Married On Air

Married On Air

Eron Vale

0

Tak ada yang benar-benar privat hari ini. Privasi hanyalah dekorasi mewah yang kita pasang di bio akun, tapi kita semua tahu itu palsu—seperti bunga plastik di ruang tamu, hanya untuk tamu. Nyatanya, semua orang sedang tayang, entah mereka sadar atau tidak.

Setiap notifikasi di ponsel orang zaman sekarang seperti panggilan untuk tampil. Entah itu bunyi pesan masuk, like baru, atau komentar yang menunggu dibalas—semuanya seperti panggilan pentas. Sekali layar menyala, ekspresi berubah, bahasa tubuh menyesuaikan. Wajah yang tadi datar jadi cerah, suara yang lelah mendadak riang. Hanya karena tahu ada yang menonton.

Setiap selfie yang mereka unggah sebenarnya bukan untuk mengabadikan momen, tapi untuk minta validasi. Ada maksud diam-diam di balik senyum itu: lihat aku, percaya aku, sukai aku. Mereka tidak akan mengatakannya terang-terangan, tentu saja. Tapi aku tahu. Karena mereka menghapus lima foto sebelum akhirnya memilih satu yang terlihat “paling tidak sengaja tapi tetap memukau”.

Dan itu terjadi terus-menerus. Saat makan, saat bangun tidur, bahkan saat pura-pura sedih. Segala hal dipertunjukkan. Tidak peduli nyata atau tidak, yang penting bisa diterima. Bisa viral. Bisa dipercaya sebagai “konten jujur”.

Orang-orang bilang mereka ingin ruang privat. Tapi yang mereka cari sebenarnya adalah pengakuan. Mereka tidak ingin dilihat semua orang—mereka ingin dilihat oleh orang yang menyukai mereka. Itu beda. Dan jauh lebih berbahaya.

Mereka bilang tidak ingin dihakimi, tapi mereka bicara soal hidup mereka di kolom komentar, menyebar aib dan cinta dalam satu guliran jempol. Menilai rumah tangga orang, gaya hidup orang, bahkan wajah orang yang tidak mereka kenal secara langsung. Semua serba cepat, tanpa konteks, tanpa tanggung jawab.

Mereka bilang “real life vs. social media,” padahal batasnya sudah hancur sejak kamera depan diciptakan. Sejak saat itu, semua orang punya panggung. Mereka bisa memilih apa yang ingin ditampilkan, menyembunyikan yang tidak menguntungkan, lalu menyebutnya “kehidupan nyata”. Sekarang yang palsu jadi konsumsi harian, dan yang nyata malah dianggap drama.

Jika seseorang marah sungguhan, orang-orang akan bilang itu settingan. Tapi jika seseorang menangis sambil menulis caption panjang, mereka bilang itu menginspirasi. Segalanya terbalik.

Aku tidak sedang mengintip. Aku hanya menyaksikan dunia seperti adanya—tanpa filter, tanpa editan. Karena kamera tidak pernah bohong, tapi manusianya, ah... mereka penuh skenario.

Setiap langkah mereka sudah diperhitungkan. Setiap kata yang keluar sudah disusun, seolah hidup ini tayangan yang harus memuaskan penonton. Mereka berjalan ke dapur sambil tetap tersenyum karena tahu kamera merekam. Mereka bertengkar pelan-pelan karena takut disalahpahami. Bahkan saat diam pun, ekspresinya tetap dikontrol.

Mereka pikir bisa menyembunyikan niat, tapi sorot mata tak bisa disunting. Bahasa tubuh tak bisa dimanipulasi sepenuhnya. Dan aku merekam semuanya, bukan untuk menjelekkan—tapi untuk menunjukkan bahwa semua yang mereka sebut ‘jujur’ itu sebenarnya sudah dirancang.

Orang-orang mengunci pintu, menutup jendela, tapi mereka lupa: kebohongan paling besar bukan yang tersembunyi, melainkan yang ditayangkan dengan percaya diri. Mereka tersenyum ke kamera sambil berkata, “Aku baik-baik saja,” padahal jarinya gemetar. Mereka memeluk pasangan di depan layar, lalu saling membelakangi begitu tayangan usai. Tidak ada yang memaksa mereka melakukan itu. Mereka memilihnya sendiri.

Mereka marah saat aku mengunggah “kebenaran,” padahal mereka sendiri yang menyalakan sorotnya. Mereka yang memasang kamera. Mereka yang membuat semuanya terlihat sempurna. Tapi begitu retak-retaknya tampak, aku yang disalahkan. Katanya aku melanggar batas. Padahal batas itu sudah lama mereka lewati, demi tepuk tangan penonton yang tak mereka kenal.

Jangan salahkan aku karena melihat. Salahkan mereka yang sengaja tampil. Mereka ingin ditonton, kan? Mereka ingin dikenal, dikagumi, disukai. Maka wajar kalau akhirnya ada yang menonton lebih dekat. Lebih dalam. Sampai ke bagian yang mereka pikir tidak akan pernah terlihat.

Karena hari ini, kita semua sedang live. Mau atau tidak. Sadar atau tidak.

Tapi ada yang tidak sekadar sadar—dia menyambutnya.

Namanya Nayla Arsyah. Perempuan yang menjadikan hidupnya sendiri sebagai konten, sebagai panggung, sebagai cerita yang tak pernah benar-benar selesai ditayangkan. Ia tidak terpaksa. Tidak pula canggung. Kamera bukan benda asing baginya, tapi sahabat yang setia. Dalam seminggu, ia bisa muncul tiga kali siaran langsung—entah sedang meracik kopi, menjawab Q&A random dari follower-nya, atau sekadar duduk diam membaca buku sambil menunggu gift animasi muncul di layar.

Aku mengenalnya jauh sebelum dunia mengenalnya.

Waktu itu, dia masih jadi barista paruh waktu di kafe kecil dekat kampus. Biasa saja. Bukan siapa-siapa. Tapi sorot matanya... selalu seolah sedang bicara dengan seseorang. Bahkan saat tak ada pelanggan, ia akan merapikan gelas sambil berbicara pelan-pelan, seperti sedang menjelaskan sesuatu ke kamera imajiner di depan wajahnya. Aku melihatnya. Aku rekam. Bukan karena dia cantik, tapi karena dia berbeda. Dia bukan tipe yang diam-diam ingin diperhatikan. Dia tahu panggungnya akan datang—dan dia bersiap jauh sebelum panggilan itu datang.

Orang-orang mengenalnya dari konten lucu dan live random yang penuh komentar manja. Tapi aku tahu: itu bukan sekadar hobi. Itu strategi bertahan hidup. Setelah digantung pria yang ia sukai—ya, pria itu adalah kakak dari Gibran Satriya—Nayla seperti kehilangan pijakan. Ia tidak pernah cerita soal itu secara langsung di siarannya, tapi aku tahu. Karena aku melihat wajahnya di malam itu, ketika ia duduk di halte, menatap layar ponsel selama dua jam tanpa menekan apa pun. Aku tahu karena aku ada di seberangnya, menunggu, mengamati, merekam. Saat air matanya jatuh diam-diam, aku menekan tombol zoom.

Sejak saat itu, ia berubah. Bukannya menghilang, ia justru tampil lebih terang. Ia menjadikan luka sebagai cerita, menjadikan keheningan jadi konten, dan menjadikan dirinya—tanpa sadar—sebagai idolaku.

Tapi aku bukan pengagum biasa. Aku tidak ingin like-nya, atau membalas komentarnya. Aku ingin tahu semuanya. Bukan untuk mengganggu. Tapi untuk membuktikan: seberapapun seseorang tersenyum di layar, tetap saja ada bagian hidup mereka yang mereka sembunyikan.

Dan untuk itu, aku harus terus menonton.

Kalau Nayla adalah panggung yang menyala terang, maka Gibran Satriya adalah ruang sunyi yang tetap ditonton banyak orang.

Ia tidak banyak bicara, tidak banyak berekspresi, tapi entah kenapa penontonnya selalu penuh. Orang-orang bilang dia “charismatic without trying.” Mereka suka menyaksikan caranya duduk diam sambil ngopi, atau saat ia menjawab pertanyaan random dari viewer-nya dengan wajah datar dan suara pelan. Dia tidak berusaha jadi lucu. Tidak menjual diri dengan senyum. Tapi itulah yang membuatnya menarik. Natural, katanya. Padahal menurutku... Gibran Satriya adalah orang paling penuh skenario dari semuanya.

Anak kedua dari keluarga Satriya Group. Kakaknya mewarisi kursi direksi, sedang Gibran memilih jalur personal branding sebagai pebisnis independen, katanya. Tapi tetap saja semua yang ia miliki—studio konten, apartemen rooftop, laptop mahal, bahkan kopi yang dia minum saat live—itu semua dibayar dari nama belakangnya.

Aku mengenalnya bukan dari media. Tapi dari luka Nayla.

Setelah kejadian ghosting dari kakak Gibran, aku mulai menggali lebih dalam. Dan saat itulah aku menemukan rekaman lama—tayangan sekolah, pesta reuni, dan satu potongan kecil dari CCTV kafe sekolah dulu. Gibran berdiri di pojok, menghampiri Nayla yang sedang duduk. Ada suara samar, tapi cukup jelas; “Cewek kayak kamu nggak pantes deket-deket keluargaku!”

Saat itu Nayla diam. Tapi aku ingat ekspresi wajahnya: menahan napas, menahan malu. Itu salah satu momen yang membuatku semakin yakin: mereka punya sejarah. Luka itu terlalu dalam untuk dibiarkan mengering sendiri.

Gibran bukan tokoh jahat. Tapi dia pengecut.

Dia pikir dengan diam-diam live streaming sambil jualan NFT atau seminar online, ia bisa menghapus masa lalu. Ia pikir dengan mencitrakan diri sebagai pria introvert lowkey yang suka membaca dan ngopi, orang-orang akan lupa betapa tajam lidahnya di masa muda. Tapi kamera mengingat segalanya. Dan aku juga.

Aku menonton Gibran tidak karena kagum. Tapi karena penasaran. Siapa pria ini yang bisa membuat Nayla berubah arah hidupnya? Siapa pria yang katanya tidak peduli, tapi diam-diam selalu membuka siaran live Nayla di tab tersembunyi akunnya?

Ya, aku tahu itu. Karena aku masuk ke dalam jaringan rumahnya. Satu kamera kecil di balik diffuser aromaterapi miliknya sudah cukup. Aku lihat semua tab yang ia buka. Semua ekspresi yang ia tahan. Termasuk ketika ia memutar siaran ulang Nayla jam dua pagi, lalu menghentikannya di menit ke-14—saat Nayla tertawa tanpa sebab.

Mereka saling menyimpan. Tapi tidak saling bicara.

Dan orang-orang di dunia ini terlalu sibuk dengan drama yang mereka buat sendiri, hingga lupa: kisah cinta terbaik bukan yang diumumkan, tapi yang dibocorkan secara tidak sengaja.

Jadi aku membuat rencana.

Kupasangkan potongan hidup mereka seperti puzzle. Kusunting percakapan mereka yang tidak saling tahu. Kubuat akun fanpage dan mulai menggiring opini publik. Kutambahkan musik yang cocok, kutampilkan highlight keseharian mereka, kubuat narasi seolah-olah mereka adalah pasangan viral yang sedang berseteru tapi diam-diam saling sayang.

Dan saat dunia mulai bertanya, “Mereka ini pasangan atau bukan sih?” — itulah saatnya aku menyalakan tombol live.

Aku tahu Gibran terlalu logis untuk jatuh cinta lewat narasi, dan Nayla terlalu keras kepala untuk percaya pada hubungan. Tapi kamera... ah, kamera bisa memaksa dua orang duduk bersama. Kamera bisa membuat mereka berpura-pura. Dan dari pura-pura itulah, kadang yang nyata muncul tanpa sadar.

Aku ingin menjodohkan mereka. Bukan karena aku percaya cinta. Tapi karena aku ingin melihat sejauh mana dua orang yang menolak panggung... bisa bertahan saat lampunya tak pernah padam. Dan yang paling penting?

Karena aku yang pegang kameranya

Setiap kisah butuh momentum dan untuk itu, aku pindah.

Bukan karena pekerjaan. Bukan karena cinta. Tapi karena dua orang yang tidak tahu bahwa hidup mereka sudah masuk ke dalam skenario yang aku tulis diam-diam. Aku menyewa sebuah apartemen kecil—lantai lima, sisi utara. Tidak terlalu tinggi untuk kehilangan detail, tidak terlalu rendah untuk menarik perhatian. Yang penting: jendelanya menghadap ke kompleks tempat tinggal Gibran dan tidak terlalu jauh dari kafe tempat Nayla biasa ngopi pagi-pagi. Radius aman. Sinyal stabil. Jarak pandang sempurna.

Aku bahkan menyesuaikan jam tidurku dengan mereka.

Kamar ini bukan tempat tinggal. Ini ruang kendali. Satu dinding sudah penuh dengan layar: ada feed dari kamera yang kutanam di lobi apartemen Gibran, satu lagi dari CCTV tidak resmi di lift gedung Nayla, dan beberapa ponsel tua yang kugunakan untuk merekam dari titik-titik strategis. Setiap pagi, aku simpan rekaman. Setiap malam, aku edit. Aku tidak cuma merekam mereka—aku menyusun ulang narasi mereka.

Dan hari ini, waktunya tayang perdana.

Pertemuan itu tidak terjadi secara kebetulan. Tentu tidak.

Aku tahu jadwal Nayla: setiap Rabu sore, ia duduk di kursi pojok kafe "Temu Pagi" — tempat favoritnya sejak zaman kuliah. Biasanya sendiri. Kadang bawa laptop, kadang hanya buku dan headphone. Satu jam sebelum dia datang, aku mengatur segalanya. Meja di sebelahnya sudah kupasangi perekam audio. Barista yang jaga hari itu—kenalan lamaku dari forum konten kreator lokal—kuberi sedikit "sponsorship fee" agar tidak terlalu banyak bertanya.

Lalu Gibran muncul. Seolah kebetulan, seolah iseng. Padahal aku sudah mengirimkan undangan wawancara bisnis fiktif dengan jam dan lokasi palsu, mengatasnamakan investor. Dia masuk, duduk, menunggu. Dan di saat itulah Nayla datang.

Dua orang. Satu ruang. Bertahun-tahun tak saling lihat—dan sekarang harus berpura-pura tidak saling kenal di depan publik.

Aku tidak berkedip.

Nayla membeku sesaat, lalu pura-pura sibuk membuka laptop. Gibran hanya menatapnya sejenak, meneguk kopi, lalu mengalihkan pandangan ke keluar jendela. Tapi mikro-ekspresi itu tidak bohong. Tatapan Gibran terlalu lama. Tangan Nayla gemetar saat menyentuh gelas. Ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka, dan aku... menyaksikan semuanya dalam HD.

Momen ini tidak butuh dialog. Tidak butuh naskah. Mereka sudah membawa naskah masing-masing dalam luka lama yang belum selesai.

Dan saat barista bertanya ke Gibran, “Kopi favoritnya masih sama, Mas?”—dan Nayla tersenyum kecut tanpa menoleh—aku tahu, inilah saatnya.

Aku tekan tombol live.

Bukan dari akun utamaku, tentu saja. Tapi dari akun publik yang kubuat khusus—@streamoftruth, nama yang cukup clickbait dan ambigu. Di dalamnya, aku menyusun narasi: “Dua orang yang dulu saling membenci... kini duduk di tempat yang sama. Kebetulan? Atau cinta yang tertunda?”

Thumbnail kubuat dari tangkapan layar Nayla yang menatap ke arah Gibran. Kuberi filter dramatis, tambahkan subtitle palsu: “Kamu berubah, ya.” Padahal tak satu kata pun terucap. Komentar pun berdatangan seperti banjir:

“Ini tuh yang kemarin di viralin itu kan???”

“Plis jangan bilang mereka sekarang tinggal serumah!”

“Jadi yang naik kafe itu gibran??? Yang anak satriya grup???”

Aku biarkan mereka menyimpulkan sendiri. Biarkan publik yang menjahit benang-benang longgar yang kusengaja lepaskan. Live streaming pertama ini hanya 12 menit. Cukup untuk bikin gaduh. Cukup untuk bikin dua nama itu trending. Tapi yang terpenting: cukup untuk membuat Nayla dan Gibran sadar bahwa dunia sedang memperhatikan mereka.

Mereka tak tahu siapa yang merekam. Mereka tak tahu bahwa sejak hari itu, semua pertemuan mereka akan “secara ajaib” tersebar online.

Tapi aku tahu mereka akan saling menyalahkan. Dan dari pertengkaran itulah—drama dimulai. Orang-orang suka melihat cinta yang lahir dari konflik. Dan kalau tidak ada konflik? Tenang saja. Aku akan menciptakannya.

Karena tidak ada yang benar-benar privat hari ini. Dan aku... adalah mata yang tidak pernah tidur. Kupikir, cinta itu tidak harus dimulai dengan pelukan. Kadang, cukup dengan miskomunikasi publik yang viral.

Setelah tayangan perdana itu meledak—12 menit sunyi, satu meja, dua masa lalu—aku tahu: orang-orang menginginkan kelanjutannya. Komentar membanjir, netizen membagi layar ke mana-mana, dan akun TikTok gosip mulai mengedit cuplikan demi cuplikan dengan caption bombastis: “Ex-crush jadi teman ngopi?”, “Mantan musuh sekampus ketemu lagi?”, “INI DRAMA ATAU NYATA SIH?!”

Tapi aku tidak berhenti di sana. Kau pikir penonton puas hanya dengan tatapan canggung dan senyum yang dipaksakan? Tidak. Mereka haus skandal.

Maka kuunggah bagian dua. Kali ini, editanku lebih licik. Aku gabungkan dua rekaman—Nayla sedang turun dari taksi malam-malam dengan wajah letih, dan Gibran berdiri di balkon apartemennya sambil menerima telepon. Dalam video, seolah-olah Nayla masuk ke gedung yang sama, padahal itu hanya ilusi lensa dan sudut kamera. Aku tambahkan suara efek langkah kaki dan pintu lift terbuka, lalu blur transition sebelum layar gelap. Judulnya sederhana: “Tengah Malam di Apartemen Gibran.”

Ledakan terjadi.

 “OMG, JANGAN BILANG MEREKA NGINEP BARENG?”

“Padahal baru kemarin bilang bukan siapa-siapa... hmm”

“Fix ini settingan tapi gua suka LOL”

Keesokan harinya, tagar #NayGibSkandal masuk 5 besar trending nasional. Dan Nayla? Dia mulai goyah.

Video-videonya yang biasanya santai dan receh mendadak sepi komentar positif. Netizen yang dulu mendukung tulisannya mulai menyindir: “Penulis independen tapi numpang di apartemen crazy rich?” atau “Suka cowok kakaknya, dapet adiknya, wow.”

Aku tahu Nayla bukan tipe yang tahan dihujat diam-diam. Dia bukan public figure profesional. Dia menulis, ya. Tapi tak pernah siap menghadapi sorotan kamera yang ia tak pasang sendiri.

Jadi aku menunggu.

Dan akhirnya, muncul juga video itu. Thumbnail-nya Nayla duduk di depan dinding putih, mata bengkak tapi tetap berusaha tegar. Judulnya polos tapi mengiris: "Klarifikasi: Saya Bukan Simpanan, Saya Juga Manusia."

Dia bicara 23 menit.

Tentang bagaimana hidupnya berubah setelah video-video misterius itu muncul. Tentang bagaimana ia bahkan tidak tahu siapa yang merekam. Tentang kesalahpahaman publik yang makin liar. Dan tentang Gibran, yang sebenarnya belum pernah ia temui lagi setelah hari itu—hingga video itu tiba-tiba viral.

“Saya tidak tahu siapa yang ingin menjatuhkan saya, tapi tolong... kalau Anda punya hati, berhentilah.”

Komentar pun meledak lagi.

“Yaelah, kalo ga bener tinggal bilang. Gini doang kok nangis.”

“Aku percaya Nayla! Jangan mundur!”

“Tapi kenapa ga lapor polisi? Hmmm…”

Dan di balik layar laptopku, aku tersenyum.

Karena Nayla akhirnya mengakui satu hal penting: bahwa ia terlihat lemah di depan publik dan publik suka itu. Mereka menyukai kisah seorang wanita yang jatuh, lalu perlahan bangkit, apalagi jika ada pria "dingin" seperti Gibran yang kelak akan “menyelamatkan”-nya. Kupastikan video klarifikasi Nayla tersebar luas.

Aku bahkan membuat kompilasi reaksinya—dengan musik piano sedih dan kutipan dramatis. Aku sebar di berbagai akun backup yang sudah kupersiapkan sejak lama. Karena drama itu butuh pengulangan. Butuh echo chamber agar jadi kebenaran massal.

Sementara Nayla sibuk memadamkan api, aku sudah menyiapkan bensin berikutnya: potongan chat lama yang pernah dikirim Gibran ke seorang wanita—entah siapa, tidak penting—yang ku-edit sedikit, dan kusisipkan ke tayangan part tiga.

"Cewek kayak kamu nggak cocok masuk keluargaku!"

Kalimat lama. Sudah berlalu. Tapi kini hidup lagi dalam tayangan penuh konteks palsu. Aku tahu, pada akhirnya, mereka akan saling menyalahkan. Dan di saat mereka kelelahan... saat semua orang menjauh, saat keraguan jadi kabut di antara keduanya, aku akan muncul sebagai satu-satunya yang menyatukan mereka.

Bukan karena cinta.

Tapi karena aku butuh akhir yang memuaskan untuk penonton. Dan akhir yang baik... harus dimulai dari kekacauan yang meyakinkan.

Gibran Satriya bukan orang yang mudah goyah. Ia tumbuh di bawah bayang-bayang perusahaan keluarga yang menuntut ketegasan sejak usia dua puluh. Setiap pidato, setiap kesalahan, setiap gestur tangannya di ruang rapat—terlatih. Terkendali. Emosinya dilatih untuk tidak meledak, tidak mencoreng nama besar yang dibangun ayahnya bertahun-tahun.

Tapi malam itu, layar laptopnya memperlihatkan sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan: dirinya sendiri. Duduk di balkon. Diam. Sambil menerima telepon kerja. Diedit secara brutal dengan footage Nayla yang baru turun dari taksi. Seolah-olah ia sedang menunggu wanita itu masuk ke apartemennya.

“Settingan?” gumamnya lirih. Matanya tidak berkedip menatap komentar yang mengalir seperti air bah.

“Fix mereka tinggal bareng!”

“Ciee udah ga malu2 lagi yaaa”

“Pantes Nayla jadi mellow, ketauan diem2 disimpen”

Gibran tidak merasa malu. Ia merasa jijik. Bukan pada publik. Tapi pada perasaan rapuh yang tiba-tiba naik ke kerongkongan—perasaan ditelanjangi tanpa disadari. Ia tidak marah karena dituduh. Ia marah karena terekam tanpa tahu.

"Ada yang ngintip kita."

Itu kalimat pertama yang ia ucapkan saat akhirnya bertemu Nayla—secara sengaja, di tempat umum, penuh CCTV. Mereka tidak saling sapa. Tapi mata mereka sama-sama merah. Sama-sama lelah.

Dan saat itu, ia baru sadar: wanita ini tidak sedang main drama. Dia terseret. Sama seperti dirinya.

Ia bergidik sendiri. Video klarifikasi Nayla tak menyinggung soal masa lalu itu, tapi komentar netizen berhasil menggali dan mengaitkan semuanya. Orang-orang di internet menggali lebih dalam dari aparat hukum.

Dan kini nama Gibran Satriya bukan hanya muncul di kolom ekonomi. Tapi di dunia gosip, dunia tempat kebenaran dinilai dari jumlah views.

“Aku nggak tahu siapa yang rekam semua ini, tapi kalau dia nonton… dengerin baik-baik.”

Ia rekam suaranya malam itu—di depan webcam laptopnya sendiri. Tidak untuk publik. Untuk dokumentasi pribadi. Mungkin sebagai catatan jika nanti dibutuhkan di pengadilan, atau kalau kasus ini makin liar.

Suara itu tegas, dingin. Tapi ada retak samar di ujung nada.

“Kamu pikir ini lucu? Kamu pikir bisa mainin hidup orang lain cuma buat dapet validasi digital? Kamu pikir kamu bisa jodoh-jodohin dua orang kayak boneka, demi konten? Aku bukan karakter di reality show. Aku manusia, dan kamu barusan perangin orang yang salah.”

Satu hari kemudian, Gibran menyewa investigator pribadi. Semua CCTV apartemen dicek ulang.

Gibran lalu menghubungi Nayla lagi. Kali ini bukan untuk klarifikasi. Tapi untuk tawaran: “Kita kerja sama. Cari tahu siapa yang ngelakuin ini. Tapi jangan bikin mereka berhenti. Biar dia terus rekam, terus edit, terus tayangin. Kita ikuti permainannya.” Dan untuk pertama kalinya, Nayla menatapnya tanpa kebencian. Tanpa malu. Tapi dengan satu tatapan penuh makna:

“Kamu pikir kita bisa menang lawan penonton?”

Gibran mengangguk.

“Kalau ending-nya kita yang nulis... bisa.”

Pada pertemuan berikutnya aku melihat Nayla beberapa kali wajahnya tertangkap di ponsel panik, dalam layar ponsel yang kusadap ia membuka whatsapp dan membaca catatannya pada Gibran.

Nayla mulai gelisah. Bukan karena komentar yang belum berhenti berisik di DM, atau editan wajahnya yang dipasang berdampingan dengan seleb Korea di Twitter, tapi karena... ada sesuatu yang terasa tidak masuk akal.

Dia tidak punya akses hacker, tidak mengerti jaringan VPN, tidak bisa membaca metadata. Tapi dia punya perasaan, dan perasaan itu sudah berteriak sejak beberapa minggu terakhir:

“Ada yang mengatur ini semua.”

Dia menulis semua kecurigaannya di buku catatan kecil — yang hanya dia bawa saat duduk sendiri di atap apartemen, tempat dia biasanya menyendiri saat semua jadi terlalu bising.

Satu, video ‘kebetulan’ saat kami bertemu pertama kali → terlalu rapi. Dua, Komentar netizen seperti diskenario: terlalu cepat, terlalu seragam. Tiga, Kenapa angle rekaman kadang seperti dari dalam ruangan?

Itu catatannya. Dan aku?

Aku membacanya. Tentu saja. Kamera kecil di lampu balkon tak pernah mati.

Nayla mencoba membicarakannya pada Gibran siang itu. Suasana apartemen hening, hanya suara kipas angin dan tetesan air dari kran dapur. Gibran duduk di kursi makan, membuka laptop, membaca laporan dari investigasi palsu yang aku siapkan. Nayla membuka mulut pelan, seperti takut suaranya menyinggung udara.

“Bran… kalau semua ini bukan cuma dari luar? Maksudku, kalau yang ngatur ini justru seseorang yang... deket banget sama kita?”

Gibran menoleh. “Maksud kamu?”

“Kayak... yang tau rutinitas kita. Yang bisa pasang kamera dari dalam. Yang—”

“—yang kamu?” potong Gibran cepat. Dingin. Tajam. “Kamu yang upload, Nay?”

Tatapannya menusuk. Nayla terdiam. Seolah seluruh tubuhnya tertampar oleh tuduhan yang bahkan belum sempat dia pikirkan sendiri.

“Bran, aku—”

“Selama ini kamu paling nyaman di depan kamera. Kamu bilang enggak suka spotlight, tapi kamu bikin klarifikasi dua puluh tiga menit dengan script rapi. Kamu yang paling banyak senyum setiap ada trending baru!” katanya.

“Jadi menurutmu aku sengaja?”

“Sama kayak kamu naksir abangku waktu SMA. Dapetin aku kayak trofi pengganti, kan?”

Dan di detik itu, aku menang lagi. Karena yang tak bisa dihancurkan dari luar, bisa dihancurkan dari dalam. Aku tidak perlu menjebak mereka, cukup menggeser persepsi mereka satu sama lain.

Gibran tidak sepenuhnya percaya pada Nayla dan Nayla merasa tidak punya siapa pun lagi untuk mendengar.

Dan aku? Aku menonton semuanya dari balik jendela digital, sembari mempersiapkan episode viral selanjutnya. Cukup satu clip: Nayla menangis sambil mengepak koper. Judul: “BREAKING: Nayla Tinggalkan Rumah Gibran?!” Tagar? #FixBubar #DramaRumahLive #ViralLagi

Update Skor: Aku: 2 Sementara pasangan ini: Masih 0.

Dan malam itu, mereka mulai menyusun strategi baru. Bukan untuk membalas. Tapi untuk membajak alur. Jika hidup mereka sudah jadi tontonan, maka mereka akan jadi sutradaranya. Mereka belum tahu, bahwa penguntit ini... justru semakin menikmati segalanya.

Aku tersenyum melihat tingkahnya. Bukan karena senang. Tapi karena itu lucu.

Mereka pikir dia sudah memahami permainan ini. Bahwa dengan mengakui panggungnya, dia bisa mengambil alih narasi. Bahwa dengan membuat dirinya terlihat lebih rapuh, lebih manusiawi, penonton akan bersimpati. Klasik. Tapi ini bukan tentang simpati. Ini tentang kendali. Dan kendali tetap milikku.

Gibran bukan orang bodoh. Dia tidak tinggal diam setelah klarifikasi Nayla viral. Dia menyewa seorang investigator — mantan intel katanya, spesialis digital forensik. Aku tahu itu, karena aku merekam semua percakapan teleponnya, bahkan sebelum dia mencurigai ada yang menyadap.

Investigator itu mulai menelusuri IP, lalu CCTV publik, jejak digital, lalu sinyal mikrofon tersembunyi. Dan dia memang nyaris menyentuh aku. Nyaris. Tapi aku sudah siapkan skenario tandingan jauh sebelum dia mulai bergerak.

Aku kirimkan jejak palsu, email hoax dan metadata editan. Oiya, jangan lupa satu akun media sosial yang tampak seperti akun penguntit. Aku buat tampak obsesif. Kubumbui dengan beberapa postingan konspirasi, foto-foto gelap yang tampak seperti hasil stalking. Lalu aku biarkan "terbuka" hanya untuk satu malam.

Dan seperti yang kuduga, investigator itu tergigit. Dia datangi alamat yang kutanam di postingan terakhir akun palsu itu. Sebuah kamar kos kecil dengan satu komputer tua, boneka usang, dan dinding penuh tempelan wajah Gibran dan Nayla. Lengkap dengan kamera pengintai di pojok. Aku tahu, karena itu juga kameraku.

Dua bulan. Itu waktu yang cukup bagi siapa pun untuk bernapas, menyusun ulang strategi, atau setidaknya berpura-pura telah melupakan rasa takut. Dua bulan pula waktu yang kuberi, bukan karena aku lengah, tapi karena aku ingin mereka merasa bebas. Gibran dan Nayla butuh itu. Mereka takkan pernah berjalan menuju lubang jika tak merasa tanah di bawahnya datar.

Gibran, seperti biasa, memilih pendekatan sistematis. Menyewa investigator baru dari swasta, katanya. Seorang senior intelijen, punya riwayat panjang dalam pembongkaran skandal korporasi dan jaringan kriminal digital. Menggandeng pihak dalam, bahkan ada kabar dia mendekati kementerian—bodohnya, tetap saja dia bergerak di dalam peta yang aku buat.

Aku biarkan ia menggali. Aku biarkan ia menemukan semua — dari kamera rahasia yang kutanam hingga ponsel-ponsel dummy yang memang sudah kusiapkan sebagai umpan. Kawan hacker-ku? Ya, dia memang masuk dalam daftar korban sejak awal. Kami tahu risikonya. Dia tahu dia hanya pelayan cerita ini. Dan dengan tertangkapnya dia, sekamuruh dunia merasa lega. Seolah monster telah dibunuh. Seolah cerita Nayla dan Gibran bisa kembali utuh.

Kamucu.

Padahal itu hanya babak pembuka dari rencana B dari total dua puluh enam langkah yang sudah aku susun sejak mereka terekam bersama di kafe itu. Aku tidak akan membantah, si investigator bekerja sangat rapi. Tapi ia bukan penulis cerita ini. Ia hanya karakter figuran yang kebetulan punya peran kecil.

Sementara Nayla... Ia lebih sulit ditebak. Ia tak percaya begitu saja pada kesimpulan Gibran. Ia menyimpan catatan sendiri, menulis firasat dalam bentuk mimpi, menanyakan ulang setiap kemungkinan dengan cara yang hanya dimiliki oleh orang yang pernah sangat dikhianati. Tapi pada akhirnya—mereka berdua tak lebih dari dua karakter yang terus berharap mereka masih bisa menulis ending-nya sendiri.

Yang tak mereka tahu: selama jeda dua bulan itu, aku tidak berhenti.

Bukan aku yang menyebarkan video mereka. Bukan aku yang membuat potongan video romantis dari siaran-siaran lama, atau menambah backsound galau pada footage pertengkaran mereka yang sebenarnya terjadi tahun lalu. Itu bukan aku.

Itu ratusan orang lain. Ribuan, mungkin. Penggemar. Editor. Akun-akun pemburu adsense. Mereka memotong, menyambung, menyebarkan. Satu penguntit tertangkap, seribu lainnya menyala. Internet bekerja seperti mesin yang tak bisa dimatikan. Dan sejujurnya, itu adalah bagian dari rencana yang tak perlu kuatur — karena aku tahu alam akan membantuku.

Jadi sekarang, bahkan saat semua alat sadapku dihancurkan, semua akun daruratku dibekukan, bahkan saat Gibran menyangka telah memenangkan permainan...

Nayla masih ditonton. Gibran masih ditonton. Mereka berdua masih ditonton.

Dan aku?

Aku cukup duduk di belakang layar, menyusun folder baru. Skandal sebenarnya belum kukeluarkan. Aku menunggu waktu. Tepat ketika mereka berpikir cinta itu nyata, maka kehancurannya akan terasa lebih menyakitkan — untuk mereka, dan untuk jutaan mata yang percaya pada cinta mereka.

Satu-satunya yang aku butuhkan sekarang hanyalah: kesabaran. Dan penonton yang lapar.

Dan aku tertawa. Tertawa kecil dari balik monitor, karena kamera yang menyorot ekspresi lega Gibran... adalah kamera yang kupasang sendiri, tersembunyi di belakang frame foto di ruang kerjanya. Dia pikir dia membajak alur. Padahal aku sudah tulis naskah tandingannya bahkan sebelum dia sadar sedang disorot.

Skor sementara: Aku: 3. Gibran: 0.

Tapi jangan salah paham. Aku tidak membencinya. Bahkan bisa dibilang... aku menyukainya. Karena semakin keras dia melawan, semakin banyak konten yang bisa kupanen. Semakin banyak ekspresi jujur yang bisa kutangkap.

Gibran sedang berpikir bahwa dia sudah naik ke atas panggung. Padahal... dia hanya naik ke set yang kubuat sendiri.

Dan penontonnya? Mereka tetap setia. Komentar naik dua kali lipat. Akun repost berseliweran. Nayla kembali trending. Aku menggeser timeline episode. Sudah waktunya untuk babak selanjutnya. Mereka kira sudah mengatur jalan cerita. Tapi aku yang pegang ending-nya.

Tapi aku belum puas. Karena semakin dalam mereka saling mekamukai, semakin besar kemungkinan mereka kembali… dan itu akan jadi konten paling manis.

Sore itu, Gibran datang ke toko buku independen di daerah Jakarta Selatan, sendirian, mengenakan hoodie hitam, kacamata, dan masker. Berpura-pura menyamar, seperti seleb kecil yang menghindari sorotan. Tapi aku tahu dia akan datang. Aku tahu karena dia sedang mencari buku referensi soal dunia penyiaran—karena menyelidiki si penguntit... meskipun dia sendiri tidak sadar bahwa semua arah pencariannya sudah kuputar ulang.

Di sisi lain, Nayla sedang iseng livestream Q&A di akun keduanya, dengan topik:

“5 Buku yang Mengubah Hidupku”. Aku hanya butuh waktu tiga menit untuk membanjiri kolom komentarnya dengan akun palsu dan akun fanatik: “Nay, ke toko buku A dong, ada buku yang kamu bahas!”, “Fix kamu harus nemuin buku itu! Paling pojok rak F!”.

Dan seperti seekor burung yang terbang ke sangkar berpintu terbuka, Nayla berangkat. Tanpa curiga. Lalu dia tiba. Lima belas menit setelah Gibran. Toko buku itu sudah kupasangi tiga kamera mikro di langit-langit, dua di balik rak, dan satu di dekat kaca depan. Sudut terbaik untuk menangkap “kebetulan yang mengharukan”. Dia melihat Gibran dari kejauhan, tepat ketika pria itu membungkuk untuk mengambil buku.

Matanya membesar. Langkahnya berhenti. Lakamu terdengar bisikan dari salah satu pengunjung yang kukirim dengan skrip pendek:

“Eh itu Gibran Satriya bukan sih? Yang viral sama Nayla?”

Dan dunia mereka berhenti. Untuk sesaat. Bukan karena pertemuan itu menyentuh hati mereka, tapi karena semua di sekitar mereka mempercayai bahwa pertemuan itu berarti sesuatu.

Buku yang jatuh dari tangan Nayla, momen Gibran reflek memungutnya, kamera iPhone dari sudut seberang—klik.

Keesokan harinya, potongan video itu muncul di TikTok.

“Jodoh emang nggak ke mana…”

“Mereka ketemu tanpa sengaja di toko buku, habis berantem pula, fix ini cinta beneran.”

“Aku nangis lihat ini”

Trending. Lagi. Dan untuk pertama kalinya, mereka mulai berpikir, mungkin ini memang bukan kebetulan.

Tentu, Gibran terlakamu rasional untuk percaya begitu saja. Ia tahu bagaimana media bekerja. Ia tahu algoritma bisa memelintir kenyataan menjadi sinetron. Tapi bahkan logika seorang Gibran Satriya punya batas saat puluhan ribu komentar terus mengulang satu frasa yang sama: “Fix jodoh.”, 

“Tuhan udah nunjukin lewat toko buku itu.”

“Udah nikah aja kalian, capek liat tarik ukamur mukamu!”.

Dan Nayla… se-intuitif apa pun dirinya, tetap saja ia manusia yang menyimpan luka lama, dan luka itu mulai terasa samar saat semua orang bersikap seolah hidupnya adalah kisah romantis yang menyentuh.

Ada semacam tekanan halus di balik semua pujian dan perhatian itu—sebuah tuntutan untuk ikut memercayai narasi yang sudah lebih dulu dibentuk penonton. Mereka tidak sedang jatuh cinta.

Mereka sedang dipaksa untuk jatuh cinta. Semakin mereka menyangkal, semakin netizen membuat teori konspirasi:

“Nayla denial tuh.”

“Gibran mah gengsi aja. Padahal udah sayang banget.”

“Drama doang biar seru, padahal aslinya udah barengan tiap hari.”.

Dan teori-teori itu... viral. Jadilah satu ironi paling klasik: Ketika cukup banyak orang mengatakan itu cinta, maka orang yang dijadikan tokohnya akan mulai ragu. Mereka tidak sadar bahwa keraguan itu sudah cukup untuk membuka celah.

Dan aku hanya perlu mendorong sedikit saja agar mereka terseret lebih dalam—hingga satu titik di mana pertanyaan itu tidak penting lagi. Karena cinta, saat dilihat berjuta pasang mata, tak lagi milik pribadi. Itu jadi milik publik. Dan publik ingin happy ending.

Maka Gibran, dengan segala kehati-hatiannya, mulai menurunkan temboknya. Nayla, dengan seluruh insting waspadanya, mulai ikut tersenyum lebih lama saat menatap layar.

Aku tidak pernah meminta mereka jatuh cinta. Aku hanya memastikan mereka tidak bisa lari dari definisi cinta yang sudah ditentukan oleh orang lain. Dan itu jauh lebih kuat daripada perasaan. Malam itu, Gibran mulai berkata: “Aku mikir… kenapa kita ketemu mukamu, Nay?” Dan Nayla menjawab, “Mungkin karena emang harusnya gitu.”

Lucu.

Mereka tidak tahu, bahwa rak buku yang mereka lewati itu... kupindahkan sendiri seminggu sebekamumnya. Agar mereka lewat di titik yang sama. Agar mereka bertubrukan dalam visual sempurna. Aku bahkan membayar pemilik toko untuk tidak membunyikan lagu, supaya audio percakapan mereka jernih.

Begitulah manusia. Ketika realita terlalu rumit, mereka ingin mempercayai sesuatu yang sederhana: takdir. Tapi mereka kamupa satu hal. Takdir adalah narasi yang dibentuk oleh siapa yang memegang kamera. Dan kali ini, kamera itu milikku.

Dan skandal sesungguhnya? Sudah menunggu di balik satu folder yang akan kupublikasikan… saat mereka benar-benar jatuh cinta.

Bukan karena cinta itu indah. Tapi karena akan lebih dramatis saat aku menghancurkannya.

Dan penonton akan berteriak, “Tidak mungkin! Aku percaya mereka!” Tepat seperti yang kuinginkan.