May Nurlisa berlari-lari seraya tertawa bahagia, rambut ikalnya terurai berantakan diterpa angin malam yang berhembus lembut menyapa, mengabaikan ucapan Ibu agar berhenti mengejar cahaya, yang berkelip indah seakan berkata “Mendekat dan lihatlah”
Gadis kecil yang baru berusia 14 tahun, sedikit berbeda dengan anak perempuan lainnya. May tak ubahnya seperti anak laki-laki di pedesaan, menangkap capung, mengejar layangan, memanjat pohon jambu, mengalungkan ketapel, hingga ikut mengusik sarang lebah hutan. Selalu dimarahi oleh Ibu atas kelakuannya yang seperti bocah laki-laki badung. Tidak demikian untuk Ayah, yang hanya tersenyum tiap kali melihat istrinya ngomel-ngomel kepada putri semata wayang mereka tersebut.
May tergolong anak pintar, dia selalu masuk peringkat 5 besar dari 20 orang siswa di kelasnya. Meskipun dia tidak pernah belajar di rumah, jika tidak ada PR yang diberikan oleh gurunya. Cita-cita? May tidak begitu peduli. Ketika ditanya, dengan enteng dia akan menjawab bahwa dia ingin menjadi peri kecil bersayap.
Selain cerdas, May juga pemberani. Tidak ada satu hal apapun yang membuatnya ragu untuk pergi bermain di dalam hutan, termasuk mitos-mitos menyeramkan dari sesepuh desa tentang hutan yang dianggap misterius tersebut.
Hutan itu terletak tidak jauh dari desa, hanya beberapa kilometer setelah persawahan warga, termasuk juga milik orang tua May.
Selepas pulang sekolah, biasanya May akan pergi menyusul orang tuanya ke sawah, terlebih lagi menjelang musim panen, May sangat senang, karena biasanya warga akan lebih petang berada di sawah. Saat di perjalanan pulang menuju rumah, akan banyak sekali kunang-kunang yang berterbangan, mengantarkan mereka ke pedesaan.
May menyukai serangga dan hewan-hewan; kupu-kupu, capung, kumbang tanduk, kepik, belalang, dan kunang-kunang. Dia juga memiliki enam ekor kumbang tanduk hadiah dari pamannya yang kini tinggal tiga, dua diantaranya terlepas dan satu mati entah karena apa. Hanya tersisa Dodo, Fafa dan Lala. Rere dan Mimi melarikan diri, dan Solsol harus pergi mendahului teman-temannya.
Dulu, May juga sering menangkap kupu-kupu untuk dipelihara di dalam toples. Hanya bertahan tidak lebih dari dua hari, lalu mati karena May menyimpannya di dalam toples kaca tanpa ventilasi. Jika sudah begitu May akan bersedih malam harinya, lalu besok menangkap lagi.
May anak yang ceria, berkulit coklat, bermata kecil, berambut ikal, bibir sedikit tebal dan takut pada kucing. Dia tidak benar-benar takut, hanya saja merasa geli saat bulu kucing menyentuh kulitnya. Sampai akhirnya rasa gelinya akan kucing berubah, saat dia bertemu dengan Kucing jantan nakal, berwarna kuning kecoklatan, yang diberi nama Kuku dan menjadi sahabat May di rumah.
Kuku terbilang sangat usil, suka sekali tidur siang di kamar May, saat May sedang pergi sekolah. ketika May kembali dan melihat Kuku sedang tidur nyaman di atas dipannya, yang terjadi selanjutnya adalah aksi kejar-kejaran, antara dua sahabat tersebut.
Rasa ingin tahu May begitu tinggi, begitu banyak pertanyaan yang dia tanyakan kepada gurunya di sekolah. Tentu itu bukanlah pertanyaan yang umum, seperti anak-anak se-usianya. May bertanya tentang hal yang sulit untuk dijelaskan.
Kala itu May bertanya saat pelajaran IPA, kenapa sayap kupu-kupu berwarna-warni?
Meskipun guru mengetahui secara ilmiah penyebabnya, namun menjelaskan hal yang rumit kepada siswa kelas VIII sekolah menengah adalah perkara yang merepotkan. Sama merepotkannya seperti mengupas kelapa dengan gigi.
“Jadi kamu tidak tahu May?!”
Seorang bocah laki-laki memotong ucapan pak guru yang hendak menjelaskan, tersenyum simpul, seolah itu adalah pertanyaan yang receh.
“Saprol, coba jelaskan jika kau memang pandai” Jawab May ringan.
Seisi kelas terdiam, menunggu penjelasan dari Saprol. Semua murid merasa bahwa itu adalah pertanyaan yang memang sulit untuk dijawab.
Saprol ragu, dia terdiam merasa panik saat kelas hening. Beberapa detik yang berat karena menjadi pusat perhatian.
“Eh, Karena kupu-kupu mengecat sayapnya. .!”
Jedar, keheningan kelas seketika menjadi lautan tawa dari murid-murid pagi itu, ricuh, beberapa murid laki-laki menghampiri Saprol yang terdiam seraya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
“Kau hebat Saprol, kau hebat !!”
Gelak tawa perlahan redam saat pak guru yang sejak tadi hanya tersenyum geli mencoba menenangkan murid-muridnya.
Saprol, bocah gendut itu memang terkenal sok tahu, sering sekali berbicara asbun, namun pada beberapa moment guru pernah membenarkan apa yang dia katakan.
Dia pernah berkata saat pelajaran agama:
“Jika hati baik, maka semuanya akan baik”
Semua murid bertepuk tangan untuk Saprol, kala ungkapan itu mendapatkan pembenaran dari pak guru. Saprol tersenyum bangga. Tidak sia-sia dia ikut mendengarkan ceramah subuh di radio tadi, meskipun dia sendiri tidak mengerti.
Desa tempat tinggal May adalah sebuah tempat yang indah dan penuh dengan kehangatan. Warganya terkenal ramah dan saling mengenal satu sama lain. Setiap kali May berjalan-jalan di sekitar desa, dia selalu disambut dengan senyuman hangat dan sapaan ramah dari tetangga dan teman-temannya.
Di desa tersebut, kepercayaan terhadap hal-hal mistis masih sangat kental. Cerita-cerita tentang makhluk gaib, hantu, dan kekuatan alam masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Warga desa sering berbagi pengalaman pribadi tentang pertemuan dengan makhluk gaib atau kejadian-kejadian aneh yang mereka alami. Mereka mempercayai bahwa ada kekuatan supranatural yang berada di sekitar mereka dan harus dihormati.
Setiap bulan purnama, warga desa berkumpul untuk mengadakan upacara tradisional yang dikenal sebagai "Sembahyang Bulan Purnama." Mereka percaya bahwa pada malam itu, roh nenek moyang mereka akan turun ke bumi untuk memberikan berkah dan melindungi desa dari bahaya. Mereka menyediakan makanan dan minuman sebagai persembahan, lalu bersama-sama berdoa dan bersembahyang di bawah langit malam yang indah.
Selain itu, di desa tersebut terdapat "Batu Suci" yang diyakini memiliki kekuatan mistis. Warga desa memandang batu tersebut sebagai tempat suci yang harus dijaga dan dihormati. Mereka meyakini bahwa jika seseorang dengan niat baik dan tulus memohon kepada batu tersebut, permohonan mereka akan dikabulkan.
Meskipun May memiliki pandangan yang lebih rasional, dia sangat menghormati kepercayaan warga desa dan tidak pernah meragukan eksistensi hal-hal mistis yang diyakini oleh mereka. Dia melihat kepercayaan tersebut sebagai bagian dari identitas dan warisan budaya desa yang harus dihormati. May senang mendengarkan cerita-cerita mistis yang dibagikan oleh warga desa, meskipun dalam hatinya dia mungkin memiliki keraguan.
Dalam perjalanan hidupnya di desa, May belajar untuk menghormati perbedaan pendapat dan keyakinan orang lain. Dia merasakan kehangatan dan kebersamaan yang kuat di antara warga desa, terlepas dari perbedaan pandangan dan keyakinan mereka. Mereka saling membantu dan saling melindungi, menciptakan ikatan sosial yang erat dan solidaritas yang tinggi.
Kepercayaan mistis yang masih kental di desa tersebut memberikan warna tersendiri bagi kehidupan May. Meskipun mungkin tidak sepenuhnya dia pahami atau percayai, dia tetap menghormati dan menghargai kepercayaan warga desa. Desa itu menjadi rumah bagi May, tempat di mana dia belajar tentang keanekaragaman budaya dan nilai-nilai yang melekat dalam masyarakatnya