Madu Pilihan
BAB 01
Namaku Airin. Aku adalah seorang janda dengan satu anak. Anakku bernama Luna. Usia Luna sudah sepuluh tahun, Dia adalah anak yang periang dan bisa dikatakan sedikit cerewet.
Aku memiliki hutang dengan seorang rentenir bernama Darsih. Aku terpaksa harus berhutang kepada Bu Darsih untuk biaya pengobatan almarhum suamiku. Saumiku mengidap penyakit jantung. Jadi membutuhkan biaya pengobatan yang sangat besar.
Hutang itu hampir setiap bulan bunganya selalu membengkak, karena aku tidak bisa mencicilnya. Jangankan untuk menyicil bunganya, untuk sekedar makan sehari-hari saja aku sangat ke susahan.
Aku sangat bersyukur karena Luna anak yang sangat mengerti kondisi orang tuanya. Dia tidak pernah menuntut apapun dariku. Bahkan berangkat ke sekolah pun sangat jarang aku kasih uang saku. Dan Luna pun tidak pernah protes akan hal itu.
Hutang yang tadinya sekitar lima puluh juta sekarang menjadi sembilan puluh juta. Karena memang aku selama ini belum pernah mencicilnya sama sekali. Karena hutang itu sudah teramat lama, akhirnya Bu Darsih memintaku untuk segera melunasinya. Jika akhir bulan ini aku tidak bisa membayarnya, maka Bu Darsih akan menyita rumahku ini. Rumah satu-satunya peninggalan orang tuaku.
Aku sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mencari pinjaman kepada tetangga maupun kepada sanak saudara, namun semuanya nihil. Mereka tutup mata bahkan mereka seolah tidak peduli dengan penderitaan yang aku alami.
Mereka tidak mau memberiku pinjaman. Karena mereka takut jika aku tidak bisa membayarnya. Mereka selalu mengucilkan dan merendahkan keluargaku dari dulu. Jadi wajar saja jika mereka tidak percaya jika meminjami aku uang.
Aku benar-benar putus asa dan pasrah jika rumahku harus di sita oleh Bu Darsih.
"Airin! Bagaimana? Sudah ada uangnya." tanya Bu Darsih dengan nada tinggi. Bu Darsih terkenal dengan sebutan rentenir tak punya hati. Jadi dia akan menyita apa saja ketika orang yang berhutang kepadanya telat bayar.
"Bu Darsih. Tolong beri waktu untuk saya sampai minggu depan, jika minggu depan saya belum bisa mencicil hutang. Maka Bu Darsih boleh menyita rumah ini."ucapku sambil memohon kepada bu Darsih.
"Sudah cukup kelonggaran waktu yang aku berikan kepada mu! Jadi sudah tidak ada lagi kesempatan."jawabnya dengan nada tinggi
"Tolonglah Bu.... Sekali ini saja."pintaku dengan berlutut di kaki Bu Darsih.
Bu Darsih langsung mendorong tubuhku hingga aku jatuh kebelakang. Dan ketika aku jatuh ada sepasang tangan yang membantuku untuk bangkit.
Aku lalu menoleh kesamping untuk melihat siapa orang yang menolongku. Ketika aku menoleh aku terkejut ternyata Bu Narti yang membantuku.
Bu Narti adalah tetangga yang dulu selalu menolongku setiap aku kesulitan. Namun, beberapa tahun terakhir ini. Bu Narti merantau kekota untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga.
"Kamu tidak apa-apa Rin?"tanyanya
"Iya Bu, tidak apa-apa."jawabku
"Ada apa ini Rin? Kenapa barang-barang mu bisa di luar begini?"tanyanya bingung melihat barang-barang ku berserakan di luar rumah.
"Rumah Airin disita Bu, karena tidak bisa membayar hutang."jawabku sambil mengusap air mataku.
"Memang berapa hutangmu?"tanyanya
"Sembilan puluh juta Bu."jawabku. Bu Narti terlihat sangat terkejut ketika mendengar nominal hutangku. Lalu Bu Narti berjalan mendekat kearah Bu Darsih.
"Bu.... Apa tidak bisa dicicil?"tanya Bu Narti kepada Bu Darsih.
"Ini sudah jatuh tempo. Setiap bulan Airin selalu beralasan jika di tagih. Dia selalu mengatakan tidak punya uang untuk mencicil hutangnya."jawab Bu Darsih
"Begini Bu. Ini Saya ada uang dua juta tolong diterima dulu. Nanti bulan depan Saya akan lunasi hutang Airin. "ucap Bu Narti sambil menyerahkan uang dua juta kepada bu Darsih.
Bu Darsih langsung mengambil uang dari tangan Bu Narti.
"Benar! Bulan depan kamu akan melunasi hutang Airin?"ucapnya.
"Benar. Pasti akan Saya bayar bulan depan. Ini nomor telepon Saya."jawab Bu Narti.
"Baik. Kalau begitu Saya kasih waktu sampai bulan depan. Tapi ingat, jika bulan depan kamu ingkar maka rumah ink akan Saya sita."jawabnya dengan sedikit mengancam
"Iya. Pasti akan Saya bayar."ucap Bu Narti.
Setelah itu bu Darsih dan kedua anak buahnya pergi.
Setelah kepergian bu Darsih. Bu Narti membantuku membawa masuk barang-barang yang tadi di lempar keluar.
Setelah selesai aku lalu mengambilkan minum untuk Bu Narti
"Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya."ucapku
"Rin. Kamu benar tidak apa-apa?"tanyanya.
"Gak Bu. Airin baik-baik saja."jawabku.
"Syukurlah."ucapnya
"Bu. Sudah lama kita tidak bertemu setelah Bu Narti memutuskan untuk merantau ke kota."ucapku
"Iya, Rin. Ibu pulang kampung karena mau mencari seorang perempuan yang mau menikah dengan majikan Ibu."jawabnya.
"Maksudnya Bu?"tanyaku bingung
"Majikan Ibu itu lumpuh jadi butuh orang yang mau merawat dan mengurusnya."jawabnya
"Kenapa gak mencari baby sitter di yayasan penyalur baby sitter Bu?"tanyaku.
"Gak bisa Rin. Karena, kalau baby sitter itu tidak mungkin mau tidur satu kamar dengan majikan Ibu."jawabnya
"Apa parah Bu?"tanyaku
"Ya begitulah Rin. Kakinya dari lutut kebawah tidak bisa di gerakkan sama sekali. Jadi butuh seseorang yang bisa terus membantunya untuk beraktivitas."jawabnya.
"Rin. Bagaimana jika kamu saja yang menikah sama majikan Ibu itu. Kamu kan janda dan kamu juga sangat sabar dan telaten mengurus orang sakit."imbuhnya.
"Ah. Bu Narti ada-ada saja."ucapku
"Rin. Majikan Ibu itu orangnya sangat baik dan juga penyabar. Dan Ibu yakin jika kamu mau menikah dengannya, kamu pasti bisa membayar semua hutang-hutang mu. Ingat bulan depan kamu harus melunasi hutang mu kepada Rentenir itu jika tidak rumah mu akan disita. Kamu mau rumah satu-satunya peninggalan orang tua mu disita oleh linta darat itu."ucapnya
"Tapi Bu..."ucapku
"Rin. Coba kamu pikir baik-baik dulu. Ibu kasih waktu kamu seminggu untuk berpikir. Bagaimana?"tanyanya.
"Baik, Bu. Akan Airin pikirkan tawaran dari Ibu."jawabku.
"Rin. Ibu boleh mengambil foto mu. Karena Ibu mau tunjukkan kepada majikan Ibu."pintanya
"Tapi kan. Airin belum tentu menerima tawaran Ibu."jawabku.
"Gak apa-apa Rin. Itu cuma untuk Ibu laporan ke majikan Ibu saja. Jika Ibu sudah berusaha mencari perempuan yang mau menjadi istrinya."ucapnya. Lalu setelah itu Bu Narti mengeluarkan ponselnya dan memfoto diriku.
Setelah mengambil foto. Bu Narti pamit pulang. Tak lupa dia memberiku dua lembar uang berwarna merah. Sebenarnya aku sudah berusaha menolaknya, namun Bu Narti memaksa.
Setelah kepergian Bu Narti. Aku menjemput anakku yang tadi aku titipkan kepada tetangga karena kondisi Luna yang sedang sakit.
Aku tidak mau Luna melihatku di marahi oleh bu Darsih. Makanya aku menitipkan ke tetangga.
Setelah menjemput Luna. Aku lalu kewarung untuk berbelanja sayur dan beras. Karena memang di rumah tidak ada apa-apa dan kami juga belum makan apapun.
Aku langsung mengolah sayur dan memasak nasi. Aku tahu jika Luna sudah sangat lapar.
Setelah selesai memasak aku lalu membangunkan Luna.
"Nak. Ayo bangun kita makan dulu."ucapku
Luna lalu bangkit sambil mengucek kedua matanya.
"Ayo Nak. Makan dulu setelah itu minum obat."ucapku.
"Iya Bu."jawabnya dengan sedikit lemas.
Anakku sakit sudah beberapa hari. Namun aku belum membawanya ke Dokter. Karena aku memang tidak memiliki uang.
Beberapa hari ini demam Luna terus naik turun. Aku sebenarnya sangat khawatir. Aku masih memiliki uang sisa yang tadi di kasih bu Narti. Rencananya setelah makan aku mau bawa Luna ke bidan saja yang ada di ujung jalan. Karena jika harus ke Dokter pasti uangku tidaklah cukup.