Lowongan Jodoh

Lowongan Jodoh

cherrypeach612

4.9

Seorang gadis cantik berambut sebahu sedang mengaduk kopi seraya menunduk lesu di hadapan seorang pria tampan bertelinga lebar. Gadis berperawakan mungil itu beberapa kali menghela napas untuk menetralisir degupan jantungnya. Pria tinggi di hadapannya hanya menatap dalam diam. Tak ada pembicaraan di antara keduanya selama kurang lebih sepuluh menit.

Kiya Shyna dan Charli Yudanta Prawira, dua orang sahabat berbeda jenis kelamin. Mereka menjalin persahabatan selama sepuluh tahun sejak duduk di bangku sekolah menengah atas di Jakarta Selatan. Mereka saling mendukung dan menyayangi serta kerap saling bertukar pikiran mengenai apa pun. Tak ada rahasia di antara mereka. Banyak hal yang telah dilalui bersama hingga umur mereka menginjak 27 tahun.

Selain menjalin persahabatan, Kiya dan Charli juga merupakan atasan dan bawahan di perusahaan yang sama. Charli menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaan manufaktur sang ayah, sedangkan Kiya adalah sekretarisnya. Kesibukan dalam mengurus perusahaan yang memproduksi makanan dan minuman itu membuat Charli dan Kiya merasa lelah. Mereka kerap menghabiskan waktu bersama hanya untuk sekadar melepas penat. Terkadang mereka akan saling mencurahkan isi hati di kala gundah melanda. Seperti halnya saat ini. Kiya mengundang Charli ke apartemennya dengan tujuan ingin membicarakan sesuatu yang merisaukan hati.

“Jadi, kamu mau bilang apa?” Charli membuka percakapan. Pria berhidung mancung itu bersandar pada kursi pantri seraya memandang lekat gadis berbaju biru muda di hadapannya.

Kiya menghela napas untuk kesekian kalinya. Jemarinya mencengkeram gagang cangkir dengan erat. Mata bulatnya memandang gugup pada Charli. “Ehm ... akhir-akhir ini hatiku selalu risau. Galau banget. Pikiranku jadi kacau gara-gara semua itu. Aku enggak tahu perasaan ini wajar atau enggak, tapi ...” Kiya menjeda kalimat karena ragu untuk meneruskan curahan hatinya. “S-sebenarnya aku—”

Suara dering ponsel Charli membuat kalimat Kiya terputus. Pria berkaos hitam itu melirik ponsel di samping cangkir kopinya. Tertera tulisan “Mama” di layar datar persegi panjang itu. Ia segera meraih ponsel lalu menggeser tombol hijau. “Halo. Ya, Ma?” sapa Charli dengan intonasi sangat lembut. Ia memencet tombol pengeras lalu meletakkan ponselnya di tempat semula.

“Kamu di mana, Nak? Mama mau ke apartemen kamu,” sahut ibu Charli dengan suara keibuan yang lembut.

“Di apartemen Kiya, Ma. Biasa, ngopi gratis,” kekeh Charli. Kiya yang berada di sampingnya hanya tersenyum tipis mendengar jawaban pria tampan itu.

“Kamu ini … pantas saja enggak punya pacar. Mainnya sama Kiya terus. Main sama teman lainnya, gitu. Enggak bosan apa sama Kiya melulu. Kamu itu perlu memperluas lingkaran pertemanan biar cepat punya pacar,” cerocos ibu Charli, membuat senyum Kiya perlahan memudar. “Kasian juga Kiya kalau kamu tempelin terus. Cowok-cowok yang mau deketin Kiya pasti berpikir dua kali karena mengira kamu pacarnya. Sekarang malam Minggu, harusnya kamu kencan sama pacar, bukan sama sahabat!” Charli menggaruk telinga ketika mendengar omelan sang ibu. Ia merasa telinganya pengang.

“Mamaku yang paling cantik, jangan mengomel terus, ya. Kopi Charli jadi dingin lho ini gara-gara mendengar Mama mengomel. Andai kopi bisa bicara, pasti dia akan berteriak ‘Tolong! Selamatkan aku dari omelan emak-emak!’ Kasihan kopinya, Ma,” kelakar Charli dengan mimik wajah memelas walau sang ibu tak bisa melihat.

Ibu Charli mendengkus kesal mendengar sang anak justru melontarkan candaan di saat ia sedang serius memberikan wejangan. “Kamu ini malah guyon. Dibilangin baik-baik bukannya nurut malah membuat orang tua kesal. Kualat kamu nanti.”

“Idih, Mama. Kok malah doain Charli jelek, sih. Tak patut!” ujar Charli menirukan suara tokoh kartun anak-anak di televisi pada kalimat terakhir.

Kiya mengulum senyum mendengar keributan kecil antara orang tua dan anak itu. Ia sudah biasa mendengar Charli dan Bu Wika—ibu Charli—bertengkar kecil mengenai apa pun. Charli yang senang menggoda, kerap membuat sang ibu geregetan. Ujung-ujungnya, Bu Wika akan menjewer telinga Charli. Tak heran jika telinga Charli menjadi lebar, itu pasti akibat ulah sang ibu.

“Makanya kamu nurut sama orang tua biar enggak kualat!” Suara melengking Bu Wika menggema di apartemen Kiya. “Buruan kamu pulang ke rumah! Malam ini kamu tidur di rumah Mama dan Papa. Udah sebulan enggak menengok kami, ‘kan? Oh iya, ajak Kiya sekalian. Suruh dia menginap. Mama kangen,” tutur Bu Wika merendahkan intonasinya di akhir kalimat.

“Mama gimana, sih? Enggak konsisten. Katanya Charli enggak boleh main sama Kiya melulu, tapi sekarang malah menyuruh Kiya menginap. Nanti kalau tumbuh bibit mungil Charli di perut Kiya, gimana?” Charli tak henti-hentinya menggoda sang ibu. Kiya menjitak kepala Charli hingga pria itu meringis kesakitan.

“Hush! Sembarangan kalau ngomong. Untung kamu jauh, kalau dekat pasti telinga kamu sudah putus! Siapa yang menyuruh kamu tidur bareng Kiya, huh? Mama hanya menyuruh kalian tidur di sini, bukan berarti kalian tidur bareng. Duh Gusti, saya tobat punya anak macam Charli!” keluh Bu Wika membuat Charli dan Kiya terkikik.

“Tante, sabar. Nanti biar Kiya yang jewer telinga Charli sebagai perwakilan Tante,” sahut Kiya lalu terbahak.

“Kiya Sayang. Besok kita membuat kue, ya. Tante punya resep baru dari teman arisan,” ajak Bu Wika semringah. Dua wanita berbeda generasi itu memang suka menghabiskan waktu untuk memasak bersama saat Kiya berkunjung.

“Beres, Tante!” sambut Kiya seraya mengacungkan kedua jempol walau tak terlihat oleh Bu Wika.

“Charli, soal omongan Mama yang menyuruh kamu cari pacar, itu serius! Umur kamu sudah 27 tahun, sudah sepantasnya punya istri. Mama dan Papa hanya ingin kamu bahagia, Nak. Kami juga semakin tua. Sebelum meninggal, kami ingin menggendong cucu. Kamu—”

“Mama ngomongnya kok melantur! Charli enggak suka kalau ngomongin kematian. Mama dan Papa itu masih sehat walau tak lagi muda. Pasti umurnya panjang. Charli enggak mau pulang kalau Mama ngomong seperti itu!” ancam Charli. “Lagian, jodoh itu sudah ada yang mengatur. Charli juga pasti ketemu sama jodoh kalau Tuhan menghendaki. Mama enggak perlu khawatir, Charli pasti akan mendapat kebahagiaan.” Charli mencoba memberi pengertian dan ketenangan pada sang ibu.

Keheningan mendadak menyelimuti apartemen Kiya. Tak ada yang berbicara di antara ketiga orang itu. Hanya embusan napas yang mengalun, menggantikan suara berisik dari tiga orang keturunan Adam dan Hawa itu.

Rasa kesal, frustrasi, sekaligus sedih bercampur menjadi satu di hati Charli. Desakan sang ibu yang menyuruhnya mencari kekasih hingga membawa-bawa kematian, sungguh membuat hati Charli bagai ditusuk sembilu. Rasa sayang pada orang tua membuat Charli tak ingin membayangkan kematian mereka. Sejujurnya, ia ingin membuat hati sang ibu tenang dengan memacari seorang gadis. Namun, direktur muda itu tak ingin terlalu memikirkan pendamping. Ia percaya bahwa Tuhan telah memiliki rencana indah tersendiri bagi setiap manusia.

“Ya sudah. Kamu sekarang pulang, ajak Kiya sekalian. Mama tunggu di rumah,” pungkas Bu Wika dengan suara teramat datar lalu menutup sambungan telepon tanpa menunggu jawaban sang anak.

Charli mengerang seraya mengusap rambut. Pria berambut moka itu menyadari perubahan suara sang ibu yang tampak kecewa. Charli memukul meja pantri guna melampiaskan gemuruh di hati. Entah kalimat mana yang membuat ibunya kecewa, Charli sendiri tak tahu.

Kiya mengusap punggung Charli dengan lembut, berusaha mengalirkan rasa tenang untuk pria jangkung di sampingnya. “Tenang, Charli. Mamamu cuma khawatir sama kamu. Dia sayang sama kamu dan ingin melihatmu bahagia sehingga bersikap seperti itu,” tutur Kiya penuh kelembutan. Niat Kiya untuk mencurahkan isi hati terpaksa ditunda saat melihat kondisi Charli yang sedang tak baik.

Charli berulang kali mengembuskan napas untuk menetralkan emosi. Ia menatap cangkir kopi di hadapannya dengan sendu. Pandangannya menerawang memikirkan ucapan yang kemungkinan melukai hati sang ibu. Keresahan melanda saat ibunya terlihat kecewa dan terluka.

“Kita siap-siap sekarang biar enggak kemalaman sampai rumah. Kasian Mama dan Papa kalau menunggu lama. Kamu mau bawa apa saja? Aku bantu siapkan.” Charli akhirnya bicara setelah hampir setengah jam dalam kebisuan.

“Hanya beberapa baju ganti. Peralatan mandiku masih ada di rumahmu, ‘kan?” Kiya tersenyum lalu beranjak menuju kamar untuk menyiapkan baju-baju yang akan dibawa.

“Kiya!” panggil Charli menghentikan langkah Kiya.

“Ya?” Kiya berbalik lalu pandangannya bertemu dengan mata sendu Charli.

Charli menghela seraya memejamkan mata sejenak lalu berkata dengan lirih, “Boleh aku minta sesuatu?”