Hola! Ringan sekali kakiku melangkah menuju kampus hari ini, semua terasa sempurna. Langit yang indah, kicauan burung gereja yang merdu, makanan yang cukup untuk pagi ini, dan tidak lengkap bila tidak mendengar suara kendaraan yang berlalu-lalang di depan kosku. Tak lupa sebelum aku keluar dari pintu kamarku, kupasangkan earphone lalu melangkah keluar. Tidak peduli ada berapa banyak ojek yang menawarkan jasanya. "Pura-pura tidak dengar saja," bisikku dalam hati.
Berjalan kaki memang tidak seenak yang dibayangkan, walaupun memang manfaatnya sangat baik untuk kesehatan. Tapi, kamu tahu apa yang aku rasakan saat sudah berada di gedung jurusanku? Keringat! Aku benci keringat. Bajuku jadi basah dan tidak terlihat segar lagi, padahal sudah mandi dan perawatan wajah. Ya sudahlah, yang penting sehat dan bugar. Sekali-kali menghemat uang harian.
Singkat cerita, aku sudah berada di gedung jurusanku. Jurusanku tidak terlalu terkenal seperti jurusan teknik, manajemen, hukum, dan lain-lain. Bersyukur masih bisa belajar di salah satu universitas terkenal di Indonesia. Aku menaiki tangga dan masuk ke dalam suatu ruangan yang menjadi tempatku kini mengajar. Bukannya sombong atau apa, aku seorang asisten laboratorium, jadi tugasku semakin bertambah kala jadwal akademik perkuliahan masih berjalan. Aku meletakkan tasku dan duduk di salah satu kursi, sambil membuka media sosial.
"Halo, Kak Via. Apa kabar?" tanya Paul sambil berdiri di seberang meja di depanku.
"Baik. Tumben kamu ceria banget hari ini, ada kabar gembira apa?"
"Ah enggak Kak, biasa...uang bulanan sudah masuk."
"Oalah, kalau itu memang harus bahagia," tawaku kecil.
Aku kembali memainkan sosial media, Wira mendekatiku sambil mendorong kursi berodanya. "Via!" sapanya sambil menepuk pundakku.
"Oiii, sakit tahu kamu pukul!"
"Maaf-maaf. Gak sengaja," tuturnya. Wira mengelus tempat Ia memukul pundakku dengan lembut. "Hari ini kamu mengajar tidak?", aku menggeleng, "Kenapa?". "Tidak apa-apa, hanya ingin bertanya."
Wira banyak bertanya banyak padaku, mulai dari basa-basi sampai Ia bercerita tentang pemikirannya yang absurd dan abstrak. Dia unik menurutku, Wira seorang yang menyukai physical touch sangat terlihat. Buktinya, jarak duduk kami sangat dekat, bahkan lengan kamu saling sentuh. Jujur aku dulu pertama kali berkenalan dengannya tidak terlalu menyukai hal ini, tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai terbiasa. Caranya bergaul hampir saja membuatku terperosok, karena mulai menyukai secara tidak langsung. Perasaan posesif yang aku tidak ingin hadir kembali muncul dipermukaan. Aku mulai menyadarkan diri sendiri.
Tak lama, Tito dan Jean datang bersama memasuki laboratorium sambil menyapa beberapa teman-teman asisten lainnya. Kami berbincang-bincang cukup lama hingga salah satu diantara mereka menggiring pembicaraan ke arah hal yang berbau pacaran. Aku tidak tahu apa yang mereka ingin katakan, tapi aku mengikuti alur pembicaraan ini. "Wira, lu sekarang lagi cari cewek gak?" sahut Tito. "Iya! Aku lagi cari cewek nih, yang menarik gitu. Kamu ada saran gak?" jawabnya antusias.
"Kalau adik tingkat sih, banyak ya menurut gua. Si R, angkatan bawah kan cantik tuh. Gebet aja kali...."
Perasaan tak nyaman masuk ke dalam relung hati, kala mendengar percakapan ini. Aku tidak terlalu menaruh hati pada konteks bincang ini. Mau tak mau aku harus mendengarkan. Jadi seorang pendengar tidaklah selalu bagus.
Pembicaraan berhenti sejenak, Jean bertanya, "Siapa si R?". Wira menjawab, "Itu loh cewek yang rambutnya panjang, terus putih itu...yang cantik itu. Masa gak tahu." Jean berpikir siapa yang dimaksud Wira, dan kemudian berseru riang karena tahu siapa orang yang dimaksud.
"Via ada di sebelah lu, kenapa gak gas aja Wir?" seru Tito. Wira melihatku dengan pandangan yang sedikit...menilai, kurasa. Aku tidak menyukai pandangan itu, seolah-olah aku adalah benda. Aku membalas tatapannya dengan pandangan bertanya. Agak lama Ia melihatku, namun jawaban yang diberikan sedikit menohok hati kecilku. "Masa aku sama Via. Via kan temanku, ya gak Vi?" ucap Wira. Aku hanya diam, tak merespon ucapan Wira, kembali menatap Tito, mendengar balasan dari ucapan itu.
"Hahahaha, iya juga ya. Gak mungkinlah lu sama Via. Via kan teman lu. Mending kata gua, lu gaskan aja sama adek tingkat itu. Lumayan cantik juga dia."
Hati kecilku serasa diiris menggunakan pisau. Bukan karena rasa suka yang timbul dalam hati yang tunjukkan untuk Wira, melainkan jawaban yang timbul dalam percakapan ini. Aku tidak menyukainya. Aku bukanlah benda yang bisa Ia nilai dengan tatapan itu. Aku mengerti penampilanku tidaklah secantik bunga mawar di padang, yang merahnya kala menggoda para pecinta untuk mendekat dan mengambilnya. Tapi kalimat yang Ia lontarkan padaku seolah aku tak pantas dimiliki dan didampingi. Aku adalah seorang perempuan, kusadarkan diriku, bahwa dia hanya cocok menjadi temanku seorang, tak lebih. Kata teman lebih baik, dibandingkan pasangan untuk dirinya.
Namun, rasa kecewa dan sakit yang kurasakan masih berbekas hingga kini. Mata itu menyiratkan sebuah pesan yang terkesan menilai, sebuah nilai mengenai pantas-tidaknya untuk dicintai. Aku tidak menyukai itu. Kata teman lebih baik bila diucapkan di antara kita, sampai terlihat titik obses yang tak terduga, hingga aku mengerti apa yang kini hendak kau cari dan miliki.
Teman.