. Aku tak berani membukanya, tiba-tiba aku pingsan. Aku terbangun pagi harinya, aku mendapatimu sudah menjadi mayat di kamarku."

Sasya mulai terisak, suaranya menjadi berat. Qinan mencoba memeluk Sasya dengan masih mengusap punggungnya.

"Ayo sudahlah, itu hanya mimpi."

"Tapi bagaimana kalau hal buruk benar-benar terjadi."

"Sudah ya sudah, aku ada bersamamu. Semua akan baik-baik saja."

"Ayo kita pindah dari sini, Nan."

Qinan hanya tertawa kecil mendengar ide polos dari sahabatnya itu.

"Qinan."

"Iya."

"Aku lapar."

Qinan melepas pelukannya.

"Dasar."

Sasya hanya cengengesan.

***

Satu jam lebih metronome berbunyi di kamar Qinan, tapi ia tidak juga terlelap.

"Sial! Susah tidur lagi," gerutunya.

Dling.

Qinan bangkit dari pembaringannya mengambil handphone diatas lemari pakaian.

"Hay dear," sebuah pesan masuk dari seseorang yang saat ini menjadi bunga bagi beberapa kupu-kupu yang dipelihara Qinan.

"Hay," jawab Qinan datar, walau senyum sumringah tidak bisa ia hindari.

Namun, Qinan tak begitu menyukai aktifitas kasmaran. Ia baru saja kehilangan dirinya dan sedang mengumpulkan kepingan-kepingan itu.

"Kadang 'iya' datang menyembuhkan walaupun beberapa 'tidak' malah merawat luka," gumamnya pelan.

Ia mengaktifkan kode senyap lalu meletakkan handphonenya ditempat semula.

"Ahh, sepertinya aku harus mandi."

Qinan berjalan pelan menuju belakang pintu tempat ia menggantung kembannya. Ketika ia hendak membuka bajunya, geraknya terhenti ketika melihat ke arah ranjang tempat tidurnya.

"Arghh."

Ia menunda membuka baju, lalu merapikan sprei. Tidak sampai disitu, ia mengambil sapu lalu menyapu seluruh penjuru kamar. Kemudian mengepel semua ubin.

"Selesai," ujarnya setelah sepuluh menit bergulat dengan debu.

Ia membuka seluruh pakaiannya, hingga tak sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Qinan memiliki lekuk tubuh yang diimpikan semua wanita, namun terkadang ia malah mencaci dirinya sendiri. Satu yang ia suka dari tubuhnya adalah bagian cekung menyerupai lesung di pundaknya. Ia mengenakan kembannya lalu menonaktifkan metronome yang sejak tadi menemaninya.

"Lesung itu di pipi, bukan di pundak," ejek ayah Qinan.

"Ehehe."

Kenangan itu singgah lalu duduk mania sejenak, berulang kali tiap kali Qinan menyentuh kedua pundaknya.

Qinan membuka jendela, berjalan menuju lemari meraih handphone lalu memutar sebuah rekaman suara.


Anggap kita jadian,

lalu tentu saja banyak hal berubah

Tak perlu jauh-jauh

hal kecil saja contohnya

Aku berbaring sendiri

tapi tidak sendiri

Karena kita jadian

Bantalku jadi kamu

Selimutku jadi kamu

Tapi kamu tak jua

Jadi. . . Kamu


Rekaman suara itu terus terulang sekitar tiga puluh menit sampai Qinan selesai mandi. Ia masuk kamar lalu menghentikan rekaman suara, dilihatnya ada sebuah pesan yang masuk. Ia tak membuka pesan itu, atau membalasnya. Dua buah kecup dilayangkan. Qinan menaruh handphonenya, kemudian merebahkan badan yang masih dililit kemban, memandang langit-langit kamar yang juga memandanginya.

Jam menunjukkan tepat pukul 01:15, itu artinya Qinan sudah berbaring selama lebih dari satu jam.

"Ah sial."

Qinan bangun, mengambil handphonenya. Namun langkahnya terhenti.

Toktok.

"Qinan."

"Tunggu- ini pukul berapa, Sasya tidak mungkin berani keluar jam segini," batin Qinan. Ia menarik nafas pelan, mencoba menenangkan diri. Melangkah pelan menuju pintu, lalu menarik kebawah gagang pintu.

"Sasya?"

"Nan, temenin ke kamar mandi dong "

Qinan tak berkomentar ia keluar mengikuti langkah Sasya, menyusuri koridor kos dan melewati beberapa kamar.

Sepoi angin malam dan suara jangkrik membuat Qinan beberapa kali memejamkan mata, menghirup pelan angin malam sambil menunggu Sasya yang sudah berada di dalam kamar mandi

"Kalian sumbang malam ini," ejek Qinan

"Sebenarnya bukan kalian yang sumbang, telingaku sudah lebih dulu mengkultuskan dan memberi predikat merdu pada suara lain," kata suara di dalam kepala Qinan.

"Qinan, ayo."

Qinan terkejut dan mengelus dadanya pelan.

"Sejak kapan? Aku tidak mendengar suara pintu terbuka," tanya Qinan dalam hati.

Qinan tak banyak berkomentar, ia mengikuti langkah Sasya yang tak banyak bicara dari awal ia diminta menemani ke wc.

"Qinan, sampai di sini saja. Aku kembali ke kamar sendiri," kata Sasya ketika keduanya secara spontan berhenti di depan kamar Qinan yang terbuka.

"Kamu serius?" Tanya Qinan yang hanya dijawab dengan anggukan kepala oleh Sasya.

Qinan masuk ke dalam kamarnya tanpa mengatakan apa-apa, kemudian menonton punggung Sasya yang semakin jauh dari jendela yang sengaja ia buka sejak tadi.

Qinan menutup jendelanya lalu merebahkan badan, lagi-lagi ia menatap langit-langit kamarnya yang juga lebih setia menatapnya.

"Pertama, Sasya tak pernah minta ditemani ke wc. Kedua, Sasya biasanya akan mengatakan lebih dari 1000 kata dalam 3 menit, Sasya juga selalu menatap mataku ketika berbica, tapi tidak dengan tadi," pikir Qinan.

"Ah sudahlah," gumamnya pelan.

Qinan bangkit dari pembaringannya, berjalan pelan menuju lemari plastik berwarna merah muda. Memilih-milih setelan yang akan ia gunakan untuk bermimpi.