Bel pulang sekolah berbunyi nyaring, seluruh anggota OSIS satu-persatu keluar dari aula setelah menyelesaikan rapat final acara MOS yang akan diselenggarakan lusa, di aula hanya tersisa Luca yang kini tengah membersihkan sampah-sampah botol air mineral dan juga kertas-kertas berserakan.
Pintu aula diketuk dua kali, Lelaki berbadan tinggi tegap itu menoleh lalu tersenyum menampilkan dua lesung pipi yang amat manis. "Hari ini Jumat kan?"
Kata cowok berkulit sawo matang yang bernama Cahyo tersebut. Ia menyerahkan seplastik kelopak mawar. Ibunda Cahyo adalah penjual bunga makam dan Luca adalah pelanggan VVIP baginya.
"Hmmm."
Cahyo menggeleng. "Lo beruntung punya bestie peka macam gue, untung gue ga kelupaan, bisa sedih beliau."
"Iya-iya. Gue sibuk ngurus dana buat acara MOS jadi kelupaan. Thanks, nih gaji lo." Luca merogoh saku dan mengambil satu lembar uang berwarna hijau. Raut Cahyo sumringah menerima uang itu.
"Emang dah, aroma terenak di alam semesta tu aroma duit."
"Gue cabs dulu gan!"
"Ati-ati!"
Luca kembali sibuk menata beberapa majalah dan koran lama ke dalam rak, menyapu lantai yang bisa ia tebak sudah ada dua mingguan belum tersapu sehingga debu menumpuk amat tebalnya.
Ia menatap ruangan yang kini seratus kali lebih nyaman dipandang dengan puas. Tak lupa ia mematikan saklar lampu dan kipas angin aula dan menguncinya dari luar.
Ia menuruni anak tangga untuk menyerahkan kunci ke satpam dan mengambil sepedanya.
"Den, kipas angin udah dimatiin?"
"Beres pak!" Pak Sumi, satpam SMA Satya yang sudah bekerja lebih dari tiga puluh tahun mengangguk percaya, Luca Erlangga. Satu-satunya siswa yang memiliki kepercayaan Pak Sumi mengakses kunci gerbang selain dirinya.
Hal ini dikarenakan beliau kasihan ketika menemukan anak itu tertidur ketika menunggu gerbang dibuka. Atas izin kepala sekolah, Pak Sumi memberikan kunci cadangan kepadanya agar tidak menunggu lebih lama di depan gerbang.
Sepeda lipat berwarna kuning meluncur amat mulusnya di jalanan, menerobos lalu lintas yang cukup padat siang ini. Walaupun mentari terasa menyengat kulit, Luca tetap mengayuh pedalnya dengan bersenandung ceria.
Setiap seminggu sekali, tepatnya hari Jum'at, ia berjanji akan bertemu dengan seseorang yang amat ia rindukan di tiap sepertiga malam, nama yang menjadi penguatnya dalam hidup dan satu-satunya tempat di mana ia merasakan rumah.
"Selamat siang bunda!" sapanya sesampainya tiba di sebuah makam yang cukup terawat. Di sana terukir indah nama Indira Wenda, dan juga tanggal kapan ia berpisah dengan semesta.
"Nunggu seminggu lama banget ya Bun. Luca kangen ni." celotehnya seraya menaburkan kelopak bunga mawar dengan perlahan, mengusap puncak nisan marmer yang tulisannya hampir sirna dimakan usia.
"Bunda sendirian ya ... di sana? Salah sendiri pergi ga ngomong-ngomong. Tapi Luca di sini juga sendirian, papa ga pernah nengokin bunda, maaf ya. Tapi Luca yakin, Papa itu sayang banget sama Bunda."
Tangannya yang lentik menyeka air mata yang mulai mengalir ke pipi. Ia tidak boleh menangis di depan bundanya, Luca takut itu membuat bunda di atas khawatir dan sedih.
"Papa sama Mama berantem mulu di rumah. Berisik. Kangen deh dulu kita suka ke pantai. Sambil makan kerang rebus."
Suasana makam sangatlah sunyi, tidak ada orang selain dirinya, suara jangkrik dan semilir angin membuatnya luput akan waktu. Ponsel Luca bergetar di dalam saku celana, nama Ayah muncul di beranda panggilan, buru-buru ia mengangkatnya.
"Halo? Papa?"
"Kamu ke mana?! Papa samperin ke sekolah katanya udah pulang tapi di rumah ga ada. Kamu ke mana si!"
Nada tinggi sang ayah menyambut Indra pendengaran Luca, cukup nyaring untuk membuat telinganya berdenging beberapa saat.
"Ban se-peda Luca bocor. Ke-na paku." jawabnya dengan terbata-bata. Ini bukan yang pertama kali ia berbohong. Namun, entah mengapa rasa segan selalu hinggap tatkala ia menyembunyikan jika dirinya mampir bertemu bunda.
"Papa ga suka kalo aku ketemu bunda."
"Pulang sekarang!"
Panggilan terputus begitu saja, helaan napas berat terdengar. "Denger kan Bun, papa minta Luca buat pulang. Sampai ketemu Jumat besok ya."
Sebelum menginjakan kaki untuk pergi Luca menyempatkan menundukkan kepalanya, berbisik ke arah tanah. "I love you my first love."
.
.
.
Luca menuntun sepedanya ketika memasuki perakaran rumah, alasannya ia tak ingin kedatangannya diketahui. Melangkah merindik menaiki tangga untuk sampai di kamar melewati jalur di antara sekat yang membatasi dapur dan ruang keluarga.
Suara adu mulut antara ayah dan mama terdengar jelas hingga di lantai dua, keduanya sama-sama batu. Ego mereka terlalu tinggi untuk sekedar menyudahi dan mengakui kesalahan masing-masing.
Mama yang terlalu sibuk di kantor dan ayah yang sering mendatangi klub dan berakhir membawa perempuan asing ke dalam rumah. Sudah tujuh tahun mereka bersama. Tujuh tahun lamanya mereka menjalani pernikahan yang tak mengenal kata bahagia.
Mereka tidak bisa bercerai.
Karena pernikahan mereka tak lebih dari perjanjian perusahaan.
.
.
.
.
Luca menutup pintu kamar mandi, sengaja menyalakan shower agar tidak mendengar pertengkaran dua orang dewasa di bawah. Guyuran air dingin jatuh menimpa kepada Luca.
Menyegarkan.
Jarak antar sekolah dengan rumah terpaut tiga kilometer. Jarak yang lumayan melelahkan jika bersepeda, ditambah jalan yang cukup menanjak membuat tubuh Luca yang mudah berkeringat lengket akan peluh.
Caranya cukup ampuh. Yang ia dengar kini hanya gemericik air. Aroma musk sabun memanjakan hidung dan badan Luca. Merasa badannya sudah bersih, Luca mengambil handuk dan melilitkannya ke pinggang. Menyisakan tubuh bagian atasnya terekspos.
Ia mematut diri ke arah cermin, menyentuh otot-otot perutnya yang mulai mengendur. "Gue udah lama gak pergi gym." Akhir-akhir ini lelaki berkulit kuning langsat tersebut disibukkan dengan acara sekolah dan persiapan pembukaan open house klub mading.
Luca adalah pengurus OSIS bagian bendahara sekaligus ketua mading. Tak heran ia melupakan rutinitas kebugaran tubuh karena super sibuk.
Teriakan mama semakin kencang di bawah, diiringi suara piring pecah dan gelegar bentakan ayah, Luca menggeleng. Ia menyambar headphone dan menyalakan lagu "Senorita" milik Camella Cabello dengan volume keras.
Ia menggeser pintu almari pakaian dan mengambil kaus garis-garis dengan celana training. Pakaian yang hangat untuk dipakai tidur.
Indra, ayah Luca menyenderkan punggungnya di pintu, mengamati tingkah anak satu-satunya yang lucu. Menari-nari kecil dengan kuping tersumpal. Amarah yang tadi sempat membuncah seakan sirna menatap putra semata wayangnya bahagia.
"Astaga Papa!"
Luca buru-buru melepas headphone dan membenahi pakaiannya yang masih berantakan. "Ga ketuk pintu?"
"Memangnya kamu bakal denger?"
"Mama gimana? Udah selesai berantemnya?"
Indra menghela napas berat, menggeleng. Luca sudah bisa menebak, mama pergi dari rumah seperti biasanya. Luca menatap wajah ayahnya yang kuyu. Sudah berapa lama mata tua itu belum terpejam?
"Papa turun, Luca buatin teh ya biar bisa tidur."
Tangan Indra mencekal lengan anaknya. "Kamu benci Papa?"
Pertanyaan yang sedikit menyentak hati Luca. Ia tak bisa menjawab, sama-sama bimbang akan hatinya. Entah itu rasa benci, kecewa atau rasa terluka.
Bukankah Luca terlalu muda untuk mengerti?
Daripada menjawab, Luca memilih mengulangi pertanyaan tadi.
"Kopi aja ya Pa, Teh larutnya kelamaan."
Indra mengangguk lemah. Mereka melangkah ke arah dapur. Di bawah penuh dengan serpihan kaca membuat Luca sedikit berjingkat ketika hendak berjalan.
"Biarin bi Imah aja yang bersihin," tegur Ayah ketika Luca yang ingin memungut pecahan kaca besar. Luca balik melipat kedua tangannya di depan dada. Sepertinya sang ayah telah lupa bagaimana pertengkaran mereka membuat para ART tidak betah dan memilih undur diri tidak lebih dari tiga minggu.
"Bi Imah udah berhenti dua minggu lalu Pa."
Terkadang Luca pun merasa tidak enak pada tetangga rumah. Bagaimana mereka memandang keluarga mereka jika hampir setiap minggunya ada adegan banting piring dan cekcok.
Indra duduk dan mengamati punggung anaknya, secuil rasa bersalah mencolek hatinya. Tujuh tahun, Luca tak pernah bercerita apapun.
"Sekolah gimana? Enggak di bully lagi?"
Luca menuangkan air panas ke dalam cangkir yang sudah terisi kopi hitam dan juga gula aren, mengaduknya perlahan dan memberikan ke ayahnya.
"Siapa juga yang mau nge-bully aku."
"Itu cerita dari jaman kapan pa?"
Indra menyesap kopi buatan anaknya perlahan, rasa sepat kopi yang membaur dengan tipisnya manis memenuhi rongga mulut. Kopi hitam gula aren buatan anaknya adalah yang terbaik.
"Kamu juga ga pernah cerita ke Papa."
"Emang Papa sempat? Kan Papa sibuk ke bar sama berantem mulu," sarkas Lucas, Indra cukup terkejut dengan kelantangan sang anak.
Ketika hendak menyesap kopinya lagi, mata menyipit ke arah helaian rambut Lucas ia bangkit dan mengambil sesuatu dari sana.
Kelopak bunga mawar.
"Jelasin ini apa?" Indra menaikkan suaranya, mencoba menatap sang anak yang lebih memilih memejamkan mata. "Liat dan jawab Papa!"
Bahu Luca digoncangkan, ayahnya memaksa dia untuk menjawab. Muak karena terus dipojokkan, Luca menghempas tangan sang ayah dan mendorong tubuhnya.
"Iya. Luca abis ketemu sama bunda!"
"Kenapa?" serunya dengan bibir yang bergetar. Suaranya serak. Indra hendak menggapai tubuh Luca untuk dipeluk. Namun, Dia memilih untuk mundur beberapa langkah.
"Luca kangen Bunda!"
"Ngapain kamu kangen sama seseorang yang udah ninggalin kita!"
"Bunda ga pernah ninggalin kita! Papa yang berpaling dari bunda!"
"Papa lebih milih mama ketimbang bunda! Papa lebih takut perusahaan papa hancur dari pada nengokin bunda di rumah sakit. Bunda telepon papa kemana aja? Di saat terakhir pun papa ga ada di sisinya!"
"Bunda ga sakit Luca!"
Indra mengusap rambutnya frustasi. Entah bagaimana kenangan palsu itu terbentuk di otak mungil Luca. Indra tahu persis jika malam itu, Wenda tidak ada di rumah sakit. Melainkan di rumah. Bersama Luca yang saat itu baru berumur sepuluh tahun.
"Jadi Papa lebih percaya berita ketimbang apa yang Luca liat?"
"Saat itu kamu masih kecil. Memorimu palsu nak. Percaya sama Papa!"
"Bagaimana Papa tahu? Papa kan ga di sana? Luca bilang apa! Untuk apa Luca percaya sama seseorang yang ga pernah hadir di sisi Bunda."
Luca menepuk-nepuk dadanya. Sakit, ingin sekali ia berteriak dan memaki. Tidak mungkin bunda melakukan itu. Tidak mungkin bunda meninggalkan dirinya seperti yang ada di berita.
Ia menatap sengit sang ayah.
"Tadi Papa tanya, apa Luca benci Papa?. Jujur saja. Sangat," tandasnya.
Bersambung