Malika

Malika

Sekarmelati

5


Prolog


Ambar baru mulai bergerak ketika akhirnya pintu kamar mandi terbuka. Sudah setengah jam ia duduk di kamar, bersila di lantai dengan buku di pangkuan. Kakinya nyaris kesemutan. 

Setengah jam sebelumnya, ketika ia mendengar langkah kaki ayahnya mendekat, Ambar segera menunduk dalam-dalam, memelototi bukunya, berpura-pura sedang membaca, sampai kemudian ia mendengar suara pintu ditutup dan keran air dibuka. Ia mengembuskan napas lega dan mulai memandangi pintu kamar mandi di seberang kamarnya. Ya, ia memang terlihat seperti orang yang kurang kerjaan.

Telunjuknya mengetuk-ngetuk permukaan buku di pangkuannya dengan tidak sabar. Itulah yang ia lakukan sejak tadi, duduk dalam posisi yang sama, di halaman buku yang sama. Dari awal ia memang tidak berniat membaca. 

Suara kucuran air keran terputus. Ambar memperhatikan Ayah melempar kausnya sembarangan ke dalam keranjang pakaian kotor. Kaus itu tersangkut di tepi keranjang, setengah menjuntai ke lantai. 

Ambar memindahkan buku cerita bergambarnya ke lantai. Aliran listrik seketika serasa merambati kedua tungkainya, membuatnya harus meringis menahan nyeri. Ia berhenti sesaat di pintu dan melongokkan kepala dengan hati-hati. Aroma sabun mandi segar tertangkap oleh hidungnya. 

Ambar mulai mengendap-endap membuntuti ayahnya. Kaki kecilnya berjingkat-jingkat, berusaha keras agar tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Sesampainya di depan kamar ayahnya, ia cepat-cepat menggeser tubuhnya agar tidak terlihat. Ia merapatkan tubuh ke dinding dan mengintip melalui celah pintu.

Seperti anak-anak perempuan pada umumnya yang mengagumi ayah-ayah mereka, Ambar juga sangat mengagumi ayahnya. Seorang ayah adalah cinta pertama untuk anak perempuan sebelum akhirnya mereka mengenal laki-laki sebaya yang bertubuh ceking dengan jerawat di dahi. Tapi tidak seperti ayah-ayah lainnya, ayahnya seolah menjaga jarak dengannya. Wajahnya terlihat muram seharian dan ia tampak bersungut-sungut setiap kali mereka bersinggungan. Ambar tidak ingat kapan terakhir ayahnya tersenyum, sampai-sampai ia begitu yakin kalau sang ayah memang terlahir dengan raut muka yang datar, hingga suatu hari ia tak sengaja melihat ayahnya sedang tersenyum di depan cermin. Ambar ternganga tidak percaya.

Sejak itulah permainan rahasianya dimulai. Bagi gadis kecil itu, membuntuti ayahnya adalah permainan yang menegangkan. Bagaimanapun juga ia tidak boleh sampai ketahuan. Ayah sudah pernah memergokinya satu kali, dan Ambar tidak ingin ketahuan lagi. Setelah melihat ayahnya murka, permainan yang semula menyenangkan berubah menjadi masalah besar, seakan-akan menjadi sebuah persoalan hidup dan mati. Meski sebenarnya ia sendiri tidak terlalu paham artinya. Ia hanya asal comot kata dari siaran radio yang sering didengarnya. Ambar berusaha melawan rasa takutnya karena ia tidak ingin melewatkan senyum ayahnya, ketika sang ayah berdiri di depan cermin, siap untuk bercukur. 

Mata Ambar mengerjap dari celah pintu. Ayah sudah berdiri di depan meja rias. Titik-titik air dari rambut ikal yang basah dan beraroma sampo jatuh ke bahu dan punggungnya, meninggalkan noda-noda gelap di atas kausnya. Ia mematut dirinya di depan cermin sambil mengusap pelipis, dagu, dan sekitar mulutnya. Bulu-bulu kasar di wajahnya selalu tumbuh terlalu cepat sehingga ia bercukur hampir setiap hari. Itu dia! Sebuah senyum sekilas muncul di wajahnya. Ambar nyaris bersorak kegirangan. 

Ayah mengeluarkan sekeping silet dari dalam kertas pembungkus. Dengan gerakan cepat dan terlatih, ia memutar bagian atas gagang pencukur, memasang silet dengan hati-hati lalu menguncinya dengan cara memutar kembali bagian atas gagangnya ke arah berlawanan. Pencukur itu pun mulai merayapi wajah ayahnya. Setiap gerakan seolah berjalan dengan gerak lambat yang dibuat-buat di matanya. Ritual pagi itu hampir selesai ketika tiba-tiba saja pencukur itu meleset hingga melukai bagian atas bibir ayahnya.

Ambar spontan memekik tertahan. Buru-buru ia menutup mulut agar tidak ketahuan. Setitik darah kini muncul di kulit yang tergores. Mata Ambar membulat ketika melihat rahang ayahnya mengeras. Geraman terdengar dari bibirnya yang terkatup rapat. Ayah mengusap darah itu dengan jempol lalu membanting pencukurnya ke atas meja rias hingga terpental ke lantai.

Di balik pintu, Ambar menciut, ikut terluka.