Mawar Merah

Mawar Merah

Rievy Putri

0

"Saras, kamu yakin dengan pilihanmu?"

Pertanyaan pembuka dari Nara, membuat alis Saras bertaut. Sebuah pertanyaan sederhana yang harusnya bisa Saras jawab dengan cepat. Saras mengalihkan pandangannya dari Nara ke cermin yang tergantung di samping sahabatnya itu. Riasan mekap bahkan tak mampu menutupi kegundahannya. Gaun putih berekor panjang yang dikenakannya pada tubuh kurus itu tampak cocok dengannya.

Perempuan bergaun putih itu mengangguk. "Iya."

Nara menyentuh lengan Saras. "Kamu cinta sama Andra?"

Saras terdiam. Ia memang sudah cukup lama mengenal Andra. Namun, untuk menerima cinta dari Andra, ia butuh waktu bertahun-tahun.

"I…iya," jawab Saras lirih. Ia menunduk sambil memainkan ujung gaunnya.

Nara menghela napas. Ia tidak bisa mencegah pilihan Saras. Sebagai sahabat, Nara sejujurnya takut jika keputusan yang Saras ambil ini salah.

"Aku hanya bisa doain, semoga pilihanmu ini tepat, Ras." Nara tersenyum tulus, lalu memeluk sahabatnya dengan erat.

Mata Saras berkaca-kaca. Rasa haru membuatnya hampir meneteskan air mata. Saras dan Nara sudah bersahabat sejak mereka duduk di bangku perkuliahan. Wajar saja jika ikatan persahabatan keduanya semakin erat setelah melewati berbagai permasalahan hidup.

Beberapa menit lagi, Saras akan resmi menyandang status baru sebagai istri Andra. Kini ia tengah duduk sendiri di ruang tunggu setelah Nara pamit sebentar melihat persiapan akad. Detak jantung Saras berpacu lebih cepat. Saras gelisah sekaligus lega karena hari ini ia akan membuka lembaran baru bersama Andra.

Dekorasi gedung pernikahan sudah dipenuhi dengan nuansa putih dan hijau. Bunga-bunga berwarna putih menghiasi koridor gedung. Balutan dedaunan hijau dilengkapi dengan lampu bercahaya kuning tertata rapi di sudut kanan dan kiri pelaminan. Saras dan Andra sepakat memilih dekorasi yang terkesan minimalis dan mewah secara bersamaan. Deretan foto pre-wedding yang menampilkan potret bahagia Andra dan Saras sudah tertampang di setiap sisi gedung.

Delapan tahun lalu, Saras menolak keras saat Wahyu Adikusuma –Ayah Saras—akan menjodohkannya dengan Andra Gunawan. Saras tidak habis pikir bagaimana bisa Wahyu memutuskan hal penting seperti itu tanpa persetujuannya. Namun, kali ini ia tidak bisa menolak lagi. Perdebatan yang tak pernah ada ujungnya itu berakhir dengan penerimaan Saras.

"Berhenti berhubungan dengan Damar! Latar belakang keluarganya aja jauh dari kata mapan."

Saras teringat dengan perkataan Wahyu. Lagi dan lagi rasa sakit menjalar di hatinya. Damar. Jika menyebut nama lelaki terkasihnya itu, pikiran Saras seolah menetap pada kenangan manis dan pahit yang pernah mereka lalui.

"Andra itu dokter yang baik, Saras. Masa depanmu akan terjamin dengannya."

Andra Gunawan. Nama calon suami Saras itu terdengar tidak asing di kalangan medis. Andra, dokter umum sekaligus anak tunggal dari Gumelar Gunawan, sahabat Wahyu. Utang budi saat di medan pertempuran menjadi alasan perjodohan itu diadakan.

Sembilan belas tahun lalu, Wahyu yang berprofesi sebagai tentara ditugaskan di Aceh. Di sana, Wahyu mengalami luka serius di pergelangan kakinya akibat terkena tusukan belati sekaligus tembakan. Tepat saat itu, Gumelar yang diturunkan ke wilayah yang sama lantas mengambil tindakan operasi kecil untuk menyelamatkan kaki Wahyu.

Ternyata usut punya usut, Wahyu dan Gumelar yang sudah saling kenal sejak masa SMA itu memang pernah berjanji akan menjodohkan anak mereka. Namun, mereka sempat hilang kontak selama beberapa tahun dan dipertemukan lagi ketika sama-sama bertugas di Aceh.

Saras seperti hidup di zaman Siti Nurbaya. Ayahnya bersikeras menjelaskan bahwa kehidupan mereka bisa stabil karena dukungan dari Gumelar, dokter spesialis bedah yang telah mendirikan rumah sakit ternama.

"Saras! Gawat, Ras!" teriak Nara. Raut wajahnya merah. Nara langsung menghampiri Saras yang keheranan.

"Ituuuu... Di luar sana acaranya kacau!" Nara mengatur napasnya agar bisa melanjutkan kalimat.

"Rame banget di luar kayak demo! Ada segerombolan cewek yang maksa masuk ke dalam gedung. Mereka... mereka minta pernikahan ini dibatalkan. Andra, Ras..."

Mata Saras membulat saat Nara menyebut nama Andra.

"Ada dokter coass yang ngaku kalau dia hamil anaknya Andra."

Wajah Saras mendadak pucat. Tubuhnya lemas. Ia hampir terjungkal dari sofa. Untungnya, Nara sigap menahan tubuh Saras.

Saras mencengkeram tangannya. Ia beranjak dari sofa menuju aula gedung pernikahan. Dengan langkah tergesa, ia mengangkat tinggi gaunnya. Ia tak peduli dengan tatapan iba dari tamu undangan. Sementara itu, Nara berusaha menyamai langkahnya dengan Saras.

Nara benar. Dekorasi pernikahan yang awalnya terlihat indah dan mewah itu sudah hancur. Beberapa tamu undangan sudah menyingkir karena kegaduhan yang diciptakan dokter coass dan gerombolannya itu.

Aksi mereka masih berlanjut. Mereka menghamburkan dekorasi bunga, lalu menginjak-injaknya. Mereka menumpahkan makanan dan minuman yang tersaji sehingga mengotori lantai. Mereka juga mencoret-coret foto pre-wedding Andra dan Saras.

"Kalau tidak mau tanggung jawab, hidupmu akan lebih hancur dari ini, Andra! Jangan mentang-mentang kamu berkuasa, lantas bisa mengubur janin ini hidup-hidup!" maki seorang perempuan berjas putih yang tengah mengusap perut buncitnya.

Saras terkejut saat menyadari ternyata perempuan itu Mita, dokter coass yang bekerja di rumah sakit ayahnya Andra. Seingat Saras, Andra tidak pernah terlihat dekat dengan Mita di rumah sakit. Ia bahkan tidak menaruh curiga sedikit pun pada Andra yang terkenal akrab dengan teman hingga rekan-rekan kerja wanita.

Andra tampak bersembunyi dibalik punggung teman-temannya. Wajahnya kalut, sedangkan Gumelar sudah menjauh dari kerumunan tamu undangan. Panitia acara kebingungan menghadapi kerusuhan yang terjadi. Mereka seolah pasrah daripada terlibat baku hantam.

Saras mendapati ayahnya yang terkulai lemas duduk di lantai. Rasa kecewa terpancar dari wajah Wahyu Adikusuma. Saras mendekati ayahnya. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia juga marah, tapi ia lebih tak tega dengan ayahnya.

"Saras," panggil Wahyu lembut. Sudut bibirnya gemetar.

"Iya, Ayah. Saras di sini," sahut Saras sambil mengenggam tangan Wahyu.

"Maafkan Ayah. Seharusnya, Ayah..." bisik Wahyu.

Belum sempat Wahyu meneruskan kalimatnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.

***