Mayang Senja Si Gadis Gunung

Mayang Senja Si Gadis Gunung

Novitazahra21

5

"Mak, kalau aku sudah besar, aku mau melihat ada apa saja dibalik gunung itu ya. Apa Mak mengijinkan aku untuk pergi ke sana, Mak?"


manik jernih berwarna coklat terang milik Mayang, terlepas hingga ke cakrawala yang terpampang sebagai payung bagi tumpukan gunung yang mengelilingi desa mereka.


Gadis kecil dengan pakaian sederhana. Baju kemeja kebesaran bekas Bang Jaka yang nyaman dipakai Mayang, dipadankan dengan rok panjang yang Maknya Mayang berikan pada Mayang. Sudah dikecilkan bagian pinggangnya dengan jahitan Mak, tapi bagian bawahnya masih kepanjangan di pakai Mayang ke sana kemari. Berkali-kali Mak larang Mayang memakainya, tapi Mayang berkilah kalau dia nyaman dengan pakaian itu, hingga Mak menyerah untuk melarangnya lagi.


Matahari beranjak merendahkan diri hingga nyaris bersembunyi dibalik gunung. Mayang masih saja terpaku. Tiba-tiba telapak kaki mungil lincah miliknya bergerak cepat menarik tubuhnya hingga ke atas bukit. Mayang berteriak pada matahari yang hampir menyatu dengan kabut yang bagai layar besar di angkasa.


"HAI CAKRAWALA! HAI LANGIT! HAI ANGKASA! AKU MAYANG! AKAN KUARUNGI SELURUH DUNIA, HINGGA KALIAN TAHU, BAHWA AKU! MAYANG SENJA! PERNAH ADA DIANTARA KALIAN!"


Melengking pekikan Mayang melarut dalam gerakan perlahan matahari yang benar-benar menenggelamkan dirinya dibalik cakrawala dan awan. Cakrawala yang memeluknya, dan melepaskannya kembali esok. Saat seluruh kehidupan merangkak lagi seiring napas dan udara yang berembus.



***


Malam telah menepi. Kokok ayam mulai saling bersahutan di seantero desa. Aktifitas penduduk desa mulai terlihat di sana-sini, diantara rumah-rumah bermaterial kayu berjajar yang berdiri dengan jarak yang berjauhan. 


Rata-rata, rumah penduduk desa Lembayung memiliki ruang dibagian bawah dasar rumahnya. Sisa ruang di bagian bawah itu sering dipakai untuk memasak bersama jika ada kenduri atau hajat salah satu keluarga di desa itu.


Pada bagian depan, setiap rumah memiliki halaman luas dan pohon-pohon buah-buahan yang menjadi tempat beristirahat ketika panas matahari menerpa desa itu. 


Hari itu masih pagi. seorang lelaki remaja berjalan melewati rumah Mayang. Baru saja separuh halaman rumah Mayang terlewati, remaja berumur 15 tahun itu berhenti, lalu tegak berdiri dengan mata memicing ke arah sebuah pohon.


"Hei Mayang! jangan panjat pohon itu, nanti kamu jatuh ... Mak syaripah, lihat si Mayang ini, macam orang hutan saja. Masih pagi sudah naik ke atas pohon!" 


Sidik, anak tetangga Mak Syaripah bernama Wak Kasim, sibuk berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk ke atas sebatang pohon mangga, karena diantara cabang pohon mangga yang rimbun itu, seorang anak gadis tengah bertengger dengan posisi santai pada salah satu batang pohon yang menjuntai. Di sudut bibirnya, gadis kecil itu, menggigit setangkai ranting daun mangga, dengan manik mata melayang ke atas langit.


Berkat teriakan itu, Mak Syaripah tergopoh-gopoh menghambur keluar dari rumah biliknya sambil mengunyah ubi rebus yang tertinggal di dalam mulutnya. 


"Masyaallah Mayang! Mayang Senja! Masih belum kapok rupanya kau jatuh kemarin dulu? bersyukur hidungmu masih menempel erat di mukamu itu, Mayang. Kalau tidak? Entah apa nama yang pantas Mak berikan padamu. Mungkin Mayang ... " Mak Syaripah berhenti sebentar memikirkan nama yang pantas untuk disematkan pada gadis manis, anak keduanya itu. 


"Aah ... ya! Mayang hidung pesek-lah namamu jadinya!" sambung Mak Syaripah setelah melumatkan ubi rebus dengan gigi tuanya dan menelannya hingga habis. 


Namun ternyata yang diteriaki masih tak peduli. Dan akhirnya suara tinggi Mak Syaripah kembali melengking di lembah luas itu.


"Apa sebenarnya yang kau kerjakan di atas sana, Mayang?" jerit Mak. Sekarang wanita itu memelintir kain di pinggangnya agar tidak menjuntai ke bawah dan dia bisa bergerak lebih leluasa. Mak Syaripah nekat akan memanjat pohon mangga itu untuk memaksa Mayang turun.


Sidik panik. Melihat gelagat Mak Syaripah yang kurang bagus, lelaki berumur lima belas tahun itu berlari memanggil ayahnya-Wak Kasim untuk mencegah Mak Syaripah agar membatalkan niatnya memanjat pohon mangga menyusul Mayang. 


"Bapak! Lihat itu Mak Syaripah! hendak disusulnya Mayang di atas pohon. Aku cemas, Pak. Kalau Mak berhasil sampai di atas pohon itu, itu bagus. Tapi kalau tidak berhasil? Macam mana bentuk Mak Syaripah nanti jika mendarat keras di atas tanah itu?" 


Sidik adalah anak baru gede yang selalu mengadu jika melihat sesuatu yang membuatnya khawatir. Semua sudah mengenal sifatnya. Apalagi Wak Kasim-ayahnya. Dia sudah hapal sifat Sidik macam apa. Dan ketika Sidik berteriak panik, Wak Kasim yang ada di dalam rumah, hanya menanggapinya dengan berjalan santai keluar sambil menggulung kain sarungnya.


"Berisik kali kau ini, Sidik. Gerangan apa kali ini yang mau kau adukan padaku?" tanya lelaki paruh baya itu dengan tatapan kesal.


"Itu Pak ... itu ... "


Mendapat tatapan Wak Kasim yang tajam, Sidik seketika gugup dan menjawab pertanyaan ayahnya dengan tidak jelas. Wak Kasim semakin mendesak anaknya dengan tatapan kesal.


"Itu-itu ... itu apa, Sidik?! Bicara yang jelas dengan Bapakmu ini. Jangan kau potong-potong kalimatmu macam roti bakar saja!" omel Wak Kasim tak sabar.


Sidik malah bengong. Lalu tubuhnya bergetar hebat ketika suara Wak Kasim kembali menggelegar di telinganya.


"Cepatlah bicaramu, Sidik!"


"Itu Pak ... Mak ... Mak Syaripah ... "


"Iya! Kenapa Mak Syaripah?!"


"Mak Syaripah ... "


"Iya! Mak Syaripah kenapa? Aduuh, kau ini. Mak Syaripah kenapa?"


"Mak Syaripah mau naik."


Wak Kasim tertegun sejenak. Mencerna perkataan Sidik yang masih juga belum bisa dipahaminya.


"Kau buat Bapakmu ini macam ikut lomba cepat tepat saja, Sidik. Iya! Aku dengar, tapi Mak Syaripah mau naik apa? Siapa yang ajak Mak Syaripah naik?" tanya Wak Kasim tak sabar.


Sidik lelah menjelaskan. Percuma rasanya menjelaskan kalau pikirannya ketakutan. Baiklah, dia harus tenang. Dia harus menarik napas panjang dulu. Bukankah ayahnya juga yang mengajarinya seperti itu jika seseorang didera rasa panik. Maka Sidik menarik napas panjang dulu. Lalu dia mulai berkata-kata lagi.


"Jadi begini Bapak. Tadi ... Sidik lihat Mayang itu sedang ada di atas pohon mangga, tinggi kali, Pak. Jadi Sidik bilang-lah ke Mak Syaripah, kalau anaknya ada di atas pohon mangga, tinggi sekali. Nah, habis itu, Mak Syaripah tegurlah si Mayang untuk turun. Tapi dasar si Mayang itu, Pak. Betul-betul dia itu. Tak dengar dia Mak-nya teriak-teriak macam orang tak waras dibawah pohon. Tetap saja dia bertengger di atas pohon mangga macam burung pungguk," papar Sidik, lalu kembali mengisi udara di dadanya.


"Lalu?" Wak Kasim makin tak sabar menunggu.


"Lalu ... Sidik tak tahulah siapa yang merasuki Mak Syaripah habis itu. Mak Syaripah macam pahlawan saja. Dia gulung kainnya, lalu dia hendak naik menyusul Mayang ke atas pohon itu," cerocos Sidik tanpa menyadari kalau mata Wak Kasim perlahan-lahan membeliak lebar.


"Kenapa tak kau bilang dari tadi, Sidiiik!!!"