Sudah hampir pukul sebelas, tapi Sanrego masih saja berceramah seakan-akan malam itu ia mengisi sambutan dalam acara tujuh belasan. Marlina tidak mencerna apa yang dipaparkan bosnya sejak warung makan tutup sejam lalu. Ia telah melewati 17 Oktober sebanyak tiga puluh delapan kali dalam hidupnya, dan 17 Oktober kali itu adalah hari paling tak berguna baginya.
“Sudah hampir pagi, Bos,” ucapnya menyela basa-basi busuk Sanrego yang tak kunjung usai.
Sanrego meneguk air sirop yang serupa darah, kemudian berkata, “Kau bungkuslah beberapa lauk untuk anakmu. Lepas ini, kuantar kau pulang.”
Marlina hendak beranjak, tapi Nopi, teman kerjanya, menahannya. “Turuti aja kata si Bos, biar enggak makin lama kamu ditahan.”
Marlina menyentakkan tangan Nopi. Ia berulang kali melirik arlojinya.
“Baru telat satu jam,” ucap Sanrego yang menyadari kegelisahan Marlina.
Nopi memegang lengan Marlina dan memberi kode dengan melirik meja makan, sementara Sanrego melanjutkan orasinya lagi.
“Besok kalian boleh datang terlambat karena pulang larut. Tidak apa-apa sekali-kali kita buka agak siang,” ucap Sanrego yang langsung disambut tepuk tangan semua yang hadir, kecuali Marlina.
Ia manusia tak berguna. Maksudnya, semua kata yang ia ucapkan tak ada gunanya, setidaknya itu yang ada di pikiran Marlina. Namanya Sarolangun, tapi lebih suka dipanggil Sanrego. Ia pernah berkata, Sanrego adalah tokoh favoritnya di film Tarung Sarung yang diperankan oleh aktor Cemal Faruk—dan ia merasa mirip dengan aktor itu. Padahal, menurut Marlina, penampilan Sarolangun lebih mirip perpaduan anggota militer dan tukang minyak wangi keliling daripada artis keturunan Turki itu.
Ia memiliki tanda lahir di bawah mata berwarna cokelat kemerahan, yang sebenarnya tidak mengganggu, tapi jadi sangat mengganggu bagi Marlina karena Sanrego selalu menyebut-nyebut dan mengingatkan kalau tanda itu ada. Kepalanya seperti pentol korek dan kulitnya cokelat seperti roti panggang. Suaranya lantang dan tawanya selalu dibuat-buat: selalu begitu meskipun Marlina tidak pernah menanggapi tawanya.
Marlina menurut. Ia menatap beberapa hidangan yang terhampar di meja panjang di depannya: ayam goreng, rendang, capcay, nasi goreng seafood, puding, aneka jus buah, dan donat. Ia ingat, donat adalah makanan kesukaan putrinya. Ia mengambil donat rasa cokelat, keju, dan kacang, lalu memasukkannya ke kotak take away yang biasa ia pakai membungkus makanan pembeli.
“Aku rasa, remaja seusia anakmu, tak akan mau makan manis-manis tengah malam,” ucap Sanrego.
Marlina tidak menjawab. Ia melirik jam tangan, lalu berdiri. “Aku balik dulu, Bos,” ucapnya tanpa menoleh ke belakang lagi.
Ia sebenarnya sudah ingin pergi sejak jam kerja usai tadi. Namun, ia tak sampai hati ketika teman-temannya melihatnya dengan tatapan: ayolah, ini jarang terjadi! Ya, itu memang baru terjadi kali ini karena Sanrego sedang berusaha membuat Marlina jatuh hati. Menurut Sanrego, wanita menyukai pria yang selalu ingat momen-momen spesial: ulang tahun, misalnya.
Marlina menstarter Megapro-nya. Motor itu sudah menemaninya selama tiga kalender dan ia selalu membawanya ke bengkel setiap habis gajian. Suami Nopi yang mencarikan motor itu untuknya. Marlina tidak menyukai motor matik. Baginya, Megapro lebih membuat ia terlihat gagah dan tak dikenali sebagai wanita ketika melintasi pos ronda pada jam malam. Ia memang tampak gagah dengan jaket kulit hitam dan sepatu kets dan helm full face dan rambut yang tak pernah terurai.
Bukan tanpa alasan Marlina ingin lekas sampai rumah. Hatinya saat ini seperti dikerubuti semut-semut geramah: tidak menggigit tapi cukup membuat gelisah. Tidak seperti biasanya, pikirannya sejak sore tadi dipenuhi oleh Zoya, putrinya. Gadis itu baru enam belas. Ibarat mangga, ia sedang ranum-ranumnya. Setiap malam, Marlina sibuk memeriksa pesan teks dari para kampret yang masuk ke ponsel Zoya—dan membalasnya dengan ancaman jika sempat.
Pukul sebelas empat tujuh, Marlina memarkir Megapro-nya di teras kontrakan. Rumah itu kecil: hanya ada dua kamar, ruang tamu, ruang tengah, dapur, dan kamar mandi. Tidak ada halaman, tapi cukup untuk menyimpan luasnya kenangan. Marlina di sana sejak Zoya berusia 36 bulan. Mereka tertawa, menangis, dan berak di dalam sana lebih dari satu dasawarsa. Dan baru malam itu, Marlina merasa ada yang tak biasa: putrinya tidak ada di mana pun di sudut rumah.
Jika ini malam Minggu, mungkin Marlina akan maklum. Zoya ikut ekskul Pramuka, kadang Sabtu-Minggu ada kemah di sekolah. Tapi ini hari Selasa, mestinya Zoya harus sudah di rumah sebelum azan Isya. Baru kali ini Zoya luput dari pengawasan. Marlina sudah memeriksa ponsel dan ia tidak menemukan notifikasi panggilan atau pesan dari Zoya. Ia sudah mencoba menghubungi, tapi nomor Zoya selalu berada di luar jangkauan. Di mana Zoya?
Layaknya kucing terjebak dalam jaring, Marlina sibuk mondar-mandir memikirkan solusi. Bagaimana kalau Zoya kecelakaan? Atau jangan-jangan ia malah sibuk kencan? Oh, mungkin ia asyik bermain bersama teman sampai lupa berpamitan? Namun, yang paling ditakutkan Marlina adalah: bagaimana kalau Zoya bertemu dengan orang jahat, lalu terjadi sesuatu yang tidak ia harapkan? Marlina meracau. Segala macam serapah dan doa-doa kepada Illah saling bergantian meluap dari mulutnya. Puncaknya, ia kembali memakai jaket kulit dan mengambil kunci motor.
Namun, saat Megapro hidup, tiba-tiba Zoya membuka pintu pagar. Marlina yang terlalu fokus dan panik, tak menyadari dari mana asalnya Zoya datang.
“Apa ponselmu rusak, hah? Enggak bisa ngabarin Mama kalau pulang telat?” sambut Marlina.
Zoya sekaku patung Rara Jonggrang. Ia menatap lurus ke depan. Bibirnya sedikit terbuka, tapi tak kunjung memperdengarkan suara. Di bawah sorot lampu ruang tengah, Marlina menyisir setiap lekuk tubuh putrinya. Zoya carut-marut, rambutnya yang biasanya lurus, kini berubah menjadi serabut.
“Zoya?” Marlina mengguncang kedua bahu putrinya, memaksa gadis itu menatapnya.
Zoya beku.
Hidung Marlina mengendus bau pesing. Matanya sibuk menelusuri dan menghitung kancing-kancing: hilang tiga. Ada bekas darah mengering: di pipi, sudut bibir, dan bawah mata.
“Kamu habis jatuh?”
Zoya membatu, Marlina gemas. Ia mengguncang bahu Zoya lebih keras. Dadanya memanas. Tatapannya berubah jadi ganas. Ia memanggil nama putrinya hingga kali kedua belas, hingga bibirnya kebas, hingga Zoya akhirnya menjawab dengan tangis yang meranggas.
Marlina membadai topan. Ia melempar-lempar kebodohan dalam kepalanya ke tembok-tembok yang catnya mulai mengelupas. Makin ia menggeram, makin Zoya turut karam. Mereka berdua terombang-ambing di laut hampa. Tangisan mereka tak terdengar hingga melewati pagar, tapi dalam dada mereka petir menggelegar-gelegar.
Zoya berlari ke kamar mandi. Ia masuk ke bak yang terisi penuh, lalu menenggelamkan diri. Marlina mengejar dan menarik putrinya keluar. Ia sibuk memanggil-manggil, tapi Zoya sepertinya telah melupakan bahasa ibunya.
Marlina remuk. Jiwanya berteriak, tapi mulutnya bungkam. Dalam kepalanya, tersimpan bertandan-tandan penyesalan. Seandainya, ia tidak telat pulang, mungkin ia bisa mencari putrinya lebih awal. Seandainya, ia tidak menuruti acara bodoh Sanrego, mungkin … mungkin … mungkin ….
Zoya tidak bersuara, tapi pipinya banjir air mata. Ia masih sekaku saat baru tiba dan tidak ada tanda-tanda mengingat cara mengenali benda-benda. Tubuhnya penuh luka lebam. Pergelangan tangannya sebiru kasut pemain bola. Dan darah mengering di selangkangannya.
Marlina membawa putrinya ke kamar. Ia memeluk dan menciuminya. Bayiku, oh, bayiku, semua akan baik-baik saja, begitu katanya. Ia melucuti seragam mengenaskan yang telah basah oleh keringat, darah, dan kehancuran putrinya, kemudian menyelimuti Zoya dengan kain jarik kawung. Bayiku, oh, bayiku, ada Mama di sini, begitu ucapnya berulang-ulang. Ia ingin menimang dan menidurkan Zoya seperti waktu bayi dulu: seperti saat putrinya selalu menempel di ketiaknya, seperti saat putrinya belum bisa mengeja kata-kata, seperti saat putrinya hanya mengenal ia seorang.
Sungguh, malam itu adalah malam tak berguna. Semua yang terjadi malam itu sangat tidak berguna. Sanrego tidak berguna. Dirinya juga tidak berguna. Dirinya adalah ibu tidak berguna, begitu rutuknya sepanjang malam.