Love Shot

Love Shot

auliamusla

4.5

Pagi yang cerah di Stasiun Balapan. Lenguhan kereta, penumpang yang datang dan pergi, penjual roti maryam yang hilir mudik, juga peluit khas petugas parkir. Rutinitas pagi yang selalu kusaksikan.

Aku sudah tiba di stasiun meski keretaku baru akan berangkat empat puluh menit lagi. Demi sebuah harapan berjumpa kembali dengan lelaki jangkung berkulit putih yang kemarin kujumpai, aku rela bangun lebih pagi. Mempersiapkan semua yang perlu kubawa dan bergegas ke stasiun ini.

Aku melangkah ringan dengan senyum mengembang. Kupilih bangku tunggu yang paling dekat dengan pintu masuk untuk memastikan ada dia di antara calon penumpang Prambanan Ekspres pagi ini. Aku menunggu dengan jantung yang seperti berlompatan. Tak sabar sekaligus berdebar.

Mungkinkah pagi ini aku berjumpa dengannya lagi, di kereta yang sama, di gerbong yang sama?

***

Lelaki itu duduk berseberangan denganku. Kulitnya jauh lebih putih dari warga lokal kebanyakan. Tak heran sebetulnya mengingat Solo punya persentase warga chinese cukup besar dibandingkan kota lainnya. Tapi, duduknya yang tak pernah diam, kepala yang selalu mengangguk-angguk, juga jemari yang bergerak mengetuk-ngetuk lutut kaki itu menarik perhatianku.

Satu jam perjalanan Solo-Jogja aku hanya memperhatikannya, seolah ikut hanyut dalam permainan jarinya. Meski buta musik, aku tahu ia sedang memainkan sebuah irama. Dengan mata terpejam, dengan sesekali mengusap hidung mancungnya, jarinya bergerak dari irama yang satu ke irama lainnya. Membuat perjalananku kali ini terasa lebih menyenangkan.

Stasiun Lempuyangan, satu stasiun sebelum pemberhentian terakhir Prambanan Ekspres. Lelaki itu berdiri, membenahi kaos hitam dan tas selempangnya, kemudian ikut turun seperti penumpang lainnya. Ia tak menyadari sebuah benda terjatuh dari saku celana jinsnya. Aku bangkit dan memungutnya. Sebuah ponsel dengan warna hitam bergradasi kemerahan.

“Mas!” panggilku dari pintu gerbong. Lelaki itu sudah turun dan mulai berdesakan dengan penumpang lain untuk keluar dari stasiun. Tanpa pikir panjang, aku mengejarnya.

Ia terus berjalan tanpa menoleh. Langkah kakinya yang panjang membuatku kesulitan mengejar.

“Mas!” teriakku lagi. Tidak bisa. Ada banyak orang berpotensi dipanggil „mas‟ di sini dan aku tidak tahu namanya. Aku harus berlari lebih cepat sebelum ia pergi lebih jauh.

Lelaki itu menuju lokasi parkir, mendekati Yamaha Vixion putih, dan membuka gembok di rodanya. Aku tiba saat ia duduk dan hendak men-starter motor.

"Mas," kataku tersengal. "Ponselnya jatuh."

Aku menyerahkan ponselnya dengan tangan bergetar. Setengahnya karena lelah berlari, setengahnya lagi karena canggung harus berhadapan dengan lelaki tampan sedekat ini.

"Oh ...." Ia membuka kaca helmnya, memeriksa saku celana, kemudian menerima ponsel dari tanganku. "Terima kasih."

Aku tersenyum dan mengangguk pamit, hendak kembali ke gerbong kereta karena seharusnya aku turun di Stasiun Tugu. Namun, saat aku berbalik kereta itu sudah bergerak menjauh dan tak mungkin kukejar.

***

Aku mengembuskan napas panjang, merutuki diri sendiri yang tanpa perhitungan turun dari kereta padahal kereta tak pernah lama singgah di Stasiun Lempuyangan.

Aku melirik arloji. Masih ada waktu tiga puluh menit sebetulnya untuk tiba tepat di jam kerja. Hanya saja, aku menimbang ongkos becak atau ojek ke Jalan KH. Ahmad Dahlan dari stasiun ini.

Aku menghemat banyak pengeluaran. Aku selalu membawa bekal sarapan dan makan siang, bahkan berjalan kaki dua puluh menit dari stasiun ke butik. Aku menabung, bukan pelit, sebab adik-adikku butuh biaya untuk sekolah. Tapi, rasanya tidak mungkin berjalan kaki dari Lempuyangan ke butik. Pasti aku terlambat.

“Mau ke mana, Mbak?” Suara bas lelaki itu mengagetkanku. Tiba-tiba saja ia sudah berada di hadapanku dengan motor besarnya.

“Butik An Nur,” jawabku tersenyum.

“Ayo, ikut,” ajaknya.

Aji mumpung, seharusnya aku senang. Tapi, di dalam diriku mengalir darah Jawa. Aku merasa terlalu berani jika langsung menerima tawarannya. Perempuan seharusnya tahu caranya menjaga sopan santun.

Nggak usah, Mas. Saya naik ojek saja.” Aku menolak dengan halus. Padahal, mungkin saja dia melihat kegelisahan di wajahku.

“Naik Mbak, saya searah, kok,” katanya lagi. Ia menyerahkan helm yang terikat di jok belakang motornya. “Sebagai ucapan terima kasih.”

Aku terdiam sejenak, menimbang. Dilihat dari sisi manapun, aku memang tidak punya alasan menolak. Apalagi yang menawarkan adalah lelaki yang … ah …. Aku menggelengkan kepala menepis pikiran nakal.

“Saya tersinggung lho kalau Mbak menolak dan lebih memilih ojek,” katanya lagi dengan bibir melengkung ke bawah.

Benar juga. Jika menerima atau menolak tawaran membuatku berakhir dengan naik motor membonceng lelaki, seharusnya aku memilih menjaga perasaannya.

Aku mengulurkan tangan, menerima helmnya. Lelaki itu tersenyum, membuat sebuah lesung menyembul di pipi kirinya.

***

"Makasih, Mas," kataku setibanya di butik.

Aku turun dari motor dengan susah payah. Punggungku rasanya pegal karena posisi duduk yang tak nyaman selama lima belas menit perjalanan. Ini motor sport, seharusnya aku membungkuk untuk menyeimbangkan posisi. Tapi, membonceng lelaki asing tentu aku tidak bisa sembarangan memeluk pinggangnya.

"Panggil Chanyeol saja." Ia mengulurkan tangan. "Namaku Chanyeol."

"Chan ... yeol." Aku mencoba menirukan „o‟nya yang khas dengan „l‟ tebal di bagian akhir namanya. Tetapi, lidahku rasanya kaku. Dan usahaku ini justru membuat Chanyeol tertawa memperlihatkan barisan giginya yang menawan.

"Dewi." Aku membalas uluran tangannya dan tersenyum malu. "Mahadewi?" godanya.

"Dewi Arimbi."

"Wow!" Matanya memandangku takjub membuat pipiku semakin bersemu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri takut ada yang melihat dan membuatku semakin malu.

"Aku penasaran dengan kisah di balik nama ini, tapi aku harus segera berangkat." Chanyeol meraih pergelangan tangan kiriku dan melihat jarum jam di sana. "Nah, kan …. Sudah hampir jam sembilan."

Chanyeol men-starter motornya, menganggukkan kepala kemudian pamit. Motor pun melesat, menghilang dari pandangan. Sementara aku masih terpaku karena hangat tangannya yang menyentuh tanganku.

***

Dia datang!

Cepat-cepat aku bergerak menuju peron, melihat ke mana Chanyeol duduk dan duduk di deretan bangku yang sejajar dengan bangku tak jauh darinya. Ingatkah dia kepadaku?

Dua puluh menit sebelum kereta kami tiba. Waktu yang cukup untuk berbincang ringan. Tapi, aku malu. Rasanya terlalu agresif jika tiba-tiba aku duduk di sampingnya dan menyapa. Bagaimana jika ia tidak mengenaliku? Aku akan mempermalukan diri sendiri mengingat pertemuan kami kemarin terlalu singkat.

"Hei, Arimbi!"

Aku tersentak. Sebab terlalu sibuk dengan lamunan, aku tak melihatnya berjalan mendekatiku dan tiba-tiba saja sudah duduk di bangku tunggu di sebelahku. Aku menoleh, salah tingkah.

“Ketemu lagi.” Chanyeol menyapaku, riang. "Kau setiap pagi naik Prameks?" Aku mengangguk.

Chanyeol punya mata hitam bulat yang selalu berbinar. Jika tersenyum, bibir merahnya menjadi setipis kertas. Lesung di pipi kiri menambah kesan ramah di wajahnya. Dengan ekspresi natural yang menyenangkan, setiap yang melihatnya pasti tersenyum.

"Aku kerja di butik," jawabku. "Kamu, tinggal di Solo juga?" aku balik bertanya.

Chanyeol menggeleng. "Aku tinggal di Jogja. Tapi, keluargaku di Solo. Beberapa hari ini ada pertemuan keluarga besar. Begitulah "

Aku mengangguk lagi. Hanya itu yang bisa kulakukan. Rasanya aku tak punya banyak ide percakapan karena sibuk menenangkan jantungku yang seperti ingin melompat keluar. Tanganku dingin dan gemetar. Berkali-kali kuremas tasku agar Chanyeol tidak melihat tanganku yang tak berhenti bergetar.

“Kadang, aku heran dengan orang-orang ini.” Chanyeol menunjuk orang-orang yang menunggu kereta di sekitar kami dengan dagunya. “Orang Solo kerja di Jogja, orang Jogja bisnis dan ambil barang ke Solo. Kenapa tidak bekerja di kota masing-masing saja, coba?”

Benar juga. Dan aku satu di antara mereka.

“Mungkin, Jogja-Solo memang ditakdirkan menjadi partner seumur hidup.” Chanyeol terkekeh. “Dan Prambanan Ekspres adalah makcomblang mereka.”

Aku tertawa. Nada bicaranya, ekspresi wajahnya, tidak ada alasan untuk tidak tertawa meski kurasa dia tidak sedang bercanda. Tapi, kenapa diam-diam aku tersipu? Ini bukan gombalan, kan? Kurasa Chanyeol hanya berusaha jujur dengan yang dipikirkannya.

Ding dong ding dong!

Bel stasiun berbunyi, pertanda kereta kami tiba sebentar lagi. Chanyeol bangkit dan mengajakku berjalan mendekati rel. Kami memilih posisi yang agak jauh dari kerumunan, berencana menaiki gerbong yang lebih sepi supaya tidak berdesakan dengan penumpang lainnya. Saat kereta tiba, Chanyeol membimbingku untuk naik lebih dulu kemudian menyusul dan tanpa ragu duduk di sampingku lagi.

Aku tidak punya asma, tetapi aku tahu rasanya sesak napas. Membayangkan duduk tanpa jarak di samping Chanyeol sampai satu jam ke depan membuat oksigen di sekitarku menyusut. Rasanya udara berhenti keluar masuk hidungku. Untungnya, Chanyeol banyak bercerita tentang dirinya dan aku hanya perlu mendengarkan dengan antusias.

Akhirnya, aku tahu alasan Chanyeol yang tidak bisa duduk diam jika sendirian. Ia berlatih, mengingat setiap nada yang harus dimainkan karena dirinya yang seorang pianis. Menurutku pianis itu hebat. Ia bisa menggerakkan jemari kanan dan kirinya bersamaan dengan gerakan berbeda, melompat dari nada yang satu ke nada yang lainnya, dan menghasilkan melodi yang indah. Sementara aku, kalau jari kananku bergerak, memasang payet misalnya, jari kiriku hanya diam memegang kebaya. Fokusku hanya bisa ke satu tangan yang aktif saja.

Chanyeol bercerita tentang sekolah musiknya di Demangan. Baru, katanya. Tapi, dengan ratusan anak belajar di sana setiap pekan, kurasa sekolah musik miliknya sangat besar.

"Sesekali, datanglah saat murid-muridku pentas. Setiap bulan kami rutin membuat pertunjukan." Chanyeol menawarkan dengan antusias. Pasti dia sangat mencintai musik.

Aku hanya mengangguk mendengarkan dengan sesekali tersenyum. Di dalam hati, aku juga ingin datang melihat Chanyeol memainkan piano mengiringi penampilan murid-muridnya. Seumur-umur aku belum pernah datang ke pentas musik. Telingaku hanya akrab dengan campursari dari radio bapak.

Chanyeol banyak bertanya tentang aktivitasku di butik, padahal kukira tidak banyak lelaki yang tertarik berbincang tentang fashion wanita. Chanyeol menyimakku dengan antusias. Ia bahkan memintaku menunjukkan foto-foto model kebaya di butik dan menanyakan beberapa detail di bagian kerah juga jenis hiasan di bagian dada dan lengan. Kami membicarakan banyak hal sampai tak terasa kereta tiba di Lempuyangan dan sudah saatnya Chanyeol turun.

Aku memperhatikan Chanyeol yang mulai sibuk dengan kebiasaannya menggerakkan jari. Ia tampak tenang, tak beranjak seperti penumpang lain yang mengantre keluar gerbong. Sampai semua penumpang turun, Chanyeol masih duduk di sampingku.

“Kamu ngga turun?” tanyaku akhirnya.

“Hm?” Ia menoleh, menaikkan alis. “Oh, nanti di Tugu. Aku turun di tempat kamu turun.”

Sebongkah es rasanya ditumpahkan ke tengkukku tiba-tiba. Dingin. Mengalir sampai ke punggung, memunculkan gelenyar yang aneh di dalam dadaku. Rasanya kaget juga nyaman sekaligus. Jadi, dia mau lebih lama bersamaku?

Kami saling diam di sisa perjalanan menuju stasiun terakhir. Chanyeol sibuk mengetikkan sesuatu di ponselnya, sementara aku melempar pandangan jauh ke luar, menyembunyikan pipiku yang mungkin sudah semerah mawar.

Ding dong ding dong!

Stasiun Tugu. Kali ini Chanyeol bangkit, berdiri di belakangku, kemudian ikut turun. Kami berjalan bersisian menuju pintu keluar. Sepintas aku melihat kedua bibirnya ditarik ke kiri dan ke kanan membentuk sebuah garis lurus. Ia tampak senang sekali. Apakah Chanyeol senang karena ada aku?

“Naik ojek?” tanyanya.

Aku menggeleng. “Jalan kaki.”

“Wah, jauh sekali lho butikmu itu.” Matanya menatapku khawatir. Benarkah, dia khawatir padaku?

“Sepuluh ribu langkah perhari itu menguatkan jantung, kan?” Aku beralasan.

Dia mengangguk menunjukkan ekspresi „baiklah‟, meski aku sesungguhnya berharap ditawari membonceng motornya lagi. Tapi, di mana motornya? Lempuyangan? Sementara dia turun jauh di Tugu.

Chagiya!” Seorang perempuan berambut kemerahanan melambaikan tangan dan berjalan menyambut kedatangan kami. Perempuan itu tinggi, ramping. Ia mengenakan celana jins dan blus bergaris putih merah dengan lengan sesiku. Matanya hitam berkilau. Hidungnya kecil panjang serasi dengan bentuk wajahnya yang oval. Senyum membuat kedua pipinya terangkat dan membentuk garis menawan di sekitar bibirnya. Apakah dia bidadari?

Perempuan itu memeluk Chanyeol kemudian mencium pipinya. Mereka berbincang dengan bahasa yang tidak kumengerti dan saling menyambut dengan tawa ringan. Rasanya bongkahan es yang tadi mengalir di punggungku tiba-tiba menguap, menyisakan panas tak terkira di dalam dadaku.

“Ini Arimbi.” Chanyeol memperkenalkanku padanya. “Arimbi, ini Dara.”

Dara mengulurkan tangan dan tersenyum ramah padaku. Wajahnya yang sempurna seharusnya membuat siapapun yang memandang akan menyukainya. Tetapi, tidak denganku. Ada panas di dada yang membuatku kesulitan tersenyum. Demi Chanyeol, aku membalas uluran tangannya.

“Dia perancang busana, lho. Kamu bisa minta pendapat Arimbi untuk gaun pernikahan kita.”

Per… pernikahan? Dara akan menikah? Yang dimaksud dengan „kita‟ itu Dara dan Chanyeol? Jadi, Chanyeol senang mengenalku karena aku bekerja di butik dan banyak belajar tentang desain gaun pengantin?

Rasanya kakiku tak menapak bumi. Ada banyak sekali lebah berdengung di kepalaku. Aku kesulitan mencerna apa yang dikatakan Chanyeol. Tiba-tiba aku berharap bisa segera lari dari sini dan menyembunyikan wajah di balik bantal. Malu, kecewa, dan sedih jadi satu.

Aku membiarkan mereka berdua berjalan mendahuluiku. Sempat kulihat Chanyeol melambaikan tangan, tetapi aku bergeming. Tak melambai, tak juga tersenyum membalas. Aku terpaku melihat Dara yang menggandeng lengan Chanyeol, Dara yang terus tertawa mendengar lelucon Chanyeol, Dara yang berjalan dengan anggun dan tampak serasi dengan Chanyeol. Sementara aku? Segala yang kumiliki berkebalikan dengannya.

Mataku pulai panas, kesulitan menahan ribuan bulir bening yang berebut untuk meluncur dari sudutnya. Aku memejamkan mata kemudian, membiarkan mereka mengalir. Perih sekali. Seharusnya aku tahu diri. Tak sepantasnya berharap sebanyak ini.

***